"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 16
Garrick menutup kantong racun dengan cepat, menyelipkannya kembali ke dalam jubahnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah setiap denyut bisa terdengar di tengah hiruk pikuk dapur. Ia memaksa tangannya tetap tenang, meski keringat dingin menetes dari pelipisnya.
Ia menunduk lebih dalam, pura-pura mengangkat karung gandum dari sudut ruangan, lalu membawanya ke meja panjang tempat bahan makanan lain ditata.
Aroma rempah-rempah bercampur dengan wangi roti panggang membuat perutnya bergejolak, namun bukan karena lapar, melainkan ketegangan yang mencekik.
“Cepat, cepat! Sup ini harus selesai dalam waktu setengah jam!” teriak salah satu koki muda sambil mengaduk periuk besar. “Putra Mahkota tak suka menunggu!”
Garrick menelan ludah. Itulah periuk yang seharusnya ia taburi racun. Sup daging yang harum, penuh rempah, yang akan disajikan langsung ke meja Camilla dan Arthur. Ia hanya butuh sepersekian detik untuk menyelesaikan tugasnya.
Namun setiap kali ia mendekat, ada saja seseorang lewat: pelayan membawa roti, juru masak memotong sayuran, atau pengawal dapur yang masuk untuk memeriksa. Kesempatan emas seakan menjauh setiap kali ia berusaha.
Sementara itu, di aula latihan, Camilla masih beristirahat setelah sesi panjang bersama Arthur dan Aiden. Nafasnya mulai teratur kembali, meski otot-otot lengannya terasa nyeri. Ia duduk di bangku kayu dekat arena, handuk kecil di pundak, dan kendi air di tangannya.
Arthur berdiri tidak jauh, berbicara singkat dengan Aiden tentang jadwal latihan berikutnya. Suara mereka rendah, tapi jelas menunjukkan bahwa latihan Camilla akan semakin keras ke depannya.
“Dia punya tekad, itu terlihat,” kata Aiden, menoleh sekilas ke arah Camilla. “Tapi tubuhnya belum terbiasa. Jika dipaksakan, ia bisa jatuh sakit.”
Arthur mengangkat alis, nada suaranya tetap dingin. “Jika ia benar-benar ingin berdiri di sisiku, ia harus kuat. Dunia luar tidak memberi kelonggaran hanya karena seseorang lemah.”
Aiden hendak membalas, tapi menahan diri. Ia tahu Arthur jarang bersikap lunak, terutama terhadap orang yang ia anggap harus berjuang keras.
Camilla mendengar sebagian percakapan itu, membuat hatinya berdesir. Ada rasa bangga karena Arthur mengakuinya, namun juga tekanan yang berat. Ia tahu, ia tak boleh mengecewakan siapa pun, terutama dirinya sendiri.
***
Di sisi lain, Garrick akhirnya menemukan celah. Seorang juru masak muda meninggalkan sendok pengaduk di samping periuk, lalu pergi mengambil keranjang sayuran. Sesaat periuk besar itu dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
Inilah waktunya.
Dengan langkah pelan, Garrick mendekat. Tangan kanannya sudah meraba kantong racun dalam jubah. Suara hiruk pikuk di sekelilingnya seperti menghilang, hanya dentuman jantung yang terdengar keras di telinganya.
“Sedikit saja,” bisiknya pada diri sendiri. “Hanya sedikit, lalu pergi.”
Tangannya mengeluarkan bubuk pucat itu, ketika tiba-tiba sebuah suara riang menyapanya dari belakang.
“Halo! Kau pekerja baru ya?”
Garrick tersentak. Seorang gadis muda dengan celemek penuh tepung berdiri di belakangnya, tersenyum ramah. Wajahnya manis, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.
“S-Saya…” Garrick terbata.
“Namaku Lira,” lanjut gadis itu, tanpa memberi waktu. “Aku biasanya membantu bagian roti, tapi hari ini dapur benar-benar sibuk, jadi aku ditugaskan bantu bagian sup juga.”
Lira menatap periuk besar itu, lalu kembali menoleh padanya. “Oh, kau sedang apa di situ? Kau kelihatan gugup sekali.”
Garrick hampir kehilangan kata-kata. Tangannya buru-buru menaruh kantong racun, dia kemudian meraih sendok kayu di meja. “Aku… hanya mau mengaduk sebentar. Supnya hampir mendidih, kan?”
Lira terkekeh kecil. “Kalau begitu, biar aku saja. Kau pasti lelah membawa karung gandum tadi.” Ia mengambil sendok itu, lalu mulai mengaduk sup dengan riang, sambil bersenandung pelan.
Garrick menahan napas, setidaknya dia sudah menuangkan sedikit bubuk ke dalamnya.
“Uh.. baiklah, aku akan bawa karung berikutnya,” katanya cepat, lalu mundur dengan canggung.
Lira hanya tersenyum ramah, tidak curiga sedikit pun. “Terima kasih, ya! Dapur jadi lebih ringan kalau banyak yang membantu.”
Garrick keluar dari lingkaran itu dengan langkah kaku.
***
Di aula utama, jamuan makan malam diadakan setelah Camilla menyelesaikan latihannya.
Lilin-lilin kristal bergantungan, memantulkan cahaya keemasan yang jatuh di atas meja panjang penuh peralatan makan perak dan gelas anggur yang berkilau.
Camilla duduk di sisi kanan Arthur, wajahnya masih menyimpan lelah setelah sesi latihan panjang. Ia meneguk sedikit air dari kendi perak, lalu menoleh sejenak ke arah Arthur yang tengah berbincang singkat dengan Aiden.
Suasana hatinya campur aduk, antara bangga karena Arthur mulai melibatkannya, tapi juga tegang karena tatapan para tamu yang terus menilai setiap gerakannya.
Ketika sup harum itu dibawa masuk oleh para pelayan, bisikan kecil terdengar di antara para bangsawan. Aroma rempah dan kaldu menyebar dengan cepat, mengundang rasa lapar yang bahkan membuat Camilla yang tadinya letih ikut menelan ludah.
“Sup daging istana,” gumam seorang bangsawan muda dengan penuh selera. “Hanya koki terbaik yang bisa menyeimbangkan rempah seperti itu dan sup itu di buat khusus untuk Putri Mahkota”
Pelayan memberikan mangkok tersebut pada Camilla, uapnya mengepul, menari di udara.
Arthur menoleh sekilas. “Makanlah,” ucapnya singkat, nada dinginnya khas, meski ada tatapan cepat yang mencoba membaca raut wajah Camilla. “Kau butuh tenaga setelah latihan tadi.”
Camilla mengangguk kecil. Ia meraih sendok perak di sampingnya, mengaduk sup itu perlahan. Aroma harum bercampur dengan rasa canggung di dadanya, seolah semua mata di meja sedang menunggu ia menyantapnya lebih dulu.
Ia tahu Putra Mahkota harus menjadi orang pertama yang makan, namun karna pria itu menatapnya seolah memberi perintah agar dia terlebih dahulu makan, jadi dia mengangkat sendok hendak mencicipinya.
Tabib istana sebenarnya sempat mendekat, seperti biasa setiap kali hidangan utama disajikan untuk keluarga kerajaan. Namun kali ini, karena suasana pesta lebih santai, protokol diperlonggar. Tabib hanya berdiri tidak jauh, mengamati tanpa benar-benar menyela.
Camilla mengangkat sendok, meniup uapnya sekali, lalu meneguk perlahan. Rasa kaldu yang kaya segera memenuhi mulutnya, gurih, hangat, dengan sentuhan rempah manis di ujung lidah. Untuk sesaat, lelah tubuhnya terasa sedikit terangkat, diganti rasa hangat yang menjalar ke perut.
“Aroma dan rasanya seimbang,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup terdengar oleh Arthur. Ada sedikit senyum tipis di bibirnya. “Sungguh.. luar biasa.”
Arthur tidak menjawab, hanya menatapnya sebentar sebelum kembali menunduk ke mangkuknya sendiri. Namun, bagi Camilla, tatapan singkat itu sudah seperti suatu pengakuan kecil atau hanya perhatian sesaat yang memberi keberanian baru.
Para bangsawan lain mulai menyantap makanan mereka setelah melihat Camilla melakukannya.
Camilla mengangkat sendoknya sekali lagi. Hangat sup itu seolah mengisi rongga perut yang tadi kosong karena latihan keras. Namun, setelah tegukan kedua, ada sesuatu yang berbeda. Rasa pahit samar merayap di lidahnya. Tidak kuat, hanya tipis, seperti sisa rempah asing yang menempel di ujung mulut.
Ia sempat terdiam sejenak, menelan perlahan. Mungkin hanya karena bumbu. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupinya, lalu menaruh sendok kembali ke mangkuk.
“Putri Mahkota tampak menikmatinya,” komentar salah seorang bangsawan muda dari ujung meja, suaranya penuh basa-basi namun sarat dengan nada ingin menyenangkan Arthur. “Itu pertanda sup ini sempurna.”
Beberapa tamu tertawa kecil, mengangguk-angguk seolah ikut mengamini. Arthur tidak memberi respons, hanya menyesap anggurnya tanpa mengalihkan pandangan dari Camilla. Tatapannya tenang, namun ada kilatan tajam, seolah ia sedang menunggu sesuatu yang tidak diucapkan.
Tabib istana memperhatikan dari kejauhan, matanya sedikit menyipit. Ia memang terbiasa mengenali gejala kecil pada seseorang, dan tatapan waspada itu kini terarah pada Camilla.
Camilla sendiri mencoba bersikap tenang. Ia mengusap bibirnya dengan kain kecil, lalu meneguk sedikit air. Hangat tubuhnya memang terasa lebih jelas dari biasanya, namun ia berusaha meyakinkan diri itu hanya karena ruangan penuh cahaya lilin dan keramaian pesta.
Arthur meletakkan gelasnya perlahan. “Jika kau tidak ingin menghabiskan, tinggalkan saja,” katanya datar. “Tidak ada yang akan memaksamu.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Camilla cepat. Senyumnya terlihat manis, tapi tangannya yang menggenggam kain serbet sedikit bergetar. “Lagipula, akan memalukan jika aku tidak bisa menikmati hidangan yang disajikan khusus untukku.”
***
Di balik keramaian meja, Risa yang berdiri sebagai pelayan mengamati diam-diam. Matanya menyipit ketika melihat Camilla menelan suapan kedua, lalu ketiga.
Senyum samar menghiasi bibirnya. Ia tahu Garrick berhasil, meski tidak dengan cara mulus. Entah berapa banyak racun yang sempat jatuh ke dalam sup, namun hasilnya kini tinggal menunggu waktu.