NovelToon NovelToon
Bound By Capital Chains

Bound By Capital Chains

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Obsesi / Percintaan Konglomerat
Popularitas:883
Nilai: 5
Nama Author: hellosi

Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.

Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.

​Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.

***

​"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.

"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"

​"Aku datang untukmu, Kak."

"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.

​Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.

​"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.

"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."

​"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.

"Aku aset yang tidak patuh."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Di Suite Ryder, Aiden dan Noa dipaksa berbagi ruang.

Noa sudah berbaring di tempat tidur memegang ponselnya.

​"Aliston, kau menjauh sedikit dariku," goda Noa, melirik Aiden yang sedang menyusun bantal.

​"Kasur ini terlalu kecil untuk dua pria dewasa," balas Aiden.

Meskipun suite ini sama luas dan mewahnya dengan miliknya, ranjang king size itu terasa sangat tidak memadai untuk dua pria yang terbiasa dengan ruang yang absolut.

Noa tertawa pelan.

"Kau tahu, kau baru saja memberikan kamar pribadimu kepada tunanganmu, padahal dia baru saja menghabiskan sore di taman dengan pesaingmu."

Aiden berbaring, tangannya berada di belakang kepalanya, matanya menatap langit-langit.

"Aku menghargai efisiensimu, Ryder. Tapi kau harus tahu batas-batasmu."

"Tentu," balas Noa, nadanya serius.

"Batasmu adalah Helena Nelson." Noa memutar tubuhnya, menatap Aiden.

"Kau tidak ingin dia merasa tertekan secara emosional. Kau ingin dia fokus. Itu adalah langkah yang bagus, Aiden. Tapi kau tidak bisa mengendalikan perasaan."

Aiden terdiam. Dia tahu Noa benar, dia telah memprioritaskan kenyamanan Helena. Dia mendefinisikannya sebagai aset termahal.

"Tutup matamu, Ryder," desis Aiden.

Tengah malam, badai salju London terus mengamuk di luar jendela suite hotel.

Aiden terbaring tetapi pikirannya kacau.

Angka-angka MFin-nya kini digantikan oleh bayangan, Helena yang duduk di marmer dingin, sendirian, meminum whiskey yang seharusnya dia nikmati.

Pikiran tentang Helena yang mungkin kedinginan, atau lebih buruk, mabuk sendirian, membuat rasa tidak nyaman yang asing menjalar di dada Aiden. Itu bukan risiko bisnis, melainkan risiko yang dia abaikan.

Aiden beranjak.

"Kau mau kemana?" tanya Noa, suaranya serak dari balik selimut.

"Memeriksa tunanganku," jawab Aiden, suaranya datar, tetapi langkah kakinya terasa dipenuhi urgensi yang belum pernah dia tunjukkan.

Noa tersenyum geli dari balik bantalnya.

"Tentu, Aliston. Jaga aset termahalmu itu."

Aiden membuka pintu suite utamanya. Seketika, aroma tajam whiskey bercampur wangi lily of the valley dari parfum Helena menyeruak, memenuhi hidungnya.

Gadis itu tidak berada di ranjang. Dia duduk di kursi berlengan yang menghadap jendela, memunggungi Aiden. Sebuah botol whiskey The Macallan hampir kosong tergeletak di atas meja marmer.

Wajah Helena tertidur pulas, bersandar pada permukaan meja yang dingin.

Hati Aiden mencelos.

Dia merasakan lonjakan amarah pada dirinya sendiri karena mengabaikan variabel yang satu ini.

Aiden merapikan gelas dan botol itu ke samping. Perlahan, dia duduk di samping Helena, bermaksud mengangkatnya dan memindahkannya ke ranjang.

Namun, saat dia menyentuh punggung Helena, gadis itu tiba-tiba terbangun separuh, menolak diangkat.

Helena, dengan mata setengah tertutup, tanpa sengaja bergerak dan jatuh, mendarat dengan nyaman di pangkuan Aiden. Pria itu mematung.

Lengan Helena dengan erat melingkari leher Aiden, dan napasnya yang hangat beraroma anggur dan mawar menggelitik kulit leher Aiden.

Aroma lily of the valley dan whiskey memenuhi hidung Aiden, membuat urat-urat di lehernya mengeras.

Aiden menahan napas, otaknya tidak bisa memproses data sensorik yang kuat itu. Ini adalah keintiman yang tidak pernah dia hitung, dan dia tidak memiliki pertahanan.

"Helena, aku juga bisa lepas kendali," bisik Aiden, suaranya nyaris tidak terdengar, sebuah pengakuan yang jujur dan langka dari pewaris yang dingin.

Helena seolah tertidur dengan nyaman di pelukannya, mengabaikan peringatannya.

Aiden, yang merasakan beban lembut Helena di pangkuannya, mempererat dekapannya di pinggang mungil Helena.

Perlahan dia berdiri, mengangkat gadis itu. Dia membawa Helena ke ranjang, membaringkannya di bawah selimut tebal.

Saat dia hendak melepaskan diri, lengan Helena masih erat melingkari lehernya.

Aiden tersenyum tipis, tawa kecil yang tulus keluar dari bibirnya. Dia menyerah pada kehangatan itu.

Dia mencondongkan tubuh, dan mengecup singkat bibir merah itu, sebuah tindakan impulsif yang tidak terencana, tanpa sadar.

"Mimpi indah, tunanganku," bisik Aiden.

Seolah mendengar izin itu, Helena melepaskan leher Aiden dan tertidur dengan tenang.

Aiden memastikan ruangan itu hangat sebelum dia akhirnya keluar dari kamar, membawa serta kekacauan manis yang tidak dapat dia hitung, yang kini telah menggeser fokus strategisnya.

***

Pagi itu, London tampak asing. Badai salju yang brutal tadi malam telah berhenti, meninggalkan kota diselimuti salju putih yang bersih.

Badai salju itu juga telah membawa pergi sikap dingin Aiden.

Helena terbangun di ranjang mewah suite hotel. Dia menyadari dia tidak berada di asrama LBS.

Dia duduk, memegangi kepalanya yang pusing, bau whiskey samar masih melekat padanya.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Aiden masuk, membawa nampan berisi obat dan segelas air.

Pria itu sudah mengenakan pakaian formalnya, tampak sempurna seperti biasa, tetapi ada kehangatan samar di matanya yang belum pernah Helena lihat.

"Minum ini," perintah Aiden, meletakkan gelas air dan sebuah tablet obat di samping tempat tidur.

"Obat mabuk, kau harus meminumnya."

Helena menatap Aiden, bingung. Kehangatan pria itu adalah variabel yang sama sekali tidak dia harapkan.

Aiden duduk di tepi ranjang, membuat Helena semakin canggung.

"Aku sudah memesankan sarapan di bawah," kata Aiden, suaranya tenang dan jauh lebih lembut dari biasanya.

"Aku tidak menyangka kau akan tidur di lantai."

Helena tersenyum kecil.

"Aku tidak tidur di lantai. Kurasa aku pingsan di pangkuanmu, Kak." Ucapnya asal

Aiden membeku sejenak, wajahnya datar. Dia tidak menyangkalnya.

Mereka turun ke restoran.

Di meja, Noa Ryder sudah menunggu, menyantap sarapannya dengan santai.

Noa menatap Aiden, lalu ke Helena yang sedikit pucat, dan hanya mengangkat bahunya dengan geli, seolah bertanya 'Apa yang dia lakukan padamu, Helena?'

Helena, yang melihat isyarat Noa, hanya bisa menggeleng, dia juga tidak tahu.

Aiden mengabaikan interaksi itu dan fokus pada Helena.

"Helena," tanya Aiden, suaranya kembali ke mode pertanyaan analitis yang dia gunakan saat di ruang rapat.

"Apa semenjak usiamu legal, kau suka mabuk?"

Helena menggeleng, menyendok bubur yang terasa hambar.

"Tidak. Semalam adalah yang pertama kalinya aku minum whiskey."

Helena menatap Aiden, matanya menunjukkan kejujuran yang langka.

"Aku rasa... aku merasa aman. Aman karena ada kau di dekatku, Kak."

Mendengar pengakuan itu, otot-otot di rahang Aiden mengendur sedikit.

Aiden tahu, rasa aman yang ditawarkan Helena kepadanya adalah kepercayaan yang tak ternilai, fondasi Batu Nelson yang telah dia cari.

"Bagus," balas Aiden, nadanya penuh wibawa.

"Kau tidak boleh minum sembarangan."

Dia tidak mengatakannya sebagai tunangan yang romantis, tetapi sebagai pemilik modal yang ingin asetnya tetap berfungsi sempurna.

"Jika kau ingin minum whiskey, kau hanya boleh melakukannya saat aku ada di dekatmu," lanjut Aiden, tatapannya menyiratkan perintah dan kepemilikan.

"Aku adalah jaring pengamanmu. Jangan biarkan orang lain melihat kerentananmu."

Helena membalas tatapannya, senyumnya kini menunjukkan pemahaman.

Aiden telah menyatakan kembali kepemilikannya bukan dengan kata-kata cinta, tetapi dengan janji perlindungan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!