Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15
Rudi yang berdiri di samping kursi roda Arman tersentak. Wajahnya refleks tertunduk, seolah ingin membantah tapi tahu percuma. Pada akhirnya, ia menghela napas kecil, lalu mengambil bunga dari pangkuan Arman.
Dengan langkah kaku, Rudi menyerahkannya pada Kinara.
“Selamat atas wawancaranya, Nyonya,” ucapnya pelan. “Ini … untuk Anda.”
Kinara tersenyum ceria, menerima bunga itu dengan kedua tangan. Ia sempat melirik Arman sekilas tetapi tatapan singkat yang tak bisa disembunyikan, lalu kembali menatap Rudi.
“Terima kasih, Pak Rudi. Kamu perhatian sekali,” katanya tulus.
Rudi tersenyum tipis, meski jelas ada rasa canggung di wajahnya.
Di sisi lain meja, kedua tangan Arman mengepal di sandaran kursi roda. Rahangnya mengeras, tatapannya lurus ke depan. Ia memilih diam dan menelan sesuatu yang tak ia kenali namanya.
Aksa memperhatikan semuanya, lalu menyeringai kecil.
“Daddy nggak mau ngucapin selamat ke Mommy?”
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Arman menoleh perlahan ke arah Kinara. Wajahnya tetap dingin, datar, seolah tak ada apa pun yang bergejolak di baliknya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia berkata singkat,
“Selamat.”
Satu kata, dan jelas singkat tanpa ekspresi.
Kinara mengangguk kecil.
“Makasih.” Nada suaranya cuek, lalu ia langsung duduk kembali di kursinya, seakan ucapan itu tak berarti apa-apa.
Justru sikap itulah yang membuat dada Arman terasa semakin sesak.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa menu, memecah keheningan yang tegang di antara mereka, namun perasaan yang tertinggal di meja itu tak semudah disingkirkan.
Kinara hanya memesan beberapa makanan ringan, sepotong cake, minuman hangat, dan satu hidangan kecil untuk Aksa. Ia menutup menu lebih cepat dari yang lain.
Aksa menoleh, alisnya berkerut polos.
“Mommy nggak makan siang? Kok cuma cake?”
Kinara menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke telinga Aksa dan berbisik pelan,
“Mommy belum cukup uang buat traktir kalian. Mommy kan baru diterima kerja.”
Aksa mengangguk, tampak mengerti. Lalu wajah kecilnya kembali cerah.
“Berarti Daddy yang traktir kita, kan?”
Arman yang mendengar itu menegakkan bahunya. Ada sesuatu di sorot matanya tetapi gengsi, curiga, dan tembok yang belum runtuh. Ia menatap Kinara sekilas, lalu berkata datar,
“Kinara yang mentraktir.”
Aksa langsung membuka mulut ingin membantah, namun Arman lebih dulu bersuara,
"..."
“Saat makan tidak boleh berbicara.”
Bocah itu langsung terdiam, menunduk patuh.
Meja kembali sunyi. Tak lama kemudian, Arman memesan makanannya. Satu hidangan, lalu satu lagi. Nama-nama menu yang terdengar asing dan harganya cukup mahal. Kinara menatap pelayan yang mencatat, lalu refleks melirik harga di menu.
Matanya sedikit melebar, harganya cukup mahal. Dulu, mungkin ia tak akan bereaksi.
Dulu, uang bukan sesuatu yang harus dipikirkan dua kali. Namun kini, setelah ayahnya meninggal, setelah diusir, setelah hidup sendiri dan bertahan dengan sisa-sisa, harga itu terasa seperti beban yang menekan dadanya pelan-pelan.
Kinara menunduk, menatap cake di depannya. Tangannya mengepal di pangkuan tanpa sadar. Sementara Arman duduk tenang, seolah angka-angka itu tak pernah berarti apa-apa baginya. Ia tak tahu atau mungkin tak peduli bahwa bagi Kinara, makan siang itu bukan sekadar soal siapa yang membayar,
melainkan pengingat betapa jauhnya hidupnya telah berubah.
Selesai makan siang, suasana meja belum sepenuhnya mencair ketika ponsel Rudi bergetar. Ia melirik layar, lalu berdiri sedikit menjauh untuk menjawab panggilan.
Wajahnya berubah serius.
“Tuan,” ucap Rudi setelah menutup telepon, menatap Arman hati-hati. “Ada pertemuan penting dengan klien sore ini. Mereka meminta Tuan Arman hadir langsung … di kantor.”
Kening Arman langsung berkerut. Jarinya mencengkeram sandaran kursi roda.
Ia ingin menolak dan selalu berusaha ingin menolak. Dunia luar masih terasa seperti medan yang belum siap ia hadapi sejak kecelakaan itu.
Namun, kali ini ada sesuatu yang membuatnya ragu.
Ia menarik napas pelan. “Siapkan jadwalnya,” katanya akhirnya, dingin namun tegas.
Rudi mengangguk lega. “Baik, Tuan.”
Lalu Rudi melirik sekitar. “Kalau begitu … bagaimana mereka pulang? Apa saya pesan taksi?”
Arman menoleh, pandangannya tanpa sengaja tertahan pada Kinara. Wajah wanita itu tampak tenang, tapi ada gurat lelah dan entah kenapa, rasa kesal yang tak sepenuhnya tersembunyi.
'Biarkan mereka memesan taksi,' pikir Arman.
Ia berkata datar, seolah tak peduli,
“Pesan saja, mereka bisa pulang sendiri.”
Kalimat itu terdengar biasa. Tapi di baliknya, Arman berpikir, 'Kinara mungkin memang tidak ingin satu mobil denganku.'
Kinara berdiri. “Pak Rudi, boleh bicara sebentar?”
Arman langsung melirik tajam. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya saat melihat Kinara berjalan menjauh bersama Rudi. Sebuah perasaan asing, tak nyaman dan yang tak ingin ia akui.
Beberapa menit kemudian, mereka kembali.
Arman menatap Rudi. “Ada apa?”
Rudi menjawab jujur, “Nyonya Kinara meminta kami mengantar Tuan muda Aksa pulang lebih dulu. Katanya … dia masih ada urusan di luar.”
Arman hendak membuka mulut untuk menolak. Refleks lama dan naluri mengontrol. Namun ia melihat Kinara. Tatapan wanita itu cemas tapi tegas, seolah memohon tanpa kata. Untuk pertama kalinya, Arman menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.
Ia hanya mengangguk singkat.
“Baik.”
Kinara terlihat menghela napas lega. Ia berdiri lebih tegak, seakan beban kecil di pundaknya terangkat. Namun Aksa langsung menggeleng kuat.
“Aksa nggak mau pulang kalau Mommy nggak ikut!”
Kinara berjongkok di depan bocah itu, menggenggam kedua pipinya lembut. “Mommy cuma sebentar, ya. Daddy dan Om Rudi temani Aksa pulang. Nanti Mommy nyusul.”
Aksa menatapnya lama, ragu, lalu melirik Arman. Daddy-nya tidak berkata apa-apa. Tidak membantah dan bahkan tidak memaksa.
Akhirnya, Aksa mengangguk pelan. “Janji ya, Mommy?”
“Janji,” jawab Kinara sambil tersenyum.
Arman memperhatikan pemandangan itu dalam diam.
Beberapa menit berlalu.
Begitu Aksa sudah duduk di jok belakang, Arman di posisinya, dan Rudi menutup pintu mobil, suasana di dalam mobil berubah hening. Mesin belum dinyalakan. Hanya ada dengung AC yang pelan.
Tiba-tiba Aksa membuka suara.
“Daddy bodoh.”
Rudi refleks menoleh, Arman membeku.
“Daddy dingin, nggak peka, nggak peduli.” Suara bocah itu kecil, tapi tajam. “Jelas-jelas Mommy Kinara nggak punya uang tadi.”
Arman menatap lurus ke depan dan saat itu juga rahangnya mengeras.
“Mommy cuma makan cake. Cuma cake, Dad.” Aksa menahan napas, suaranya bergetar. “Biar bisa traktir kita. Tapi Daddy malah pesan makanan mahal … Daddy nggak tahu malu.”
Kata-kata itu jatuh satu per satu, menghantam tepat ke dada Arman.
“Aksa takut,” lanjut bocah itu pelan. “Kalau Mommy nggak mau pulang lagi ke rumah gara-gara Daddy gimana? Aksa nggak percaya Mommy ada urusan lain. Mommy bilang besok dia baru mulai kerja.”
Mobil itu seolah kehilangan udara.
Arman tetap diam, tangannya mencengkeram roda kursi hingga buku jarinya memutih. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia tak punya bantahan. Tak ada alasan dan tak ada kemarahan. Kini hanya sunyi yang menyesakkan.
Rudi menelan ludah. “Tuan … mungkin...”
“Rudi.”
Suara Arman memotong, rendah dan berat. Tidak marah tetapi justru terlalu tenang.
“Periksa kembali ke dalam.”
Rudi mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
“Bayar semua tagihan.”
Pintu mobil terbuka kembali, Rudi turun tanpa bertanya lagi. Aksa menunduk, memainkan jemarinya sendiri. Tidak ada lagi omelan, dan hanya ketakutan yang tertinggal.
Arman menutup mata sesaat, selama ini bukan hanya Aksa yang sendirian. Dan mungkin, dia merasa saat ini ia hampir kehilangan satu-satunya orang yang mulai mengisi kekosongan itu.
'Kinara siapa kamu sebenarnya? Kenapa apapun yang kamu lakukan sangat sulit untuk ditebak?' Arman melirik ke arah pintu samping menatap pintu restoran yang dibuka Rudi.
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....