Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan dengan Kakek
Rumah Jaya Pradipta berdiri megah di kawasan Menteng, bangunan kolonial Belanda yang sudah berusia hampir seratus tahun dengan taman luas, kolam ikan koi, dan pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi. Ini adalah rumah warisan, rumah kebanggaan keluarga Pradipta, rumah tempat Rangga tumbuh besar sebelum akhirnya pindah ke rumahnya sendiri setelah menikah.
Mobil Rangga dengan Indira di kursi penumpang dan Ayunda di kursi belakang memasuki halaman pada pukul sepuluh pagi hari Minggu. Perjalanan dari terasa sangat panjang meskipun hanya tiga puluh menit, karena atmosfer di dalam mobil sangat tegang. Tidak ada yang berbicara. Hanya keheningan yang mencekik.
Rangga memarkirkan mobilnya di samping mobil kakeknya yang baru saja pulang dari New York semalam. Jaya Pradipta, pria berusia tujuh puluh delapan tahun yang masih bugar dan tajam pikirannya, adalah patriark keluarga Pradipta. Pendiri perusahaan yang sekarang dikelola oleh Bambang dan Rangga. Pria yang kata-katanya adalah hukum di keluarga ini.
Dan pria yang baru mengetahui skandal pernikahan cucunya dari berita viral di media sosial.
"Kita masuk?" tanya Rangga pelan, lebih ke Indira daripada Ayunda.
Indira tidak menjawab. Ia hanya turun dari mobil dengan gerakan yang anggun, mengenakan dress midi berwarna krem yang elegan, blazer tipis, heels sedang, dan tas tangan kecil. Penampilannya sempurna seperti biasa. Tidak ada yang menunjukkan ketegangan atau kekhawatiran.
Ayunda turun dengan dress pink yang terlalu mencolok untuk pertemuan keluarga formal seperti ini. Ia menatap rumah besar itu dengan mata terbelalak campuran kagum dan sedikit gugup.
"Rumahnya besar sekali," bisiknya pada Rangga.
Rangga tidak merespon. Ia terlalu fokus pada pintu depan yang terbuka, seorang pembantu tua berdiri di sana, membungkuk hormat.
"Selamat pagi, Tuan Muda. Nyonya Indira. Dan..." pembantu itu melirik Ayunda dengan tatapan bingung, tidak tahu harus menyapa dengan sebutan apa.
"Ini Ayunda," ucap Rangga kaku. "Istri... kedua saya."
Pembantu itu mengangguk pelan tanpa ekspresi, tapi matanya mengatakan banyak hal. "Tuan Besar sudah menunggu di ruang keluarga. Silakan masuk."
Mereka bertiga masuk, Indira di depan dengan langkah mantap, Rangga di tengah dengan wajah tegang, dan Ayunda di belakang dengan langkah ragu-ragu.
Ruang keluarga adalah ruangan besar dengan langit-langit tinggi, furniture antik kayu jati, lukisan-lukisan mahal di dinding, dan karpet Persia yang lembut. Di sofa tunggal yang menghadap jendela, duduk seorang pria tua dengan rambut putih rapi, mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana bahan hitam. Posturnya tegak meskipun usianya sudah lanjut.
Jaya Pradipta. Kakek Rangga.
"Kakek," sapa Rangga sambil mendekat, membungkuk hormat.
Jaya tidak langsung menjawab. Ia menatap ketiga orang di hadapannya dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu pandangannya berhenti pada Indira.
"Indira," sapanya, suara yang masih tegas meskipun sudah tua. "Kemarilah."
Indira melangkah dengan tenang, membungkuk hormat. "Selamat pagi, Kakek."
Jaya menatapnya dengan tatapan yang lama, terlalu lama seolah mencari sesuatu di wajah menantunya itu. Lalu ia mengangguk pelan dan mengalihkan pandangan pada wanita di belakang Rangga.
"Dan kamu pasti Ayunda," ucapnya datar.
Ayunda melangkah maju dengan gugup, membungkuk canggung. "Se-selamat pagi, Kakek."
"Jangan panggil aku Kakek," potong Jaya dengan nada yang dingin. "Aku bukan kakekmu. Panggil aku Tuan Jaya."
Wajah Ayunda memerah, malu dan terluka. Tapi ia hanya bisa mengangguk kecil, tidak berani membantah.
"Duduk," perintah Jaya sambil menunjuk sofa panjang di hadapannya.
Mereka duduk, Indira di ujung dengan postur sempurna, Rangga di tengah dengan gelisah, dan Ayunda di ujung satunya dengan tangan yang tidak tahu harus diletakkan di mana.
Keheningan mengisi ruangan. Jaya menatap ketiga orang itu dengan tatapan menilai.
"Jadi," akhirnya ia berbicara, suaranya memenuhi ruangan, "ini yang kalian lakukan saat aku tidak ada? Membuat skandal yang membuat nama keluarga Pradipta jadi bahan tertawaan?"
Rangga menelan ludah. "Kakek, aku bisa jelaskan..."
"Jelaskan apa?" potong Jaya dengan suara yang meninggi. "Jelaskan kenapa kamu menikah lagi sementara masih punya istri sah? Jelaskan kenapa skandalmu tersebar ke seluruh Jakarta lewat baliho-baliho besar? Jelaskan kenapa aku harus dengar gosip tentang cucu ku dari teman-teman bisnisku di New York?"
"Itu tidak... aku tidak bermaksud..."
"Tidak bermaksud?" Jaya menatap cucunya dengan tatapan mengecewakan. "Rangga, kamu CEO perusahaan keluarga kita. Kamu adalah wajah dari nama Pradipta. Apapun yang kamu lakukan akan berdampak pada bisnis kita. Dan kamu pikir menikah lagi tanpa cerai dulu tidak akan berdampak?"
Rangga tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk.
Jaya mengalihkan pandangannya pada Indira. "Indira, aku dengar kamu yang pasang baliho-baliho itu?"
Indira menatap kakek mertuanya dengan tenang. "Ya, Kakek. Saya yang pasang."
"Kenapa?" tanya Jaya, bukan dengan amarah, tapi dengan keingintahuan yang genuine.
"Karena saya ingin semua orang tahu kebenaran," jawab Indira dengan suara yang sangat tenang. "Rangga dan Ayunda menikah secara diam-diam, membuat acara tertutup di Bali, berharap tidak ada yang tahu. Saya hanya mengumumkan pernikahan mereka ke publik. Tidak ada yang salah dengan itu."
"Tapi cara kamu mengumumkannya menciptakan skandal," ucap Jaya. "Itu merusak reputasi keluarga kita."
"Bukan saya yang merusak reputasi keluarga," Indira menjawab, masih tenang, masih terkontrol. "Mas Rangga yang melakukannya dengan perselingkuhan dan pernikahan keduanya. Saya hanya mengungkap apa yang sudah terjadi."
Jaya terdiam, menatap menantunya dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu ia menghela napas panjang.
"Aku tidak menyalahkan kamu untuk marah, Indira," ucapnya akhirnya. "Tidak ada wanita yang akan senang suaminya menikah lagi. Kamu berhak marah. Kamu berhak merasa dikhianati."
Indira mengangguk pelan, tidak mengatakan apa-apa.
"Tapi," Jaya melanjutkan, dan kata 'tapi' itu terasa seperti pukulan yang akan datang, "kamu juga harus introspeksi diri. Tiga tahun pernikahan, kamu tidak kasih keturunan untuk Rangga. Untuk keluarga Pradipta."
Indira membeku. Rangga menatap kakeknya dengan mata terbelalak. Ayunda duduk diam, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Kakek..." Rangga mencoba membela.
"Diam," potong Jaya dengan tegas. "Aku belum selesai bicara."
Ia kembali menatap Indira. "Kamu tahu betapa pentingnya keturunan dalam keluarga kita. Kamu tahu Rangga adalah cucu laki-laki satu-satunya. Penerus tunggal garis keluarga Pradipta. Dan tiga tahun, kamu tidak bisa kasih dia anak."
"Itu bukan salah Indira..." Rangga mencoba lagi.
"Lalu salah siapa?" Jaya menatap cucunya. "Kamu sudah tes. Dokter bilang kamu sehat. Masalahnya ada di Indira. Dan seorang istri yang tidak bisa kasih keturunan... itu masalah besar."
Indira mengepalkan tangannya di pangkuan, satu-satunya tanda bahwa kata-kata itu menyakitinya. Tapi wajahnya tetap tenang. Tetap terkontrol.
"Aku tidak bilang Rangga benar untuk selingkuh," lanjut Jaya. "Cara dia lakukan itu salah. Sangat salah. Dia seharusnya bicara denganmu dulu. Seharusnya kalian cari solusi bersama. Tapi pada akhirnya... keluarga kita butuh keturunan. Dan kalau kamu tidak bisa kasih, maka Rangga punya hak untuk cari cara lain."
"Dengan menikah lagi?" Indira akhirnya berbicara, suaranya masih tenang tapi ada sedikit ketajaman di sana. "Dengan mengkhianati pernikahan kami?"
"Dengan mencari jalan keluar," koreksi Jaya. "Cara yang tidak elegan, aku akui. Tapi tetap jalan keluar."
Indira tersenyum tipis, senyum yang tidak hangat. "Jadi Kakek bilang ini salah saya? Karena saya tidak bisa hamil?"
"Aku tidak bilang ini sepenuhnya salahmu," Jaya menggelengkan kepala. "Tapi kamu juga tidak sepenuhnya tidak bersalah. Kamu gagal dalam tanggung jawab utama seorang istri memberikan keturunan."
Kata-kata itu menggantung di udara, kata-kata yang patriarkal, yang menyakitkan, yang mereduksi nilai seorang wanita hanya pada kemampuannya melahirkan anak.
Rangga menatap Indira dengan campuran rasa bersalah dan harapan, berharap Indira tidak akan marah, tidak akan meledak.
Ayunda duduk dengan wajah puas yang sedikit terlihat, puas karena akhirnya ada yang membenarkan posisinya.
Dan Indira? Indira duduk dengan tenang. Sangat tenang. Terlalu tenang.
"Aku mengerti sudut pandang Kakek," akhirnya ia berkata dengan suara yang luar biasa terkontrol. "Keluarga Pradipta butuh keturunan. Dan saya gagal memberikan itu. Itu fakta."
Jaya mengangguk, senang Indira mengerti.
"Tapi," lanjut Indira, dan semua orang di ruangan itu menoleh padanya, "apakah kegagalan saya memberikan keturunan membenarkan pengkhianatan? Apakah itu membenarkan kebohongan bertahun-tahun? Apakah itu membenarkan pernikahan kedua tanpa perceraian yang sah?"
Jaya terdiam.
"Anda bilang Rangga punya hak untuk cari jalan keluar," Indira melanjutkan. "Saya setuju. Tapi jalan keluar yang terhormat adalah cerai, bukan selingkuh. Jalan keluar yang benar adalah komunikasi, bukan kebohongan."
"Indira..." Rangga mencoba menyela.
Tapi Indira mengangkat tangannya, gerakan yang membuat Rangga diam.
"Saya mengerti posisi saya di keluarga ini sekarang," ucap Indira sambil menatap Jaya. "Saya adalah istri yang gagal. Istri yang tidak bisa memberikan keturunan. Dan karena itu, saya dianggap sebagai penyebab semua masalah ini."
"Indira, aku tidak bilang kamu penyebab..." Jaya mencoba klarifikasi.
"Tapi Kakek menyiratkan itu," potong Indira dengan tenang. "Kakek bilang saya harus introspeksi. Kakek bilang saya gagal dalam tanggung jawab utama. Kakek bilang Rangga punya hak untuk cari cara lain. Semua itu menyiratkan bahwa saya yang salah."
Keheningan.
"Dan mungkin memang benar," Indira melanjutkan dengan senyum pahit. "Mungkin saya memang yang salah. Mungkin saya memang tidak cukup baik untuk keluarga Pradipta."
"Dira, jangan..." Rangga mencoba meraih tangannya, tapi Indira menghindari.
"Tapi yang ingin saya klarifikasi," Indira menatap Jaya dengan tatapan yang tidak berkedip, "tentang baliho itu. Ya, saya yang pasang. Dan saya tidak menyesal. Karena Rangga dan Ayunda menikah dengan sengaja menyembunyikannya dari semua orang. Mereka buat acara tertutup, di luar kota, berharap tidak ada yang tahu. Itu bukan pernikahan yang terhormat. Itu adalah pernikahan yang malu-malu. Dan saya hanya membuat mereka tidak perlu malu lagi, maka saya umumkan ke publik."
Jaya menatap menantunya dengan tatapan yang berubah dari menilai menjadi sedikit kagum. Wanita ini lebih kuat dari yang ia kira.
"Tentang reputasi keluarga Pradipta," lanjut Indira, "saya paham itu penting untuk Kakek. Tapi reputasi yang rusak bukan karena baliho saya. Reputasi rusak karena Rangga mengkhianati istrinya dan menikah lagi tanpa cerai. Baliho saya hanya membuat orang tahu. Tapi tindakan Rangga yang membuat ada sesuatu untuk diketahui."
Jaya menghela napas panjang. Ia tidak bisa membantah logika itu.
Indira berdiri lalu membungkuk hormat pada Jaya. "Permisi, Kakek. Saya akan tunggu di mobil. Mas Rangga bisa lanjutkan percakapan dengan Kakek tanpa saya."
Lalu ia berjalan keluar, langkah tegak, kepala terangkat tinggi, seperti ratu yang meninggalkan ruang tahta.
Yang tertinggal adalah keheningan yang berat.