NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Tanda yang Datang Perlahan"

Pagi itu datang dengan rasa yang berbeda.

Luna terbangun sebelum alarm berbunyi, tubuhnya terasa berat seolah semalaman ia menggendong beban yang tak kasatmata. Perutnya tidak sakit, hanya terasa… asing. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengatur napas, lalu menutup mata sejenak.

“Aneh,” gumamnya pelan.

Dari dapur terdengar suara piring beradu ringan. Nathan sudah bangun lebih dulu, seperti biasa, menyiapkan sarapan sederhana. Rutinitas yang selama bertahun-tahun terasa familiar, namun pagi ini Luna merasakannya dengan kesadaran yang lebih tajam—seolah tubuhnya sedang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang berubah.

Ia berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Bau sabun yang biasanya menenangkan justru membuat perutnya bergejolak. Luna menahan napas, menopang wastafel, dan menunggu sensasi itu berlalu.

“Tenang,” katanya pada dirinya sendiri. “Mungkin cuma kelelahan.”

Namun rasa itu tidak sepenuhnya pergi.

Saat ia keluar kamar, Amara sudah duduk di meja makan, kaki kecilnya bergoyang sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.

“Mama pucat,” komentar Amara jujur.

Luna tersenyum tipis. “Mama cuma kurang tidur.”

Nathan menoleh cepat. Tatapannya penuh perhatian—bukan panik, tapi waspada dengan cara yang lembut.

“Kamu mau duduk dulu?” tanyanya.

Luna mengangguk dan duduk perlahan. Saat Nathan menyodorkan roti panggang, aroma mentega hangat membuat dadanya kembali terasa sesak. Ia menutup mulut, memalingkan wajah.

Nathan langsung paham. Ia tidak bertanya di depan Amara, hanya menggeserkan segelas air dan berkata ringan, “Minum dulu.”

Luna menyesap air, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Hari itu berjalan pelan. Luna mencoba menjalani aktivitas seperti biasa—menyapu, merapikan buku-buku Amara, mencatat beberapa ide tulisan di buku kecilnya. Namun tubuhnya terus memberi sinyal halus: rasa lelah yang datang terlalu cepat, kepala yang sedikit pening, dan emosi yang mudah naik turun tanpa alasan jelas.

Saat Amara bermain di kamarnya, Luna duduk di sofa, memeluk bantal, pikirannya melayang.

Ia mengenal tubuhnya sendiri. Ia tahu ritmenya, kebiasaannya. Dan perubahan sekecil apa pun tak pernah luput dari perhatiannya.

Sore itu, Nathan pulang lebih awal.

“Kamu kenapa?” tanyanya begitu melihat Luna tertidur setengah duduk.

Luna membuka mata dan tersenyum kecil. “Aku cuma capek.”

Nathan duduk di sampingnya. “Capek yang biasa, atau capek yang… lain?”

Luna terdiam. Ia menimbang-nimbang kata. “Aku belum yakin,” katanya jujur. “Tapi tubuhku terasa berbeda.”

Nathan tidak langsung bereaksi berlebihan. Ia hanya meraih tangan Luna, menggenggamnya dengan tenang.

“Kita pelan-pelan,” katanya. “Apa pun itu, kita hadapi bersama.”

Malam itu, setelah Amara tertidur di antara mereka—seperti kebiasaannya saat merasa ingin lebih dekat—Luna terjaga lebih lama. Ia menatap langit-langit kamar, mendengarkan napas kecil Amara yang teratur.

Ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya. Rasa yang campur aduk antara harap dan takut.

Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk memperhatikan tubuhnya lebih saksama. Ia mencatat tanggal, siklus, dan perubahan-perubahan kecil yang biasanya ia abaikan. Setiap pagi, rasa mual datang singkat lalu pergi. Setiap sore, ia merasa ingin tidur lebih awal.

Dan yang paling membuatnya terdiam—ia lebih sensitif. Hal-hal kecil membuatnya ingin menangis: lagu lama di radio, gambar keluarga di buku Amara, bahkan cara Nathan menatap mereka berdua saat makan malam.

Suatu siang, saat Amara di sekolah dan rumah sunyi, Luna duduk sendiri di kamar mandi. Di tangannya ada alat tes kecil yang ia beli dengan tangan gemetar.

Ia menatapnya lama sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam.

Beberapa menit kemudian, dunia seolah berhenti bergerak.

Luna duduk di lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin, matanya berkaca-kaca. Bukan karena terkejut sepenuhnya—tapi karena kenyataan itu terasa begitu… nyata.

Ia tidak langsung memberi tahu Nathan.

Bukan karena ragu, melainkan karena ia ingin merasakan momen itu sendiri terlebih dahulu. Ia ingin memastikan perasaannya utuh—bukan hanya reaksi spontan.

Malamnya, saat Amara tertidur dan rumah kembali tenang, Luna duduk di samping Nathan di balkon kecil apartemen mereka.

“Aku mau cerita,” katanya pelan.

Nathan menoleh, ekspresinya langsung berubah serius namun lembut. “Aku dengar.”

Luna mengeluarkan napas panjang. “Sepertinya… kita akan punya anggota keluarga baru.”

Nathan terdiam. Beberapa detik berlalu sebelum matanya berkaca-kaca. Ia tidak langsung bicara. Ia hanya memeluk Luna erat—seolah takut melepasnya.

“Kamu yakin?” bisiknya.

Luna mengangguk. “Masih sangat awal. Tapi tanda-tandanya jelas.”

Nathan tertawa kecil di antara haru. “Amara benar-benar memanggilnya,” katanya lirih.

Mereka duduk lama, berbicara tentang hal-hal praktis dan hal-hal yang lebih dalam—tentang kesiapan, tentang ketakutan lama yang muncul kembali, tentang cinta yang kini terasa lebih luas daripada sebelumnya.

“Aku takut mengulang kesalahan,” ucap Luna jujur.

Nathan menggenggam tangannya. “Kita bukan orang yang sama seperti dulu. Kita sudah belajar.”

Beberapa hari kemudian, Luna mulai merasakan gejala lain—mudah lapar, mudah lelah, dan lebih membutuhkan keheningan. Amara memperhatikan perubahan itu dengan caranya sendiri.

“Mama sering duduk,” komentarnya suatu sore.

Luna tersenyum. “Mama lagi belajar mendengarkan tubuh.”

Amara memeluk perut Luna sebentar, lalu tersenyum lebar. “Adik di sini?”

Luna menahan napas. Ia menatap Nathan yang berdiri di pintu, lalu kembali pada putrinya.

“Belum pasti,” jawabnya lembut. “Tapi mungkin.”

Amara berseri-seri. “Aku akan jaga Mama.”

Dan di saat itu, Luna tahu—apa pun yang akan datang, ia tidak sendirian.

Kehamilan ini bukan sekadar tentang kehidupan baru, tetapi tentang perjalanan panjang yang telah membawanya ke titik ini. Tentang seorang perempuan yang dulu hancur, kini berdiri dengan keyakinan. Tentang keluarga yang dibangun dari pilihan, bukan kebetulan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Luna menyambut masa depan bukan dengan ketakutan—melainkan dengan harapan yang tenang.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!