Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16_bukan hanya cantik Dia berbahaya.
“Ada apa?”
Suara itu terdengar lembut—namun cukup untuk memecah malam.
Arga menoleh refleks.
Asher, yang baru saja melangkah menjauh, berhenti seketika.
Di ambang pintu rumah, Lauren berdiri.
Gaun biru tua membingkai tubuhnya dengan sederhana namun anggun. Potongannya tidak berlebihan—jatuh pas di tubuhnya, seolah dirancang untuk membuat orang lupa bahwa ia pernah merasa tidak cukup. Riasan tipis menghiasi wajahnya; bibirnya dipoles warna lembut, pipinya diberi sentuhan hangat yang menghidupkan rona kulitnya. Rambutnya digerai, tidak ditata rumit, namun jatuh rapi di bahunya.
Lauren tampak… berbeda.
Lebih muda.
Lebih hidup.
Lebih seperti dirinya yang dulu.
Arga terdiam.
Tubuhnya menegang, seolah waktu tiba-tiba menariknya mundur bertahun-tahun ke belakang—ke hari pertama ia melihat Lauren mengenakan gaun sederhana, tersenyum gugup, dan membuat dunia terasa lebih terang dari sebelumnya.
Lauren yang membuatnya jatuh cinta.
Lauren yang membuatnya tergila-gila.
“Kenapa belum berangkat?” tanya Lauren lagi, melangkah satu langkah ke luar rumah.
Nada suaranya biasa saja, hangat, tidak menuntut. Namun kehadirannya mengubah udara di sekitarnya.
Arga menelan ludah. “Aku… menunggumu.”
Pandangan Lauren beralih—dan berhenti.
Asher.
Pemuda itu berdiri beberapa langkah dari mereka. Hoodie hitamnya terbuka, kantong belanja masih tergenggam di tangannya. Tatapannya tertuju pada Lauren, tidak berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Untuk pertama kalinya, ekspresi Asher berubah.
Bukan dingin.
Bukan datar.
Ada sesuatu yang bergetar di balik mata abu-abunya—sesuatu yang cepat, namun nyata.
Lauren tersenyum kecil, sopan. “Oh… Asher.”
Ia melangkah sedikit lebih dekat ke Arga, jarak yang wajar—jarak seorang istri. “Kamu baru pulang?”
“Iya,” jawab Asher singkat, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya.
Arga berdiri di antara mereka, masih kaku, seolah takut berkedip dan kehilangan pemandangan di hadapannya.
“Kamu terlihat…,” Arga berhenti sejenak, mencari kata. “Cantik.”
Lauren terdiam sepersekian detik. Lalu tersenyum. “Terima kasih.”
Kalimat itu sederhana, tapi membuat Arga kembali merasa asing—seolah ia baru saja memuji seseorang yang lama tak ia kenal.
Lauren menoleh pada Asher. “Maaf kalau tadi sore aku sedikit terburu-buru.”
Asher menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”
Ia ingin mengatakan lebih. Ingin bertanya. Ingin menatap lebih lama.
Namun ia tidak melakukannya.
Tatapannya turun sejenak, lalu kembali terangkat—kali ini lebih terkendali.
“Selamat malam,” katanya akhirnya.
“Selamat malam,” jawab Lauren.
Asher melangkah pergi. Namun langkahnya tidak langsung ringan. Ada jeda kecil, seolah sebagian dirinya tertinggal di halaman rumah itu.
Arga memperhatikan punggung Asher yang menjauh, lalu kembali menatap Lauren.
“Kita harus berangkat,” katanya pelan.
Lauren mengangguk. “Iya.”
Arga membuka pintu mobil untuknya. Lauren masuk, gaunnya bergerak lembut saat ia duduk. Arga menutup pintu, lalu bergegas ke sisi pengemudi.
Mesin mobil menyala.
Saat mobil bergerak menjauh, Asher—yang sudah sampai di depan rumahnya—berhenti sejenak dan menoleh.
Lampu mobil itu memudar di ujung jalan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Asher menyadari satu hal yang membuat dadanya terasa aneh—
Lauren tidak hanya cantik.
Ia berbahaya.
Bukan karena siapa dirinya,
melainkan karena betapa mudahnya ia membuat orang lupa
kehidupan yang sedang mereka jalani.
Mobil melaju perlahan meninggalkan kompleks rumah. Jalanan malam tampak lengang, hanya diselingi lampu-lampu jalan yang berbaris seperti penanda arah. Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti—namun kali ini terasa berbeda. Lebih padat. Lebih sadar akan keberadaan satu sama lain.
Arga menyetir dengan satu tangan di kemudi. Tangannya yang lain bertumpu di dekat tuas persneling. Sesekali, tanpa sadar, matanya melirik ke samping.
Lauren.
Ia duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Gaun biru tuanya tampak lebih gelap di bawah cahaya dashboard, menegaskan garis lehernya yang sederhana dan anggun. Wajahnya tenang, namun matanya menatap keluar jendela seolah menyimpan pikiran yang terlalu ramai untuk diucapkan.
Arga kembali melirik.
Terlalu sering.
Lauren menyadarinya, tapi berpura-pura tidak. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam suara mesin dan kilatan lampu kota. Ada rasa asing di dadanya—campuran gugup dan nostalgia—seperti hendak kembali ke tempat yang dulu pernah menjadi dunianya.
“Kamu… terlihat seperti dulu,” kata Arga tiba-tiba, memecah keheningan.
Lauren menoleh. “Maksudmu?”
“Di kantor,” lanjut Arga pelan. “Waktu semua orang mengenalmu.”
Lauren tersenyum kecil. “Itu sudah lama.”
“Tapi rasanya tidak,” jawab Arga jujur.
Mobil berhenti di lampu merah. Arga menoleh penuh, menatap Lauren lebih lama dari sebelumnya. Sejenak, waktu seperti berhenti di antara mereka.
Lampu berubah hijau.
Arga kembali menatap jalan. “Terima kasih sudah mau ikut.”
Lauren mengangguk pelan. “Aku juga perlu keluar rumah.”
Ia tidak mengatakan lebih. Tidak mengatakan bahwa ini terasa seperti ujian. Atau bahwa hatinya berdetak lebih cepat dari seharusnya.
Mobil akhirnya memasuki area gedung acara. Lampu-lampu terang menyambut, deretan mobil rapi, dan suara tawa samar terdengar dari dalam gedung. Arga memarkir mobil, lalu turun lebih dulu untuk membukakan pintu bagi Lauren.
Lauren menghela napas kecil sebelum melangkah keluar.
Udara malam menyentuh kulitnya, dingin namun menyegarkan.
“Kamu siap?” tanya Arga.
Lauren mengangguk. “Siap.”
Ia melingkarkan lengannya di lengan Arga—gerakan yang otomatis, terlatih. Sentuhan itu membuat Arga sedikit terkejut, tapi ia tidak menolak. Bahkan, langkahnya terasa lebih mantap.
Mereka berjalan masuk bersama.
Pintu kaca terbuka, dan dunia yang dulu akrab menyambut Lauren kembali.
“Lauren?”
Suara itu membuatnya menoleh. Seorang wanita mendekat dengan senyum lebar. “Ya ampun, Lauren Hermasyah! Lama sekali!”
Lauren tersenyum. “Maya.”
Mereka berpelukan singkat.
“Kamu kelihatan luar biasa,” kata Maya antusias. “Serius. Seperti tidak berubah.”
“Terima kasih,” jawab Lauren, tulus namun sedikit kikuk.
Satu per satu, wajah-wajah lama muncul. Rekan kerja yang dulu sering lembur bersamanya. Atasan yang pernah memujinya di ruang rapat. Mereka menyapanya dengan hangat, menyebut namanya dengan nada yang membuat dadanya menghangat—dan sedikit perih.
“Masih elegan seperti dulu,” ujar salah satu manajer senior.
“Kami masih pakai sistem yang kamu rancang, lho,” kata yang lain.
Lauren tertawa kecil, menahan rasa haru yang tiba-tiba naik.
Arga berdiri di sisinya, memperhatikan. Ada kebanggaan yang perlahan tumbuh di dadanya—dan juga keterkejutan. Ia seakan baru menyadari betapa besar dunia Lauren dulu… dan betapa kecil dunia yang ia tinggalkan setelah menikah.
“Kamu memang selalu bersinar,” bisik Arga pelan saat mereka berjalan lebih jauh ke dalam ruangan.
Lauren menoleh padanya, tersenyum tipis. “Kamu berlebihan.”
“Tidak,” jawab Arga. “Aku lupa saja.”
Kata-kata itu menggantung di antara mereka.
Lampu-lampu kristal berkilau di atas kepala, musik lembut mengalun, dan tawa mengisi ruangan. Di tengah semua itu, Lauren berjalan dengan lengan terikat pada Arga—hadir sepenuhnya, namun sebagian hatinya masih tertinggal di ambang pintu rumah mereka.
Malam itu baru saja dimulai.
Dan tanpa disadari Lauren, setiap langkahnya di ruangan itu perlahan membangunkan sesuatu—
bukan hanya di dalam dirinya,
melainkan juga pada orang-orang yang pernah mengenalnya…
dan pada satu orang yang malam ini tidak ada di sana,
namun akan mengingatnya dengan terlalu jelas.
Anyway, semangat Kak.👍