Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan Setelah Kepergian Bima semalam
Pagi itu, setelah kepergian Bima semalam, Anton melihat Dyah berada di luar rumah. Entah mengapa, pemandangan itu membuatnya tidak senang. Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul di hatinya, seperti melihat duri yang berpotensi menusuk rencananya.
"Mbak, sebaiknya Mbak Dyah masuk saja, jangan di sini!" kata Anton, menghampiri Dyah yang sedang duduk di ayunan taman. Nada bicaranya terdengar seperti perintah yang dibungkus dengan kepedulian palsu. Ia tahu, Dyah adalah satu-satunya orang di rumah ini yang tidak bisa ia bodohi.
Dyah menatap Anton. Tatapan mereka bertemu, namun yang terpancar dari mata Dyah adalah ketidaksukaan dan kecurigaan yang tajam. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Anton, sebuah aura licik yang membuatnya mual.
"Memangnya kenapa? Aku kan setiap pagi duduk di sini menikmati udara pagi!" jawab Dyah, berusaha mempertahankan haknya untuk menikmati taman, tempat yang sudah menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya.
"Iya, takutnya Mbak Dyah masuk angin nanti! Kan Mbak Dyah kurang sehat," jawab Anton dengan senyum manis yang tidak sampai ke matanya. Senyum itu hanya topeng, menyembunyikan ketidaksabarannya untuk segera menyingkirkan Dyah dari hadapannya.
"Tapi kan sejak dulu taman ini aku bermain..." Ucapan Dyah terpotong oleh suara Pak Rahman yang tiba-tiba muncul, seperti dewa penolong bagi Anton.
"Sudah, sudah, jangan dipermasalahkan lagi. Sebaiknya kamu turuti kata-kata Anton!" ucap Pak Rahman tegas, membela Anton tanpaReserve. Sikapnya sangat berbeda dari dulu, saat ia selalu memanjakan Dyah, menuruti segala keinginannya. Kini, Dyah merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri.
"Tapi, Pak..." Ucapan Dyah menggantung, ia merasa tidak adil diperlakukan seperti ini. Ada luka yang menganga di hatinya, luka yang disebabkan oleh perubahan sikap ayahnya yang begitu drastis.
"Sudah tidak ada tapi-tapian. Mar... Mar!" panggil Pak Rahman pada Mbak Marni, pengasuh Dyah yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri, namun kini hanya bisa menuruti perintah tanpaReserve.
Mbak Marni, yang memang bertugas mengurus Dyah sejak kecil, langsung mendekati Pak Rahman dengan tergesa-gesa, wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
"Iya, Pak!" jawab Mbak Marni hormat, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan situasi ini.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Mbak Marni, hatinya berdebar-debar, menebak-nebak perintah apa lagi yang akan ia terima.
"Bawa Dyah masuk ke dalam!" perintah Pak Rahman dengan nada yang tidak bisa dibantah. Tidak ada lagi kelembutan dalam suaranya, hanya ketegasan yang dingin dan menusuk, membuat Mbak Marni menunduk dalam-dalam.
"Tapi, Pak, saya masih ingin di sini!" kata Dyah memohon, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah kapan saja. Ia berharap ayahnya akan mengizinkannya, seperti dulu, namun harapan itu kini terasa begitu jauh.
"Tidak, tidak ada tapi-tapian. Cepat bawa Dyah masuk, Mar!" perintah Pak Rahman lagi, semakin tegas, bahkan cenderung membentak, membuat Dyah tersentak kaget.
Tanpa berani menolak, Mbak Marni akhirnya membawa Dyah masuk ke dalam rumah. Ia merasa iba pada Dyah, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanyalah seorang pengasuh, tidak memiliki kekuatan untuk melawan kehendak majikannya, apalagi di depan Anton yang kini memiliki pengaruh besar di rumah ini.
Tanpa terasa, air mata Dyah menetes di pipinya, membasahi pipinya yang mulus. Ia merasa sedih dan terasingkan di rumahnya sendiri, seperti orang asing yang tidak diundang.
"Sabar ya, Mbak Dyah!" kata Mbak Marni setelah sampai di kamar Dyah, suaranya lirih dan penuh simpati. Ia berusaha menenangkan Dyah yang sedang bersedih, meskipun ia sendiri merasa hatinya hancur melihat Dyah diperlakukan seperti itu.
"Bapak sekarang berubah, Mbak Mar, setelah ada Anton!" kata Dyah sambil mengusap air matanya, suaranya tercekat, penuh dengan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Ia merasa kehilangan sosok ayahnya yang dulu selalu menyayanginya, melindunginya, dan menuruti segala keinginannya.
"Mbak Dyah harus sabar ya, mungkin ini ujian dari Allah. Suatu saat nanti, ujian ini pasti akan berakhir!" kata Mbak Marni sendu, berusaha memberikan semangat pada Dyah, meskipun ia sendiri tidak tahu kapan ujian ini akan berakhir, dan bagaimana cara menghadapi Anton yang semakin hari semakin menunjukkan kekuasaannya.
Memang, semenjak kehadiran Anton, banyak hal yang berubah di rumah ini. Suasana yang dulu hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa dingin dan penuh ketegangan, seperti rumah hantu yang ditinggalkan penghuninya.
*************