Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Begitu tiba di restoran, Alin masih memasang wajah masam. Matanya menatap ke arah jendela tanpa berkata sepatah kata pun, sementara jari-jarinya sibuk memainkan sendok di atas meja, membuat suara gemerincing kecil yang terasa mengganggu suasana.
Jodi hanya bisa menghela napas pelan, menahan diri untuk tidak menegur. Ia tahu, semakin ia bicara, semakin panjang nanti urusannya. Daripada memperkeruh suasana, ia memilih menunduk, mengambil ponselnya, lalu mulai mengetik pesan.
“Sus Risa, Bagaimana Miranda saat ini.. Pastikan dia tetap tenang, ya.”
Pesan itu terkirim, tapi entah kenapa, Jodi justru menatap layarnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu di pikirannya, sesuatu yang tak seharusnya ia pikirkan saat sedang duduk berdua dengan istrinya.
Sementara di seberang meja, Alin melirik sekilas ke arah Jodi, kemudian kembali berpaling. Tatapan matanya yang dingin seolah berkata tanpa suara: “Ck.. nyebelin. Selalu saja seperti itu.”
Hening di antara mereka terasa panjang. Hanya suara denting gelas dan obrolan pengunjung lain yang mengisi udara. Dan di sela keheningan itu, Jodi menatap ponselnya sekali lagi, entah karena tugas… atau karena pikirannya masih tertinggal di rumah sakit.
Belum sempat makanan tersaji di meja, ponsel Jodi bergetar. Sebuah pesan dari Suster Risa muncul di layar.
“Miranda masih dalam kondisi stabil Dok, hanya saja… Miranda menolak untuk makan. Sudah dibujuk tetap diam, hanya menatap tembok dan sesekali tersenyum sendiri.”
Jodi menghela napas pelan, tapi dalam matanya ada kekhawatiran yang nyata. Ia tahu, bila Miranda mulai menolak makan dan menunjukkan tanda-tanda menarik diri, itu bisa berujung buruk.
Tanpa pikir panjang, ia menatap Alin. “Lin, mas harus ke rumah sakit sekarang.”
Alin langsung menegakkan tubuh, matanya membulat. “Apa?” suaranya meninggi, “Kita bahkan belum makan, mas Jodi. Hari ini mas janji buat nemenin aku!”
“Pasienku butuh aku, Lin,” jawab Jodi tenang, meski jelas terlihat raut lelah di wajahnya.
Alin mendengus, nadanya sinis. “Pasien, pasien, pasien. Setiap hari yang mas pikirin cuma mereka. Mas sadar gak, aku ini istri kamu, bukan orang asing yang bisa kamu tinggal seenaknya!”
Jodi menatapnya lama, matanya sendu tapi tegas. “Aku tahu kamu marah. Tapi pasienku itu bukan pasien biasa, mereka dalam pengawasan intensif. Kalau aku abaikan sedikit aja, bisa fatal.”
“Dan aku apa? Gak penting? Mas Jodi selalu saja begitu! Setiap kali ada masalah di rumah sakit, kamu lupa punya istri! Apa harus, aku juga pura-pura sakit biar mas peduli, hah?” Alin membalas cepat, menatapnya dengan air mata yang mulai menggenang.
Jodi tak menjawab. Ia hanya berdiri, merapikan jasnya, lalu menatap istrinya sekali lagi, pandangan yang penuh rasa bersalah namun juga keputusan.
“Maaf, Lin. Aku tetap harus pergi.”
Ia meninggalkan meja tanpa menoleh lagi.
Alin terdiam, matanya mengikuti langkah Jodi yang menjauh hingga bayangannya lenyap di balik pintu kaca restoran. Sesaat, ia masih berusaha menahan diri, namun dada yang sesak dan amarah yang menumpuk tak lagi bisa dibendung.
Tangannya mengepal di atas meja. “Aaarrrgh!!” serunya meluap, membuat beberapa pengunjung menoleh. “Mas Jodi jahat! Emangnya dokter di rumah sakit itu cuma kamu doang, hah?! Gak bisa sekali aja mikirin aku?”
Suara Alin bergetar di ujung kalimatnya, campuran antara marah dan terluka. Ia menyambar gelas jus di depannya, meneguknya habis seolah ingin menelan kecewa yang mengganjal di tenggorokannya.
Beberapa orang mulai berbisik, menatapnya penuh rasa ingin tahu. Namun Alin tak peduli. Air matanya menetes pelan, lalu ia tersenyum getir pada bayangan dirinya di pantulan jendela restoran.
“Lucu ya, Lin,” gumamnya lirih. “Kamu bahkan kalah sama pasien gangguan jiwa.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Ia tahu setiap emosi punya sebab, tapi tak semua luka bisa dijelaskan dengan logika.”