Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Pergi ke mall dengan Tuan Muda
.
Mentari pagi menyinari taman belakang rumah keluarga Dirgantara. Aya yang sedang berada di rumah kaca, dengan telaten merawat tanaman bunga kesayangan Nyonya Syifana. Aroma harum bunga yang bermekaran memenuhi udara, membuat suasana hati Aya semakin cerah.
"Aya…!”
Cahaya terkejut dan menoleh ketika tiba-tiba terdengar suara Mbak Tina berteriak memanggilnya.
“Ada apa Mbak??” tanya Aya.
“Kamu dipanggil Nyonya di ruang makan," ujarnya.
Aya mengernyitkan dahi. "Ada apa ya, Mbak?"
"Nggak tahu. Pokoknya kamu disuruh masuk sekarang," jawab Tina singkat.
Aya segera meletakkan alat berkebunnya dan dengan langkahnya yang tertatih bergegas menuju ruang makan.
Di ruang makan, keluarga Dirgantara sudah berkumpul untuk sarapan. Nyonya Syifana melambai padanya untuk mendekat.
"Aya, sini Nak," sapa Nyonya Syifana dengan senyum hangat.
Aya menghampiri meja makan dan berdiri dengan sopan. "Nyonya memanggil saya?"
"Begini, Aya. Minggu depan, rumah kita akan jadi tempat arisan ibu-ibu komplek," kata Nyonya Syifana.
Aya mengangguk mengerti. Acara arisan memang rutin diadakan setiap bulan di rumah-rumah anggota.
"Apa kira-kira kamu bisa menyiapkan lima atau kalau bisa sepuluh contoh tas seperti yang kamu buat kemarin?”
Aya terkejut mendengar permintaan Nyonya Syifana. “Tapi Nyonya, itu kan hanya tas dari bahan bekas? Apa nantinya tidak akan ditertawakan?”
"Tidak akan, Aya. Tas buatan kamu itu kan bagus. Saya mau perlihatkan tas-tas buatan kamu itu pas arisan nanti. Siapa tahu ibu-ibu pada tertarik dan mau beli," kata Nyonya Syifana dengan antusias. “Ketahuilah Aya. Hal yang besar juga dimulai dari hal kecil.”
Aya senang mendengar kata-kata motivasi yang diberikan oleh Nyonya Syifana. Ini adalah kesempatan emas untuk mempromosikan tas daur ulangnya.
"Tapi, Nyonya, tas buatan saya itu terlalu sederhana terlalu monoton. Kalau untuk ditunjukkan pada ibu-ibu sosialita harus dibuat dengan penampilan dan model yang lebih menarik. Dan untuk itu, saya butuh beberapa bahan tambahan. Seperti benang hias, kain furing, resleting, sama selang plastik, dan banyak lagi yang lain," ujar Aya dengan ragu.
Nyonya Syifana mengangguk mengerti. Dia juga pernah melihat tas seperti yang dimaksud aya itu di media sosial. Dan dia sudah bertekad akan mendukung Aya yang memang telah dianggap sebagai putrinya untuk lebih sukses lagi.
“Ya sudah, kamu bikin daftar barang-barang yang kamu butuhkan, nanti saya suruh Mang Ujang untuk belikan," kata Nyonya Syifana.
"Sebenarnya, Nyonya, kalau boleh, saya pengen beli sendiri barang-barangnya. Dengan begitu saya bisa memilih sendiri warna dan tekstur bahannya. Biar hasilnya sesuai dengan yang saya inginkan," ujar Aya dengan hati-hati.
Nyonya Syifana tampak berpikir sejenak. "Hmm, ya sudah. Tapi apa tidak apa-apa kamu keluar rumah sendirian?"
"Nggak apa-apa, Nyonya. Saya sudah lama nggak jalan-jalan keluar. Sekalian refreshing," jawab Aya sambil tersenyum.
Tiba-tiba, Marcel yang sedang menikmati sarapannya ikut menyahut. "Nggak bisa, Ma. Aya nggak boleh keluar sendirian. Biar Marcel aja yang anterin," kata Marcel dengan nada tegas.
Nyonya Syifana dan Aya menoleh ke arah Marcel dengan terkejut.
"Lho, kenapa kamu yang nganterin, Cel?" tanya Nyonya Syifana.
"Nggak apa-apa, Ma. Sekalian Marcel mau cari udara segar. Lagian, Marcel juga pengen ikut mendukung Aya bikin tas daur ulang," jawab Marcel sambil tersenyum tipis.
Aya menatap Marcel dengan bingung. Ia tidak mengerti mengapa tuan mudanya itu tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantarnya.
"Tapi, Cel..." Nyonya Syifana masih ragu.
"Udah, Mama tenang saja. pokoknya Marcel yang antar Aya." Marcel tak ingin dibantah.
Nyonya Syifana menghela napas. "Ya sudah, terserah kamu aja, Cel.”
"Makasih, Ma," jawab Marcel dengan semangat.
“Bukankah Tuan Muda harus bersama dengan Tuan Muda Pertama ke perusahaan?”
Aya merasa canggung dengan tawaran Marcel. Di satu sisi, ia senang karena tidak perlu keluar rumah sendirian. Di sisi lain, ia merasa tidak enak merepotkan tuan mudanya itu.
Marcel menoleh ke arah kakaknya. Marvel yang ditatap mendengus kesal. Tapi ia tahu adiknya sedang mencari kesempatan untuk bersama dengan gadis yang diam-diam mencuri hatinya. Maka ia pun hanya bisa menganggukkan kepala. Walaupun konsekuensinya dia sendiri yang harus memeras otak di perusahaan nanti.
"Ya sudah, Aya, kamu siap-siap dulu. Nanti aku tunggu di depan," kata Marcel sambil tersenyum ke arah Aya.
“Tapi, Tuan Muda. Pekerjaan saya belum selesai. Masih ada beberapa tanaman hias yang belum disiram dan dibersihkan bawahnya dari rontokan daun-daun.”
“Gak papa, Aya. Nanti saya sendiri yang akan mengurusnya. Kebetulan saya juga tidak akan kemana-mana pagi ini.” Nyonya Syifana memberikan solusi.
Aya mengangguk pelan. "Baik, Nyonya, Tuan Muda,” jawabnya. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati. Itu pekerjaannya tapi nyonya yang harus turun tangan sendiri.
“Bawa kartu ini!” Nyonya Syifana menyodorkan kartu berwarna gold pada Cahaya. “Beli apapun yang kamu butuhkan tanpa ragu. Pokoknya saya mau hasil terbaik. Jadi, kerahkan semua kemampuanmu!”
“Baik, Nyonya.” Aya mengangguk penuh semangat. Gadis itu pun segera pergi ke belakang untuk bersiap. Ada yang membuncah di dadanya. Sesuatu yang dulu ia pelajari ketika mengantar ibunya ke pelatihan UMKM bersama ibu-ibu PKK, kini bisa mulai ia terapkan.
Setelah selesai bersiap-siap, Aya keluar dari kamarnya dan menuju ke depan rumah. Di sana, Marcel sudah menunggunya dengan mobil mewahnya.
Marcel tersenyum melihat Aya. "Sudah siap, Aya?" tanyanya.
Pria itu mencoba merubah pembawaannya kembali ke setelan pabrik. Dulu ia selalu dingin dan ketus, dan itu membuat Cahaya selalu tampak gugup dan kaku jika berhadapan dengannya. Kini ia akan kembali ke mode dirinya dulu, sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia ingin Aya merasa nyaman bersamanya.
Aya mengangguk. "Sudah, Tuan Muda," jawabnya. Gugup datang melanda. Tuan Muda Kedua sudah bersikap biasa. Tapi ia tak tahu apa yang membuat dirinya selalu berdebar saat bersama.
Marcel membukakan pintu mobil untuk Aya. "Buruan masuk," ucapnya.
Wajah Aya memerah karena Marcel membukakan pintu untuknya. Ia masuk ke dalam mobil dengan hati-hati. Merasa sedikit canggung berada di dalam mobil mewah itu hanya berdua saja dengan Marcel.
Marcel menutup pintu mobil dan berjalan memutar untuk masuk ke kursi pengemudi. Setelah duduk, ia menyalakan mesin mobil dan melajukannya meninggalkan rumah keluarga Dirgantara.
Di balik gorden, setelah mobil Marcel berlalu, nyonya Syifana dan tuan besar Dirgantara saling pandang. Ada sesuatu yang tidak biasa dengan putra kedua mereka.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hening. Aya hanya bisa menatap pemandangan di luar jendela, sementara Marcel fokus menyetir.
"Aya, kamu mau beli bahan-bahannya di mana?" tanya Marcel memecah keheningan.
"Di mall yang ada di jalan jendral Sudirman, Tuan Muda. Di sana ada toko yang jual perlengkapan kerajinan tangan," jawab Aya.
Marcel menoleh dengan kening berkerut. “Yakin di sana ada? Dari mana kamu tahu?”
Aya pun menoleh. “Saya pernah jalan-jalan di sana bersama Mbak Tina dan mbak Nunik pas libur akhir pekan,” jawabnya. Wajahnya memerah mengingat betapa norak mereka saat itu.
"Oh, oke," kata Marcel singkat.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di mall yang dimaksud Aya. Marcel memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang tersedia.
"Ayo, Aya," ajak Marcel sambil membukakan pintu mobil untuk Aya. Lagi-lagi membuat wajah Aya merona.
Aya keluar dari mobil dan mengikuti langkah Marcel menuju ke dalam mall. Mall yang selalu ramai meskipun bukan akhir pekan.
Aya merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan orang-orang. Apa karena kakinya yang pincang, hingga mereka beranggapan dirinya tak pantas berjalan dengan tuan muda?
Marcel menyadari kegelisahan Aya. Ia pun menggandeng tangan Aya dengan lembut.
Aya terkejut dengan tindakan Marcel. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak menyangka Marcel akan menggandeng tangannya di tempat umum seperti ini. Gadis itupun mendongak menatap wajah Marcel.
Bersamaan dengan Marcel yang juga menoleh ke arahnya. "Jangan pedulikan apapun," bisiknya.
Aya mengangguk dan tersenyum. Bukankah dia sudah berjanji tidak akan peduli pada siapapun yang menganggapnya rendah?
. cuit cuit