Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.17 : Rumah Bordir de Rozenkamer
Plang bertuliskan "de Rozenkamer" ( Kamar Mawar) terpampang di depan mata. Dhyas mengatur napasnya, dan turun dari mobil yang mengantarnya. Dia dan Cakra sudah terpisah. Dia yang harus lebih dulu tiba di rumah bordir ini.
Oleh penjaga di depan, Dhyas dipersilahkan masuk setelah menunjukan sebuah surat pengantar yang sebelumnya sudah diatur oleh pihak panglima Wira.
Dhyas melangkah pelan melewati tirai beludru emas De Rozenkamer. Sore itu, cahaya matahari menembus kaca besar, menyapu lantai marmer dengan kilau hangat, menciptakan bayangan panjang di koridor. Udara hangat bercampur aroma parfum mahal dan kayu manis, membuat setiap tarikan napas terasa menyesakkan sekaligus memabukkan.
Di depannya, seorang wanita Jawa bertubuh gempal berdiri menunggu. Wajahnya tertutup riasan menor, bibir merah tebal dan alis hitam tegas, memberi kesan mengintimidasi sekaligus penuh otoritas. Namanya Marwiyah, sang manager rumah bordir.
“Ah, kamu yang baru?," suaranya berat dan tegas, namun ada nada menyembunyikan canda tipis.
Tanpa menunggu jawaban, Marwiyah menuntun Dhyas masuk ke salah satu ruangan pribadi di sudut, di mana lampu lilin berderet memberi cahaya lembut, dan tirai tebal menutup rapat jendela.
Di dalam, aroma parfum lebih pekat, bercampur dengan debu ringan dari karpet beludru merah marun. Marwiyah membuka lemari kecil berisi peralatan dandanan, wig, dan pakaian mewah. Dengan cekatan, dia mulai mendandani Dhyas, menata rambut, menyisir wajah, dan memakaikan pakaian yang harus membuatnya terlihat 'layak untuk dijual'.
Marwiyah cukup lincah dan piawai mendandani orang. Tidak butuh waktu lama, dia sudah selesai menyulap Dhyas menjadi lebih cantik.
"Sini, ganti baju desamu itu, cantik. Pakailah ini," Marwiah menyerahkan pakaian yang harus Dhyas kenakan.
Dhyas menatap dirinya di cermin; rambutnya kini disisir rapi dan dikepang tipis di belakang, beberapa helai menutupi wajahnya dengan lembut, seolah membingkai tatapan yang waspada sekaligus memikat. Alisnya sedikit ditebalkan, mata dihias tipis dengan eyeliner hitam dan bayangan cokelat yang menonjolkan kedalaman pandangan, pipi memerah lembut, dan bibir dicat merah bata, tegas tapi elegan. Kebaya tipis krem keemasan membalut tubuhnya dengan sulaman halus di tepi lengan dan dada, dipadukan dengan rok batik panjang motif daun dan bunga gelap yang menutup kaki hingga mata kaki, sementara selendang tipis di bahu menambah kesan anggun namun tetap praktis. Anting perak kecil dan gelang kayu halus memantulkan cahaya lilin di ruangan, menyempurnakan sosok Dhyas yang nyaris tidak dikenali, kini tampak siap menyatu dengan dunia rumah bordir, memerhatikan setiap detail, dan menunggu kesempatan untuk bertindak.
"Ingat, jangan mengecewakan ya, cantik," Marwiyah mengedipkan mata pada Dhyas. Diapun membawa Dhyas ke ruangan 'pertunjukan'.
**
Cakra melangkah pelan ke ruang pertunjukan de Rozenkamer. Ruang pertunjukan yang dimaksud adalah ruangan mereka menampilkan gadis-gadis 'koleksi' de Rozenkamer untuk dipilih oleh pria hidung belang yang hadir berdasarkan kemampuan membayar masing-masing pria.
Cakra membetulkan set jas nya. Itu sebenarnya agak kekecilan, tapi hanya itu yang dimiliki anak buah panglima Wira. Setiap langkahnya menggetarkan lantai kayu tua yang berderit tipis. Wajahnya tertutup topeng tipis dan riasan sederhana, berpura-pura menjadi seorang pria hidung belang yang penasaran dan ingin terhibur. Beruntungnya dia memiliki wajah Belanda dari gen ayahnya. Itu memberi nilai tambah terhadap penyamarannya kali ini .
Tirai beludru terbuka, memperlihatkan lampu lilin yang berkelap-kelip di sepanjang dinding, memantulkan bayangan panjang ke lantai marmer dan karpet merah marun.
Musik pianika yang lembut bercampur dengan suara tawa ringan pengunjung, sementara aroma parfum dan dupa menempel di udara, membuat atmosfer hangat tapi sarat ketegangan. Para gadis rumah bordir tampil di panggung kecil di sudut ruangan, bergerak anggun mengikuti irama musik, senyum dan tatapan mereka mengundang, namun setiap gerakannya terkontrol penuh, seolah menguasai ruang dengan pesona tersembunyi.
Cakra duduk di kursi kayu di barisan depan, mencoba menyesuaikan diri, mengamati setiap detail pengunjung lain, gerakan gadis-gadis. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, bukan karena takut, tapi karena setiap detik ia harus menyamar sempurna, menjaga identitas asli tetap tersembunyi.
Matanya terhenti pada salah satu gadis. Mata keduanya bertemu. Sang gadis melemparkan senyuman. Cakra terhipnotis sepersekian detik. Gadis itu berubah drastis. Kecantikannya murni. Senyumannya menyihir. Dhyas melanjutkan gerakan mengikuti teman-temannya yang lain. Cakra kembali mendapatkan kontrol dirinya.
"Baiklah, tuan-tuan dan meneer-meneer, ini gadis-gadis koleksi de Rozenkamer. Kita mulai yang pertama...,"
Marwiyah mulai memperkenalkan gadis-gadis itu satu persatu lengkap dengan harganya dan penawaran dari pria hidung belang.
Jantung Cakra berdetak kencang. Di bagian ini dia harus berhasil memainkan perannya. Kesalahan sedikit saja bisa membuat dia dan Dhyas kehilangan kepala.
"Ini koleksi terbaru kami, gadis desa pemilik senyum murni,"
Dhyas pun ditampilkan. Dia mengangkat wajahnya menatap satu per satu pria hidung belang yang duduk sembari merokok di hadapannya.
"3 Gulden," Cakra berdiri memberi penawaran.
"Meneer yang di sebelah sana menawar 3 Gulden. Luar biasa. Ada penawaran lain?,"
"Lima gulden," teriak suara dari belakang. Cakra langsung menoleh. Dhyas juga menoleh dengan waspada sambil tetap menjaga senyumannya.
"Enam gulden," timpal Cakra.
Pria itu menoleh. Dia penasaran sekaya apa Cakra sampai memberi penawaran tinggi.
Pria itu berpikir sejenak,
"Enam setengah gulden," teriak pria itu.
"Sepuluh gulden," balas Cakra
"Wooww," ditimpali seruan dari yang hadir. Semua mata tertuju pada Cakra.
Seseorang membisikan sesuatu pada Marwiyah. Marwiyah mengangguk,
"Maafkan saya tuan-tuan, meneer, yang satu ini sudah dipesan oleh pemilik de Rozenkamer, Tuan Lodewick van Dijk sebesar 15 gulden. Silakan duduk tuan-tuan. Gadis selanjutnya.....,"
Cakra dan Dhyas sama-sama membuang napas lega. Jebakan berhasil. Dhyas dilirik pemilik rumah bordir itu.
Selesai pertunjukan para gadis, seorang staf mendekati Cakra,
"Tuan, apakah anda tertarik untuk memesan wanita lain?,"
"Tentu saja. Saya butuh seseorang untuk menemani saya minum," jawab Cakra santai.
Ekor mata Cakra menangkap pergerakan seorang pria Belanda bertubuh tinggi tegap sedang berbicara dengan Dhyas. Dari perawakannya sepertinya umurnya tidak muda lagi tapi karena tubuh atletis nya dia terlihat lebih muda dari usianya.
Eh, apa itu? Kenapa dia sudah mulai menyentuh tangan Dhyas? (Cakra).
"Tuan, ini gadis untuk anda. Sarah," pelayan membawa seorang wanita. Penampilan Cakra membuat dia tidak terlihat masih belia. Sehingga pelayan itu menawarkan wanita yang di atas usianya.
Cakra mengangguk. Matanya kembali melihat ke sudut tempat Dhyas dan pria Belanda itu berdiri.
Kini, lelaki itu sudah mulai menyentuh pipi Dhyas. Darah Cakra berdesir. Sorot matanya tajam. Dia terlalu fokus hingga tidak mendengarkan wanita di sampingnya memanggilnya dari tadi.
"Tuan," wanita itu menyentuh lengan Cakra.
"Eh..maaf..maaf..aku tidak dengar," kilah Cakra kembali memperbaiki duduknya.
"Mau minum dulu atau langsung ke kamar?" tanya wanita itu.
"Minum dulu. Kita santai dulu sambil mengobrol," Cakra menjawab sambil curi-curi pandang ke arah Dhyas.
"Baiklah, saya tuangkan minumannya," Wanita itu mulai meraih botol minuman dan membuka tutup botolnya.
Cakra melirik lagi. Pria Belanda itu mencium tangan Dhyas. Cakra meremas kain penutup mejanya. Bukan hanya satu tangan, pria itu juga mencium tangan Dhyas yang lain dengan lembut dan penuh perasaan. Cakra meremas kain taplak meja itu lebih kuat.
"Eh..Tuan. Maaf. Anda menarik taplaknya terlalu kuat. Gelas ini hampir jatuh," wanitai itu menepuk lengan Cakra.
"Oh, maaf..maaf," Cakra merapikan kembali taplak meja bulat itu.
"Ini minumannya, Tuan,"
Cakra melirik lagi. Kali ini dia melihat pria Belanda itu mulai membawa Dhyas ke arah lantai dua.
"Kita tidak jadi minum. Langsung ke kamar saja," ucap Cakra tidak sabar sembari berdiri. Matanya terus mengikuti langkah kaki Dhyas dan pria Belanda itu.
"Loh kok? Tapi Tuan...," wanita itu hendak protes tapi Cakra keburu jalan duluan.