Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Lutut yang Menyentuh Lantai"
Rumah orang tua Halden malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Tak ada suara televisi. Tak ada aroma masakan hangat. Yang ada hanya keheningan berat yang menggantung di ruang tamu, seperti menunggu sesuatu runtuh.
Luna duduk di sofa, punggungnya tegak, kedua tangannya bertaut di atas perutnya. Wajahnya pucat, tapi matanya jernih—tenang dengan cara yang membuat orang lain justru takut.
Halden duduk di seberangnya. Kepalanya tertunduk. Sejak tiba, ia tak sekali pun berani menatap Luna.
Pintu terbuka.
Ibunya Halden masuk dengan langkah cepat. Rambutnya yang biasanya tersanggul rapi kini sedikit berantakan. Matanya sembab, jelas habis menangis.
Begitu melihat Luna, perempuan itu berhenti melangkah.
Lalu pandangannya beralih pada Halden.
“Halden,” suaranya bergetar. “Apa yang kamu lakukan?”
Tak ada jawaban.
Ibunya melangkah mendekat, berdiri tepat di depan putranya. Tangannya terangkat—bukan untuk memukul, tapi gemetar menahan emosi.
“Kamu berselingkuh?” tanyanya lirih, nyaris tak percaya.
“Kamu menghamili perempuan lain… saat istrimu juga hamil?”
Halden akhirnya mengangguk pelan.
Itu cukup.
Ibunya menutup mulut, tangisnya pecah. Ia mundur selangkah, seolah kenyataan itu terlalu berat untuk dipikul.
“Aku gagal,” bisiknya. “Aku gagal mendidikmu.”
Ia berbalik menghadap Luna.
Dan sebelum siapa pun sempat bereaksi—
Ibunya Halden berlutut.
Suara lutut menyentuh lantai terdengar keras.
“Bu!” Halden berdiri panik. “Jangan—”
Terlambat.
“Aku mohon,” ucap ibunya dengan suara hancur. “Aku mohon sebagai seorang ibu.”
Luna membeku.
Perempuan di hadapannya bukan sekadar ibu mertua. Ia adalah perempuan yang dulu menyambutnya seperti anak sendiri. Yang memeluknya saat ia dan Halden menikah. Yang pernah berkata, *‘Titip anak saya ya.’*
“Aku tahu anakku salah,” lanjut ibunya, menunduk. “Aku tahu luka ini mungkin tak bisa disembuhkan. Tapi tolong… kalau masih ada sedikit saja cinta, sedikit saja kasihan… maafkan dia.”
Tangisnya semakin keras. “Aku nggak sanggup melihat rumah tangga kalian hancur karena kegagalanku.”
Luna berdiri.
Dengan cepat, ia menunduk dan memegang kedua lengan perempuan itu.
“Bu, tolong berdiri,” ucap Luna tegas namun lembut. “Jangan lakukan ini.”
Ibunya menggeleng. “Biarkan aku di sini. Ini hukuman buatku.”
Luna menarik napas panjang. Dadanya sesak, air matanya nyaris jatuh—tapi ia menahannya.
“Apa Ibu tahu rasanya dikhianati saat sedang mengandung?” tanya Luna pelan.
Ibunya terdiam.
“Apa Ibu tahu rasanya menunggu suami pulang sambil menahan mual, sementara dia menjaga perempuan lain?” lanjut Luna, suaranya tenang tapi menusuk.
Ibunya menangis tanpa suara.
Luna berlutut juga, sejajar.
Bukan sebagai permohonan.
Tapi sebagai kejujuran.
“Saya tidak marah pada Ibu,” kata Luna. “Dan ini bukan kegagalan Ibu. Halden sudah dewasa. Pilihan ini pilihannya sendiri.”
Halden jatuh berlutut di samping ibunya.
“Aku salah, Luna,” suaranya pecah. “Aku pengecut. Aku egois. Tapi aku mohon… jangan pergi.”
Luna menatapnya lama.
Tatapan itu bukan tatapan istri.
Bukan tatapan cinta.
Melainkan tatapan perpisahan yang telah matang.
“Aku tidak pergi karena benci,” ucap Luna. “Aku pergi karena aku harus menyelamatkan diriku dan anakku.”
Ia berdiri, membantu ibunya bangkit.
“Saya menghormati Ibu,” lanjut Luna lembut. “Tapi memaafkan tidak selalu berarti bertahan.”
Ibunya memeluk Luna erat, menangis di bahunya.
“Maafkan kami,” bisiknya berulang kali.
Luna memejamkan mata.
Di pelukan itu, ia akhirnya menangis.
Bukan sebagai istri Halden.
Melainkan sebagai perempuan yang baru saja kehilangan rumahnya.
Halden menatap mereka dengan dada hancur.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami harga dari kebohongannya.
Dan harga itu…
adalah kehilangan dua perempuan yang paling mencintainya.
Rumah orang tua Halden terasa sunyi, meski lampu ruang tamu masih menyala. Bau kopi hangat masih tersisa di meja, tapi suasana kini penuh dengan kehampaan.
Luna duduk di sofa, tangan menggenggam perutnya yang mulai terlihat bulat. Matanya memandang kosong ke depan, namun di dalam, pikirannya bergerak cepat, memutar semua kejadian malam itu—Halden, Karina, ibunya, Nathan. Semua bertubrukan dalam kepalanya seperti badai yang tak kunjung reda.
Nathan berdiri di dekat jendela, menatap kota yang gelap. Ia diam, memberi ruang bagi Luna untuk menenangkan diri. Tapi Nathan tidak pernah lepas dari perhatian Luna—sebuah kehadiran yang selama ini menemaninya dalam luka, tapi tetap tidak memaksa.
Halden duduk di seberang Luna, kepalanya tertunduk. Matanya sembab, tubuhnya seperti kehilangan energi untuk bergerak. Ia tahu, malam ini adalah akhir dari sesuatu—akhir dari kebohongannya, dan awal dari konsekuensi yang tak bisa ia hindari.
Ibunya Halden duduk di kursi, wajahnya sembab. Tangannya menggenggam tisu, seolah mencoba menyeka rasa sakit yang meresap ke dalam dirinya. Ia menatap putranya dengan tatapan yang penuh kecewa, namun juga penuh cinta seorang ibu yang rela menanggung luka anaknya sendiri.
“Aku harus bicara,” suara Luna pecah di udara. Kata-kata itu lembut tapi tegas, menusuk hati semua orang di ruangan itu.
Halden menatapnya, tetapi tak mengeluarkan suara.
“Aku… aku sudah cukup,” lanjut Luna, suaranya bergetar. “Cukup dipermainkan. Cukup dikhianati. Aku nggak bisa lagi hidup dalam kebohongan yang kamu buat setiap hari.”
Ia menunduk sejenak, mencoba menahan air matanya. “Aku mencintaimu, Halden. Aku mencintaimu karena aku percaya, karena aku berharap… tapi aku salah. Aku salah karena masih berharap kamu akan berubah.”
Ibunya Halden menutup mulutnya, menahan tangis.
“Luna…” suara Halden parau. “Aku… aku mau berubah. Aku… aku bersedia melakukan apa pun.”
Luna menatapnya dalam-dalam. Mata yang dulu penuh cinta kini hanya menyimpan luka. “Tidak. Aku sudah memberi terlalu banyak kesempatan. Aku sudah memberi terlalu banyak waktu. Dan kamu… kamu telah menghancurkan semua itu.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Bahkan udara terasa tebal, seolah menahan napas semua orang.
Nathan melangkah maju, menatap Halden dengan dingin. “Mulai sekarang, jangan lagi mencoba menenangkan hatimu sendiri dengan memohon. Luna tidak butuhmu lagi. Dan dia pantas mendapatkan hidup yang jujur, tanpa kebohongan.”
Halden menunduk. Suaranya nyaris tidak terdengar. “Aku… aku mencintaimu.”
Luna tersenyum pahit. “Cinta? Kamu nggak tahu apa itu cinta. Karena cinta bukan soal memiliki atau menipu. Cinta adalah kejujuran… dan kamu sudah mengabaikannya sejak lama.”
Ia berdiri, menatap Halden terakhir kali. “Aku akan bercerai. Aku akan melanjutkan hidupku tanpa kamu. Dan aku akan melakukannya demi diriku dan anakku.”
Air mata Halden jatuh deras, tapi itu tidak mengubah keputusan Luna. Ia tahu, tidak ada kata maaf yang cukup untuk menghapus luka yang sudah tercipta.
---
Proses Perceraian
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang lambat. Luna mengurus semua dokumen perceraian dengan tenang, meski hatinya hancur di dalam. Ia menerima nasihat pengacara, menandatangani dokumen, dan menghadapi Halden secara formal.
Setiap kali bertemu, Luna merasakan campuran emosi: sakit, marah, kecewa, tapi juga lega. Ia sadar, ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya dan anak yang dikandungnya dari dunia yang penuh kebohongan.
Nathan selalu ada di sisinya. Tidak pernah memaksa, tidak pernah menekan, hanya menunggu saat Luna siap berbicara atau menangis. Ia menemaninya ke pengadilan, mengantarnya pulang, dan duduk di sisi Luna ketika semua orang pergi.
Suatu malam, setelah selesai mengurus dokumen terakhir, Luna duduk di balkon apartemennya. Perutnya terasa hangat, hidup di dalamnya terus bergerak. Nathan duduk di sampingnya, tangannya menopang bahu Luna, tanpa kata-kata.
“Terima kasih,” ucap Luna pelan, menatap Nathan. “Aku nggak tahu bisa melalui semua ini tanpa kamu.”
Nathan tersenyum tipis. “Kamu kuat, Luna. Aku hanya menemanimu. Kamu yang sebenarnya melakukan semua itu.”
Luna menunduk, menyentuh perutnya. “Aku takut. Aku takut anakku akan lahir di dunia yang penuh dengan luka. Aku takut aku sendiri tidak cukup kuat.”
Nathan menggenggam tangannya. “Kamu nggak sendiri. Aku di sini. Aku akan selalu ada. Kamu dan anakmu… kalian bukan hanya tanggung jawabmu sendiri. Aku akan berada di sisimu setiap langkah.”