menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 15:masa lalu sylvara yang sensitif
Lucyfer melangkah mendekat.
Tatapannya tajam—terlalu tajam—hingga udara di dalam asrama terasa berat. Elviera bisa merasakannya, namun Sylvara tetap berdiri di tempatnya, tak mundur sejengkal pun.
Lucyfer menatap langsung ke arah topeng ungu itu.
“Hei,” ucapnya dingin.
“Aku tidak mempercayaimu.”
Tak ada emosi di wajahnya, hanya kewaspadaan murni.
“Aku tak tahu asal-usulmu. Tak tahu sikapmu. Tak tahu apa yang kau sembunyikan.”
“Bisa saja kau serigala berbulu domba.”
“Dan satu hal lagi—kenapa kau memakai topeng itu?”
Keheningan jatuh.
Sylvara menoleh perlahan. Dari balik topengnya, sepasang mata ungu menatap Lucyfer lurus—tanpa gentar.
“Hmph,” dengusnya.
“Kenapa kau begitu ingin tahu asal-usulku?”
Ia membalikkan badan setengah, lalu melirik kembali.
“Aku lebih suka bekerja dan mendapatkan hasil,” lanjutnya kesal,
“daripada bicara panjang tapi tak menghasilkan apa-apa.”
Lucyfer tak bergeming.
“Katakan padaku,” ucapnya lebih rendah.
“Aku tak butuh rekan yang berpotensi mengkhianatiku.”
“Jika kau ingin berada di timku, aku perlu tahu siapa dirimu.”
Sylvara terdiam.
Beberapa detik berlalu sebelum ia menghela napas pelan. Kepalanya menunduk sedikit, lalu ia menatap ke arah jendela asrama.
“Baik,” katanya akhirnya.
“Demi tetap berada di asrama ini.”
“Dan demi menjadi lebih kuat.”
Bayangan kenangan pun muncul.
Sebuah desa terpencil—Desa Nyxveil.
Rumah-rumah kayu tradisional berdiri rapi, dikelilingi hutan gelap. Dunia luar terasa jauh, seolah tak pernah menyentuh tempat itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah besar—kediaman ketua klan Nyxveil.
Di halaman rumah itu, seorang anak
perempuan kecil berambut ungu dan bermata ungu bermain sendirian. Tubuhnya mungil, wajahnya polos, nyaris tak ternoda dunia.
Itu adalah Sylvara kecil.
“Aku lahir di Klan Nyxveil,” suara Sylvara terdengar tenang.
“Klan yang memilih mengisolasi diri dari dunia sihir luar.”
Ia melanjutkan.
“Perempuan di klan kami diwajibkan memakai topeng sihir sejak usia enam tahun.”
“Itu bukan simbol… melainkan sumpah.”
Lucyfer mendengarkan tanpa menyela.
“Ada larangan keras,” kata Sylvara.
“Topeng ini tidak boleh dibuka di hadapan laki-laki.”
“Kepada sesama perempuan masih bisa dimaafkan.”
Nada suaranya mengeras.
“Bahkan hingga dewasa.”
“Hanya boleh dibuka di hadapan seorang pria yang benar-benar siap bertanggung jawab.”
Sylvara mengepalkan tangannya.
“Jika seorang wanita membuka topengnya kepada pria yang tak mau bertanggung jawab,” lanjutnya,
“ia dianggap tercemar.”
“Tak boleh menikah.”
“Keluarganya menanggung malu… hingga beberapa generasi.”
Sunyi.
“Itulah sebabnya,” katanya lirih,
“topeng ini adalah hal yang sangat sensitif bagiku.”
Kembali ke asrama.
Lucyfer menghela napas pelan.
Ia mengerti.
Hal-hal seperti itu… tak seharusnya dipaksa keluar.
“Baik,” ucap Lucyfer akhirnya.
“Aku tak akan mengungkit hal sensitif tentang dirimu lagi.”
Tatapannya masih tajam—tapi tidak sekeras sebelumnya.
“Namun satu hal,” lanjutnya.
“Kau tetap harus menjelaskan sihirmu.”
Sylvara mengangguk.
“Sihirku disebut Tebasan Bayangan,” jelasnya.
“Teknik turun-temurun klan Nyxveil.”
“Aku memadatkan bayangan menjadi bilah, lalu menebas target.”
“Bukan hanya fisik—ikatan sihir, penghalang, bahkan struktur tertentu bisa terpotong.”
Lucyfer menyeringai tipis.
Berguna.
Di sisi lain Akademi Agreta—
Sebuah asrama berbeda.
Seorang pemuda berambut merah gelap berdiri di tengah ruangan dengan mata berbinar.
Namanya Toma Ansel.
“Waaah!” serunya.
“Gila, aku nggak nyangka kita satu asrama!”
Ia menoleh ke gadis berambut pink di sampingnya.
“Klee, bukannya kau dari keluarga kaya?” katanya antusias.
“Enak banget, ya. Keluargaku biasa-biasa aja.”
Klee Odhard tertawa kecil.
“Hehehe, tenang saja,” katanya sombong.
“Kita dapat asrama kelas bangsawan karena ayahku sayang padaku.”
“Dia bakal melakukan apa pun buatku.”
Di sudut ruangan, seseorang yang sedari tadi tiduran tiba-tiba bangkit.
Rambut hitam acak-acakan. Tatapan kesal.
Alven Draven.
“OI!” teriaknya marah.
“KALIAN BERDUA RIBUT BANGET!”
Ia melempar bantal ke arah mereka.
“DIEM!”
“ATAU GW SUMBAT MULUT KALIAN PAKE BANTAL INI!”
Keheningan seketika.
Toma dan Klee saling pandang… lalu tertawa kecil tertahan.
Akademi Agreta.
Puluhan murid.
Puluhan ambisi.
Dan konflik yang baru saja dimulai.