Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 UNIVERSE ARUNIKA— Pilihan yang Membuat Tidak Ada yang Benar
Aku berdiri di depan pintu, jarak setengah langkah dari gagang.
Sari memegang lenganku, sekuat mungkin, tangannya gemetar.
Di luar, suara “Kayla” terdengar lagi — lembut, memohon, bukan ancaman.
> “Raka… kalau kamu nggak buka, aku sendirian. Aku takut.”
Kalimat itu menghantam jantung seperti pukulan.
Sari berbisik nyaris tanpa suara: “Jangan dengerin… itu bukan dia. Bukan Kayla.”
Tapi suara di luar tetap memanggil — dan suara itu terdengar terlalu nyata.
Bukan suara makhluk yang menyamar…
melainkan suara perempuan yang benar-benar sedang menangis.
Dan itu jauh lebih mematikan.
Kalau itu bukan Kayla… suaranya sempurna.
Kalau itu adalah Kayla… berarti Kayla sudah ditarik, entah bagaimana.
Keduanya sama-sama berakhir buruk.
---
Aku memejamkan mata.
Aku coba ingat semua alasan untuk tidak membuka pintu.
Kalau pintu kubuka:
hanya satu orang menghilang Kalau pintu tidak kubuka:
dua orang menghilang
Kalimat itu seperti teka-teki yang tidak mungkin dimenangkan.
Sari menggenggam wajahku, memaksaku menatap dia.
“Denger gue baik-baik,” katanya, napas tersengal,
“Kayla nggak boleh jadi pilihan. Kita nggak boleh nurut sama gunung. Kalau kita nurut, dia menang.”
“Apa yang lu maksud ‘menang’, Sar? Kayla bisa mati!”
“Kalau kita buka pintunya demi nyelamatin Kayla, itu artinya gunung sukses bikin kita mengorbankan orang lain demi orang yang kita sayang. Itu kemenangan buat dia.”
Aku mau bilang sesuatu, tapi dari luar pintu Kayla kembali bicara — lebih pelan, lebih hancur:
> “Raka… kalau kamu nggak buka, aku yang disalahin. Aku yang bikin kamu hilang. Aku nggak sanggup… tolong.”
Dada aku memanas, air mata langsung jatuh.
Karena gunung tidak pernah menyerang kita langsung.
Gunung menyerang melalui orang yang kita sayang.
Sari memelukku dari belakang, seolah memaksa tubuhku tetap jauh dari pintu.
“Ka… gue ada di sini. Kita bertahan bareng. Kita nggak buka pintu ini.”
Tapi suaraku pecah: “Kalau itu beneran Kayla, Sar? Kalau dia di luar sana sendirian nunggu gue buka?”
Sari menangis juga sekarang.
“Kalau itu Kayla… gue rela dia benci sama gue seumur hidup. Asal dia nggak hilang.”
Ada jeda hening yang terasa seperti jurang gelap terbuka di dalam kepala.
Kalau benar itu Kayla… dan aku tidak buka pintu… aku menyiksanya.
Kalau itu bukan Kayla… dan aku buka pintu… aku menyiksiku dan Sari.
Tidak ada pilihan tanpa korban.
Dan mungkin itu inti seluruh tragedi Gunung Arunika.
Bukan siapa yang mati.
Tapi siapa yang dipaksa memilih.
---
Aku mencoba satu hal — satu-satunya hal yang bisa kulakukan.
Aku menempelkan bibir ke celah pintu, menahan napas sambil berbisik:
“Kay… kalau itu beneran kamu… jawab pertanyaan ini…”
Suara dari luar hening.
Aku lanjut:
“Pertama kali kita ketemu… gue bilang kopi favorit gue apa?”
Hening beberapa detik.
Lalu jawabannya datang:
> “Martabak latte… tanpa es. Kamu bilang kamu nggak suka minuman dingin kalau malam.”
Hatiku langsung seolah berhenti.
Itu benar.
Hanya tiga orang yang tahu — aku, Sari, dan Kayla.
Dan aku tahu pasti Sari tidak akan menjawab itu dari balik pintu.
Sari sendiri langsung pucat, seakan dunianya ambruk juga.
“Ka… jangan. Gue mohon jangan buka.”
Aku menangis tanpa suara.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasa benar-benar kalah.
“Apa yang harus gue lakuin, Sar? Kalo itu bener Kayla… dia nggak salah apapun.”
Sari memegang wajahku paksa, menatap langsung ke mata:
“Kamu lupa satu hal penting,” katanya lirih, patah tapi tegas.
“Gunung bukan butuh Kayla.
Gunung butuh seseorang yang kamu pilih.”
Kata “pilih” membunuhku pelan-pelan.
Karena benar.
Kalaupun itu Kayla beneran —
gunung mau aku memilihnya.
Karena saat aku memilih Kayla… pintuku akan tertutup, dan dia akan menggantikan aku.
Itulah harga.
Dan tiba-tiba aku sadar: segalanya dirancang ke arah itu.
Kayla tidak dipanggil gunung.
Aku yang dipaksa memanggil Kayla — dari rasa sayang, rasa khawatir, dan rasa bersalah.
Di luar pintu, suara itu kembali:
> “Raka… aku siap kalau kamu siap.
Aku cuma nggak mau kamu sendirian.”
Bukan ancaman.
Bukan paksaan.
Tapi penyerahan diri.
Dan itu persis tipe jiwa yang digemari gunung.
Sari akhirnya melakukan sesuatu yang bahkan aku tidak sangka — dia memukul pintu dari dalam dan berteriak:
“Kayla kalau itu BENERAN kamu — pergi sekarang juga! Marah sama kami boleh! Benci kami boleh! Terserah! Pokoknya JANGAN NUNGGU DI SINI!”
Tidak ada jawaban.
Lama sekali.
Sampai akhirnya terdengar suara satu langkah…
lalu langkah kedua…
ketiga…
keempat…
kelima…
keenam.
Pergi — atau menghilang.
Aku tidak tahu.
Aku jatuh berlutut, menangis, tubuhku goyah.
Sari memelukku dari belakang lagi.
“Kita bertahan… kita bertahan… kita bertahan,” katanya terus mengulang seperti mantra.
Tapi tiba-tiba, sesuatu terjadi.
Gelang jatuh dari meja ke lantai — bukan terlempar, tapi seperti dijatuhkan dari atas oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Dan huruf di gelang mulai memudar — satu per satu.
K → hilang
A → hilang
Y → hilang
L → hilang
A → hilang
Baris kelima menjadi kosong lagi.
Sari tercekik napas. “Ka… pintunya belum tertutup. Belum ada keputusan final.”
Aku mengusap wajah, sesenggukan.
“Jadi… Kayla selamat?”
“Aku nggak tahu,” suara Sari pecah. “Tapi pintu belum memilih siapa yang hilang.”
Dan kemudian kami berdua mendengar hal yang paling dingin sepanjang malam itu.
Bukan suara langkah.
Bukan suara panggilan.
Tapi suara notifikasi HP.
Pesan masuk dari Kayla.
> “Maaf aku ke rumah tadi. Aku pulang. Aku nggak mau ganggu lagi.”
Kalimatnya terdengar normal… tapi ada satu detail kecil yang menghancurkan kami:
Lokasi Kayla dalam pesan itu…
di-update otomatis.
Dan titik lokasinya bergerak ke arah barat
— arah menuju Gunung Arunika.
Sari menutup mulutnya. “Ka… Kayla nggak ngontrol dirinya. Dia digerakkan.”
Aku gemetar sampai tangan mati rasa.
Dan Sari mengucapkan kalimat yang mengunci seluruh bab ini:
> “Kayla bukan datang ke pintu kita untuk dipilih.
Kayla datang untuk memastikan kamu mengikuti dia ke Arunika.”
Di layar HP, titik lokasi Kayla bergerak ke jalan raya.
Lambat.
Rapi.
Seperti orang berjalan… bukan mengemudi.
Kayla sedang berjalan sendirian.
Menuju gunung.
Bukan karena dia dipanggil gunung…
Tapi karena aku yang memanggil pintunya tanpa sadar.
Dan sekarang…
Gunung tidak mau Kayla.
Gunung mau aku.
Dan Kayla sedang menjadi jalan untuk mencapainya.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor