Sepasang anak sekolah, yang tidak saling mengenal. Berteduh di gubuk reyot pinggir jalanan sepi, di tuduh berzina dan berujung di Nikahkan secara Paksa.
"Sebentar, ini salah Paham!!."
"Kami bahkan ngga saling kenal."
Namun sayangnya, suara mereka tidak di dengar. Mereka di arak menuju masjid, dan di Nikahkan di sana.
Apa yang akan terjadi, pada dua sejoli yang tidak saling kenal, tapi tiba tiba jadi suami istri?. Usia mereka masih belia dan masa depan mereka masih panjang.
Ikuti Kisahnya (^^)
Note : Berdasarkan imajinasi author, selamat membaca :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mellisa Gottardo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu malu mau
Alvian dan Aurora tertidur pulas. Awalnya jarak mereka berjauhan, tapi karena tangan mereka bergandengan, jarak diantara mereka terkikis.
Hingga saat Alvian terbangun, dirinya merasakan sesuatu di sebelah lengannya. Dia perlahan membuka matanya. Terkejut melihat Aurora tidur persis di sampingnya, tanpa ada jarak diantara mereka.
Alvian tersenyum, melihat salah satu tangan Aurora menggenggam lenganya. Dengan hati-hati, Alvian mengelus pipi istrinya.
Mulai mengingat ke belakang, sudah lebih dari satu bulan dirinya menikah. Dia menikah secara SAH dan resmi, memiliki buku nya hanya saja dia harus backstreet sampai lulus SMA.
Alvian merasa sangat senang, kenapa dari dulu dia tidak mengamati istrinya yang tertidur. Padahal mereka tidur satu kamar, tapi tidak ada interaksi yang berarti apapun.
"ngh.." Aurora menggeliat, terusik dengan elusan Alvian.
"Ra.. gue laper." Bisik Alvian.
Aurora membuka matanya, menatap kesal ke arah Alvian. Tapi Alvian menang tidak bohong, dia merasa lapar. Saat menatap jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi.
Mereka tidur dari sore, tanpa makan malam jadi pantas saja Alvian kelaparan. Aurora bangkit dari tidurnya, masuk ke kamar mandi untuk kencing dan cuci muka.
Alvian melakukan hal yang sama, luka dalam di perutnya semakin sakit. Tapi dia harus banyak bergerak, supaya cepat membaik. Alvian membuntuti Aurora ke dapur.
"Ngapain ikut turun?." Aurora terlihat khawatir.
"Makan disini aja." Ucap Alvian.
"Aku males masak, aku buatin mie aja ya." Ujar Aurora.
"Iyaa." Alvian menurut.
Alvian menatap Aurora yang cekatan, meskipun cepat dia melakukan dengan bersih dan terstruktur. Dia menatap Lamat-lamat, lalu tersenyum tipis.
"Kayaknya gue gila, kenapa gue berharap Aurora Hamil anak gue." Batin Alvian.
"Nih, habisin." Aurora datang dengan dua mangkuk mie kuah, komplit dengan sayur dan telur.
Keduanya makan malam bersama, meskipun terlambat. Alvian makan dengan senang, untung saja dia sadar lebih cepat. Jika dia membuat Istrinya merasakan sakit lebih dari ini, pasti mustahil dia memperbaiki semuanya.
"Ra, gimana luka lo?." Tanya Alvian.
"Sakit." Jujur Aurora.
"Maaf, besok kita ke Dokter. Dokter yang di panggil Ayah ngga bisa Dateng semalem." Ucap Alvian.
"Nggapapa, istirahat sebentar juga sembuh." Tolak Aurora.
Alvian menghela nafas, dia menatap sekeliling sambil menyantap mie nya. Melihat suasana yang sudah lama dirinya lihat, dia sedang hidup bersama Istrinya.
Setelah makan, mereka kembali ke kamar. Aurora bersiap kembali tidur karena masih ngantuk, Alvian mengambil dompet kulit miliknya. Menyerahkan dompet itu pada Auorora.
"Ini, seharusnya dari awal Lo yang pegang uang." Ujar Alvian.
Aurora menerima dompet itu, membuka isinya. Ada foto masa kecil Alvian, ada uang cash sekitar tiga juta, KTP dan 2 kartu Blackcard. Aurora mengeluarkan semuanya, menyisakan Foto, KTP dan Uang Cash satu juta.
"Nih, buat seminggu." Ucap Aurora, mengembalikan dompetnya.
"Seminggu? cuma buat bensin dong Ra." Bingung Alvian.
"Emang bensin mahal banget? motor kamu boros ya? masa tangki sebesar itu ngga irit." Sinis Aurora.
"Ya maksudnya, ngepas banget." Kikuk Alvian.
"Ikhlas ngga sih." Lirik Aurora.
"Ikhlas kok." Alvian, buru-buru menjawab.
"Nanti kalo kurang, minta lagi dan bilang mau buat beli apa. Lo harus nunjukin struk pembeliannya, kalo engga aku anggap itu utang dan bunganya 50%." Ucap Aurora.
"Ya." Alvian pasrah.
Aurora menyimpan harta Karun di dompetnya, merebahkan diri dan bersiap kembali ke alam mimpi. Sebelum celetukan Alvian, membuat Aurora melotot kaget.
"Kita belum malam pertama kan, Ra." Ucap Alvian, lirih.
Deg.
"A-apa? jangan bilang alesanmu ngasih uang karena buat bayar ini." Aurora nampak ketakutan.
"Nggak!! Tapi kita emang belum malam pertama kan, padahal kita udah nikah." Ucap Alvian.
"Males, kamu tukang selingkuh." Tolak Aurora.
"Dosa, nolak suami." Ucap Alvian, sudah mencaritau di internet.
"Dosanya udah banyak, nggapapa tambain dikit lagi." Cuek Aurora.
"Tapi gue juga butuh nafkah batin, Ra." Ucap Alvian, berusaha.
"Hahahah, yang dapet nafkah harusnya aku. si Cindy pernah bilang, katanya dia pernah buka kolor buat kamu, kenapa ngga di pake aja? toh rasanya kan sama." Ucap Aurora sinis.
"Ngga sudi." Datar Alvian.
"Sadar dong, kamu kan lagi luka. Mana bisa besok aja, atau bulan depan." Ucap Aurora ngeles.
"Seenggaknya kita boleh skinship lebih dari sekedar tidur di kasur yang sama kan." Ujar Alvian.
"Emang apa?." Aurora jadi kepo.
Alvian tersenyum smirk, melirik gunung kembar Aurora sambil menarik turunkan alisnya. Aurora terkesiap, reflek menyilangkan tangan dan merasa merinding.
"Apa ih! jorok banget matanya, kamu sering begini ya." Sungut Aurora.
"Hah apaan, ini naluri. Lagian itu kan emang punya gue." Ucap Alvian, tersenyum geli.
Jantung Aurora berdebar kencang, entah kenapa menurutnya Alvian terlihat lebih berbahaya dari biasanya. Padahal biasanya cuek, kenapa tiba-tiba begini.
"Please, Ra. Yakin ngga aneh-aneh, Lo juga dapet pahala tau." Rayu Alvian.
Aurora memalingkan wajahnya malu, memunggungi Alvian begitu saja. Aurora menutup lampu tidur, dirinya harus tidur daripada meladeni otak kotor Alvian.
Greb
Aurora tersentak kaget, Alvian memeluknya dari belakang. Bahkan tangannya dengan nakal meremas gunung kembarnya, Aurora berusaha menurunkan tangan nakal Alvian.
"Ngh... minggir, ngga sopan." Aurora merasa geli.
"Diem, Ra. Lo tidur aja." Suara serak Alvian, membuat Aurora menegang.
Hembusan nafas Alvian di tengkuknya, membuatnya merinding dan panas dingin. Dia merasa tidak nyaman, merasa geli dan aneh lalu merasa ada sesuatu yang keras mengganjal di punggungnya.
"Dompetmu nusuk pinggangku tau." Celetuk Aurora.
"Hah?." Heran Alvian.
"Ini, keras. Awasin dompetmu." Ucap Aurora, menekan punggungnya ke sesuatu yang keras itu.
"Ugh... brengsek." Alvian melenguh.
"Eh kenapa? kena lukamu ya? maaf." Aurora salah paham.
"Hah... hahahah." Alvian tersenyum konyol.
"Kenapa malah ketawa sih." Kesal Aurora.
"Dompetnya nyelip, tolong bukain, Ra." Ucap Alvian terlentang.
"Apasih, cuma singkirin dompet aja gabisa." Dengan kesal, Aurora membalik badan dan merogohnya.
Aurora benar-benar berpikir itu dompet, Alvian tersenyum smirk di kegelapan kamar itu. Merasa terhibur dengan sifat polos Aurora.
"Aaakkhhhhhhhhhh."
Gedubrak
Aurora terjungkal kaget, sampai jatuh dari kasur saking syoknya. Alvian jadi ikutan kaget, menatap Aurora yang sekaget itu.
"A-al, a-apa itu.... ular? ada ularnya? AL DI CELANAMU ADA ULARNYA!!!." Teriak Aurora, histeris.
"Emang." Santai Alvian.
"Maksudnya? dia ngga gigit?." Aurora ketakutan.
"Emang di SMP Lo ngga di kenalin perbedaan kelamin perempuan sama laki laki." Kesal Alvian.
"Tau kok, kenapa?." Polos Aurora.
"Ya ini kelamin gue, bego. Bukan Ular." Sungut Alvian.
"Loh... emang aslinya kaya gitu? semuanya kaya gitu?." Aurora kembali mendekat, sekarang merasa penasaran.
"Ya mana gue tau, masa gue harus ngintipin kelamain orang satu satu." Kesal Alvian.
"Oh jadi kamu bawa itu kemana mana? gede banget, tapi kok ngga pernah ngecap di celana." Aurora sangat penasaran.
"Ekhem... ya kalo ngga bangun, ngga Segede ini." Alvian jadi salting.
"Hidup? maksudnya?." Aurora ketakutan.
Sraattt
Deg.
Aurora melotot kaget, Alvian menarik celana kolornya. Memperlihatkan pedangnya yang berdiri tegak gagah berani.