Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. KRITIS
"Apa lagi yang kamu tunggu? Apa kamu ingin pasien meninggal dulu baru kamu bicara?" bentak sang dokter.
"Tu... tuan Luis," jawab perawat itu terbata.
"Apa? Tuan Luis?" raut wajah sang dokter tiba-tiba berubah. Ia yakin sekali, Tuan Luis tidak mungkin mendonorkan darahnya, apalagi pada orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Suasana mendadak hening. Hanya suara mesin pemantau detak jantung yang sesekali terdengar di ruangan itu. Dari arah lorong, terlihat seorang perempuan berlari kecil mendekati mereka.
Wajahnya pucat dan dipenuhi keringat dingin.
"Bagaimana kondisi teman saya, Dok?" tanya Rara dengan napas tersengal.
"Kondisinya masih kritis. Ia membutuhkan pendonor dengan golongan darah yang sangat langka B negatif. Di dunia ini mungkin hanya segelintir orang yang memiliki golongan darah seperti itu," jawab sang dokter dengan nada berat.
Rara terdiam, matanya membesar mendengar penjelasan dokter. Napasnya masih tersengal, namun hatinya terasa jauh lebih sesak.
"Apa kamu mengenal keluarga pasien? Siapa tahu, ada di antara mereka yang memiliki golongan darah yang sama dengan pasien," tanya sang dokter dengan nada berharap.
Rara menarik napas panjang dan mengangguk pelan, meski hatinya terasa berat. Perlahan, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya.
"Untung saja aku masih menyimpan nomor Rudy waktu itu," gumamnya lirih.
Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar ponsel, berusaha menghubungi Rudy — satu-satunya harapan bagi Rindi yang kini tengah berjuang di ambang hidup dan mati.
Rara menempelkan ponsel ke telinganya. Suaranya bergetar saat panggilan tersambung.
“Halo, Rudy? Ini aku, Rara — yang dulu pernah datang bersama ibumu… maksudku, bersama Rindi ke rumahmu.”
Rudy di seberang sana terdiam, sebelum menjawab dengan nada ketus
“Iya, Ada apa?”
“Rudy, tolong… ini soal Rindi. Dia sedang kritis di rumah sakit dan membutuhkan donor darah. Mungkin kamu atau adikmu bisa menolongnya.”
Suasana hening, Rara bisa mendengar detak jantungnya sendiri berpacu kencang menunggu jawaban.
“Untuk apa kami repot-repot menolongnya? Biarkan saja dia mati. Itu bukan urusan kami.”
“Rudy! Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimanapun dia tetap ibumu, dia sedang berjuang untuk hidup!” seru Rara hampir menangis.
"Apa peduliku."
Tut… tut… Rudy memutuskan sambungan telpon secara sepihak.
Rara mencoba menghubungi kembali, tapi sia-sia—kontaknya sudah diblokir. Rara menarik napas dalam-dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak tahu lagi harus bagaimana menolong Rindi.
“Bagaimana, Bu? Apa keluarganya bersedia membantu?” tanya dokter, meski dalam hati ia sudah tahu jawabannya.
Rara menggeleng pelan.
Dari dalam ruangan, seorang perawat berlari kecil mendekati mereka.
“Dok, gawat! Kondisi pasien semakin kritis. Kami sudah menghubungi semua rumah sakit, tapi hasilnya nihil. Apa yang harus kita lakukan? Aku takut terjadi sesuatu pada janinnya!” katanya panik.
Mendengar ucapan perawat itu, mata Rara membulat sempurna. Ia ingin bertanya, namun sadar waktunya tidak tepat.
Dokter menatap mereka satu persatu dengan wajah tegang.
“Tidak ada jalan lain. Aku harus menemui Tuan Luis di ruangannya. Semoga saja beliau bersedia membantu.”
Tanpa membuang waktu, dokter itu segera berjalan menuju lift. Lantai dua menjadi tujuannya — tempat ruang kerja Luis berada. Langkahnya cepat, namun keraguan masih tampak jelas di wajahnya.
Sesampainya di depan pintu ruangan Luis, dokter itu menarik napas pelan lalu mengetuk.
Tok… tok… tok…
“Masuk,” terdengar suara dari dalam.
Dokter membuka pintu dan masuk. Di balik meja kerjanya, Luis menatapnya dengan tajam.
“Ada keperluan apa Budy, kamu datang ke ruanganku?"
Dengan mengumpulkan segala keberanian, dokter Budy lalu berkata.
“Saya datang untuk meminta bantuan Anda, Tuan,” jawab dokter dengan nada hati-hati.
“Kami membutuhkan donor darah dengan golongan yang sama seperti Anda miliki, B negatif. Pasien kami, Rindi, sedang hamil dan dalam kondisi kritis. Kami takut terjadi sesuatu pada ibu dan janinnya,” jelas Dokter Budy dengan nada cemas.
Luis menatap ke arah sekretarisnya, Zam, yang sejak tadi berdiri di samping meja.
Sekertaris Zam segera membuka laptop dan memeriksa rekaman CCTV satu jam terakhir. Ia menatap layar beberapa detik, lalu berkata,
“Benar, Tuan. Perempuan yang sama.” sekertaris Zam memutar layar ke arah Luis agar bisa melihatnya.
Tanpa berpikir lama, Luis langsung berdiri dari kursinya.
“Cepat antar aku ke tempat perempuan itu,” ucapnya tegas.
Dokter Budy segera mengangguk dan melangkah lebih dulu, sebagai petunjuk jalan. Luis dan Zam menyusul di belakangnya dengan langkah cepat dan masuk kedalam lift.
Setibanya di depan ruang gawat darurat, suasana terasa tegang. Beberapa perawat tampak mondar-mandir, sementara suara alat medis terdengar nyaring dari dalam ruangan.
Luis berhenti sejenak di depan pintu, menatap melalui kaca bening. Dari balik sana, ia melihat Rindi terbaring lemah di atas ranjang—wajahnya pucat, tubuhnya tak bergerak, dengan selang infus menempel di kedua tangan.
Dokter Budy segera mempersilakan Luis masuk.
“Tuan, mohon berbaring di sini. Kami harus segera melakukan transfusi darah sebelum terlambat,” ujarnya cepat.
Luis tanpa banyak bicara mengikuti instruksi. Ia berbaring di ranjang sebelah, menggulung lengan bajunya. Seorang perawat menyiapkan alat transfusi, sementara Dokter Budy memeriksa kembali kecocokan data darah Luis di layar monitor.
“Semua cocok, Dok,” ujar perawat memastikan.
“Baik, segera mulai,” perintah Dokter Budy.
Jarum halus menembus kulit lengan Luis. Kantong darah mulai terisi perlahan, menetes menuju selang yang terhubung ke tubuh Rindi. Semua orang di ruangan itu menahan napas, menyaksikan proses itu dengan harapan besar.
Luis memejamkan mata, tubuhnya sedikit lemah, namun ia tetap tenang.
“Pastikan darahnya cukup,” katanya pelan.
Dokter Budy menatapnya sekilas, lalu mengangguk.
“Anda sudah banyak membantu, Tuan. Semoga ini cukup untuk menyelamatkan ibu dan janinnya.”
Waktu berjalan lambat. Hanya suara mesin pemantau jantung dan tetesan cairan infus yang terdengar, sementara rona harap perlahan muncul di wajah para perawat ketika grafik detak jantung Rindi mulai menunjukkan perubahan.
Beberapa menit berlalu, garis pada monitor yang semula lemah perlahan menunjukkan peningkatan. Suara beep mesin pemantau jantung terdengar lebih stabil dari sebelumnya.
“Tekanan darahnya mulai naik, Dok!” seru salah satu perawat dengan nada lega.
Dokter Budy menghela napas panjang, namun matanya tetap fokus memantau perkembangan pasien.
“Terus pantau kondisinya. Jangan sampai ada penurunan lagi.”
Rara dan Dewi yang sejak tadi berdiri di luar, menatap melalui kaca dengan mata berkaca-kaca. Keduanya menutup mulut, menahan isak haru yang hampir pecah.
“Terima kasih, Tuhan…” ucap Dewi lirih.
Sementara itu, Luis tampak pucat. Perawat yang mendampinginya segera menghentikan aliran darah dan membantu mencabut jarum dari lengannya.
“Tuan, cukup dulu. Kondisi Anda juga perlu dijaga,” kata perawat dengan hati-hati.
Luis mengangguk lemah.
“Tidak apa-apa… yang penting dia dan bayinya selamat.”
Dokter Budy menatapnya dengan rasa hormat.
“Terima kasih banyak, Tuan. Tanpa Anda, kami mungkin sudah kehilangan dua nyawa sekaligus.”
Luis tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Rindi yang masih tak sadarkan diri, namun wajahnya kini tidak sepucat tadi. Ada secercah tenang di matanya—antara lega dan getir.
Zam, yang berdiri di sampingnya berbisik pelan.
“Tuan, apakah kita akan menunggu di sini?”
Luis berdiri perlahan, menatap Rindi sekali lagi.
“Tidak. Dia sudah mendapatkan apa yang dia butuhkan. Mari kita pergi,” ucap Luis datar.
Belum juga mereka sampai di depan pintu, terdengar suara panik dari perawat yang sejak tadi memantau monitor detak jantung.
“Dok, gawat! Janinnya…!” teriaknya panik.