“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19
Citra berulang kali menghela nafasnya dengan cukup panjang lalu membuangnya dengan kasar.
Pandangannya tak bergeser sedikit pun dari pigura besar yang terpajang megah di dinding ruang keluarga menuju ruang dapur umum tempat makan para pekerja di rumah itu. Figura itu berisi foto resmi seluruh anggota keluarga Nyonya Besar Hilda.
Mulutnya menganga lebar dan matanya melotot tak percaya," Ya Allah… jadi orang yang aku cap songong, sombong, dan arogan itu ternyata anak dari majikanku sendiri.”
Tenggorokannya terasa tercekat dengan fakta baru diketahuinya secara mendadak dan tak terduga.
“Kalau sampai Tuan Muda tahu aku bekerja di rumah ini habislah aku. Ini bisa jadi perang dunia ketiga,” batinnya gemetar.
Tubuhnya sampai-sampai berdiri kaku, tetapi pikirannya justru berlarian tak beraturan, menghadirkan banyak tanda tanya, prasangka, dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi yang akan dihadapinya.
Tari yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Citra langsung mengerutkan kening.
Sikap Citra benar-benar berbeda sejak menatap foto silsilah keluarga besar Tirtayasa Dewantara itu. Ada sesuatu yang tidak beres menurut pandangannya.
“Ada apa dengan anak ini? Kayak orang yang kesurupan sesuatu saja, sikapnya sangat aneh,” gumamnya Tari sambil bergidik ngeri-ngeri sedap.
“Ada hubungan apa Tuan Muda congkak itu dengan baby twins Jaylani dan Jianira ya?” gumam Citra lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
“Apa jangan-jangan dia papa kandungnya ataukah pamannya si kembar?” tanyanya kepada dirinya sendiri.
Citra semakin tak habis pikir dengan takdir lucu sekaligus kejam yang mempertemukannya dengan pria itu, dalam keadaan yang jelas-jelas membingungkan dan penuh ketegangan.
“Ya Allah… semoga saja dia bukan papa kandungnya si kembar,” bisiknya lagi, napasnya tersengal gugup, tubuhnya panas dingin hingga terlihat jelas buliran pelug keringat bercucuran membasahi pelipisnya yang sebesar biji kacang hijau.
“Kalau dia papanya baby Jay dan baby Jia ya Allah.. hidupku nggak bakal tenang. Dia pasti bakal balas dendam gara-gara insiden di rumah sakit tadi siang.” cicitnya.
Ucapannya seharusnya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi Tari dengan telinganya yang peka menangkap sebagian besar kata-kata yang terucap dari bibirnya Citra.
Refleks Tari mengikuti arah pandangan Citra ke foto besar itu. Lalu, dengan nada santai kebalikan dari hati Citra yang kacau Tari pun menjelaskan satu per satu sosok dalam foto tersebut.
“Itu Nyonya Besar Hilda bersama suaminya, Tuan Besar Tirtayasa Dewantara yang sekarang lagi di luar negeri. Di paling kanan itu Nona Muda Ariestya. Di samping kirinya adik bungsunya, Nona Aluna, yang lagi kuliah di Australia.” jelasnya Tari.
Tari menjelaskan secara terperinci dan kembali menunjuk lagi satu persatu foto orang itu yang seolah-olah menatap tajam ke arah Citra.
“Dan yang pakai baju biru dongker itu Tuan Muda Ardhanza Lee Dewantara, anak sulung Nyonya Besar dan satu-satunya anak lelaki di keluarga ini.”
Bagai disambar petir di siang bolong, Citra refleks mundur setengah langkah. Kedua bola matanya membulat tajam dan tubuhnya menggigil kecil tremor panas dingin tak karuan.
“A–pa… ja–di dia itu Tuan Muda Ardhanza kita?” tanya Citra terbata, masih berharap pendengarannya salah besar.
Tari mengangguk pelan, namun kali ini menatap Citra penuh keheranan karena reaksinya sungguh di luar kebiasaannya.
“Benar sekali apa yang kamu katakan. Dan dia juga papa kandungnya baby twins.” jelasnya.
Kali ini rahang Citra mengendur, seolah seluruh tulangnya kehilangan kekuatan. Napasnya terhenti sejenak, sebelum dia mengerjap ngeri beberapa kali.
“Apa!?” serunya nyaris berbisik namun penuh shock. “ja-di dia papanya baby Jay dan baby Jia?” tanyanya Citra untuk memastikan kembali pendengarannya apakah sudah benar atau malah hanya keliru dikarenakan ketakutannya.
Tari mengangguk lagi, Citra tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tangannya spontan menutup mulutnya, menahan teriakan paniknya.
“Ini sungguh kebetulan yang luar biasa atau kutukan Ya Allah, apakah ini awal dari pembalasan dendamnya kepadaku apabila kami bertemu?”
Dadanya naik turun tak karuan. Ia tidak pernah menyangka satu insiden di rumah sakit akan menyeretnya sejauh ini dan ke tengah kehidupan keluarga orang kaya, yang penuh aturan, penuh misteri dan di dalamnya ada pria yang paling ingin ia hindari.
“Ya Allah… tunjukkanlah jalan keluar yang paling tepat dan aman untuk hidupku ini. Aku nggak mau Tuan Muda Ardhanza malah memecatku di hari pertama aku bekerja. Di mana lagi aku bisa mendapatkan pekerjaan sebagus ini? Jadi pengasuh dengan gaji setinggi ini bukan kesempatan yang datang dua kali,” batin Citra sambil menahan gejolak cemas di dadanya.
Ia berjalan sambil menunduk, pikirannya terus berpacu tanpa henti. Bagaimana caranya agar Ardhanza tidak mengenalinya? Bagaimana caranya agar insiden memalukan di hari itu tetap jadi rahasianya seorang diri?
"Aku harus tetap bekerja di sini, aku butuh pekerjaan ini, aku harus cari cara supaya dia nggak sadar kalau aku perempuan yang dia kira pansos itu," gumamnya dalam hati.
Jantungnya berdegup makin cepat membayangkan apa yang akan terjadi kalau Ardhanza tiba-tiba muncul dan mengenalinya.
Citra menghembuskan napasnya pendek, seolah berusaha mengusir kecemasan yang menghimpitnya.
“Kayaknya… aku bakal nutupin sebagian besar muka dengan masker kain kalau Tuan Muda Ardhanza ada di rumah,” putusnya dalam hati. Bukan solusi sempurna, tapi untuk saat ini itulah satu-satunya cara terbaik yang bisa ia pikirkan.
Tari tiba-tiba menarik lengannya pelan. “Cit… ayo, kau dari tadi bengong terus. Lapar banget nih belum makan soalnya.”
Citra hanya mengangguk. Perutnya memang lapar, tapi pikirannya jauh lebih gaduh dibandingkan rasa laparnya.
Mereka berdua memasuki dapur umum. Aroma masakan memenuhi ruangan dan hampir semua pekerja sudah duduk menikmati santap malam.
Ada yang tertawa sambil bercanda, ada yang asyik makan tanpa suara, ada pula yang wajahnya penuh lelah tapi makan dengan lahap.
Namun begitu Citra dan Tari masuk, percakapan dan suara sendok garpu di meja mendadak melambat.
Beberapa orang berhenti mengunyah, sebagian lain menoleh dengan rasa ingin tahu. Seketika perhatian mereka seolah berpindah dari piring masing-masing kedua gadis pendatang baru di dalam dapur.
Ia hanya bisa berharap keras dalam hati,
“Semoga malam ini, dan hari-hari setelah ini, aku bisa tetap terselamatkan tanpa ketahuan olehnya.”
Citra membalas setiap tatapan dengan senyum ramah saat melewati orang-orang di meja makan.
Meski sedikit gugup, ia berusaha tampil seolah semuanya baik-baik saja. Ia harus terlihat normal. Ia tidak boleh menarik perhatian kalau dia punya masalah pribadi dengan Tuan Muda Ardhanza.
Namun tidak semua orang menyukai kehadirannya. Amel yang duduk tidak jauh dari sana menatap Citra tajam, penuh kedengkian.
“Perempuan itu ternyata kuat mental juga. Padahal tadi aku sudah provokasi lewat Jannah supaya dia pergi dan aku yang dipilih jadi baby sitter utama. Tapi dia masih bisa tersenyum santai begitu,” dengusnya dalam hati, bibirnya mengerucut kesal sambil menekan kuat sendoknya ke atas piring.
Di sisi lain, Jannah dan Melati memperhatikan dari jauh. Mereka melihat Citra berjalan sendiri di area buffet, mengambil piring dan makanan.
Keduanya saling berpandangan senyum sinis tersungging di bibir masing-masing.
Jannah mendekatkan bibirnya ke telinga Melati, berbisik penuh hasrat balas dendam.
“Sekarang saatnya kita bikin dia menyesal datang ke rumah ini. Akan kubalas perempuan janda gatel itu.” bisiknya.
Melati mengangguk mantap, matanya menyala dengan kecemburuan yang menghitamkan hatinya.
“Dia sudah janda, tapi masih sok cantik menebar pesona sampai Abang Amri malah tertarik padanya padahal jelas-jelas aku lebih cantik dan lebih baik segala-galanya dari dia. Padahal yang paling mencintai Abang Amri itu adalah aku.”
Amri kepala bodyguard yang selalu dingin, kaku, dan tidak mudah didekati siapapun diam-diam terpesona dan jatuh cinta pandangan pertama pada Citra.
“Aku akan melakukan segala cara agar Abang Amri tidak lagi menatap memuja perempuan naif dan murahan itu,” tekadnya Melati dalam hati.
Hal itulah yang membuat Melati hampir hilang akal dan kewarasannya. Dan baginya, mempermalukan Citra di depan semua orang adalah permulaan dari pembalasan yang sempurna.
Sementara itu, Citra benar-benar tidak menyadari ada permusuhan yang sedang menyisir langkahnya.
Ia justru tersenyum bahagia begitu melihat Wanda sahabat masa kecilnya yang sedang melayani beberapa pekerja yang sedang mengambil makanan malam ini.
“Gimana kerjaanmu, Lancar saja kan?” tanya Wanda sambil mengatur topi kokinya ketika menyadari kedatangan Citra.
“Alhamdulillah, lancar. Baby Jia dan Baby Jay anteng setiap kali aku susui,” jawab Citra sambil memegang piring seraya masuk ke dalam antrian untuk menunggu gilirannya.
Wanda tersenyum simpul memdengarnya, “Syukurlah kalau begitu. Aku balik dulu ke dapur karena masih harus masak menu khusus untuk Tuan Muda Ardhanza. Katanya malam ini beliau menginap di sini nggak di apartemennya,” ucap Wanda sebelum beranjak pergi.
Wajah Citra seketika berubah. Senyumnya perlahan-lahan memudar, napasnya tercekat hanya mendengar nama itu saja tubuhnya sudah tremor panas dingin.
“Tuan Muda Ardhanza akan menginap malam ini? Ya Allah, jangan biarkan kami bertemu dulu aku belum siap. Kalau dia tahu aku pengasuh baru kedua anak kembarnya? Dia pasti balas dendam gara-gara kejadian tadi siang di lobi rumah sakit.”
Pikirannya kembali kacau. Detak jantungnya terasa terdengar sampai ke telinganya.
Bayangan Ardhanza memarahinya, menghardiknya bahkan yang paling parah adalah memecatnya menghantuinya sampai seluruh tubuhnya menegang.
Ia melangkah tanpa fokus, pikirannya melayang entah ke mana. Dan saat itulah jebakan kecil Melati dan Jannah mulai bekerja. Salah satu dari mereka diam-diam menyelipkan kaki ke depan jalur langkah Citra.
Tetapi Citra dan lainnya sama sekali tidak menyadarinya. Ia terus berjalan, tubuhnya kaku oleh kecemasan, sampai kakinya tersandung sesuatu.
Brukk!
Kaki kirinya tersandung, piring di tangannya terlempar cukup jauh.
Tubuhnya limbung ke depan dan pasrah dengan apa yang selanjutnya terjadi kepadanya karena saat ini fokusnya adalah tidak bertemu dengan majikannya .
“Argh—tidak!!” jerit Citra, matanya membesar ketakutan.
Waktu seolah melambat, tubuhnya hampir jatuh keras ke lantai, sementara bisikan kepuasan terdengar lirih dari arah Melati dan Jannah.
“Rasain itu! Aku yakin setelah malam ini hidupmu nggak bakalan damai seperti dahulu,” cicitnya Melati.
Jannah menolehkan kepalanya ke arah Melati yang saat ini tertawa puas.”Kamu akan aku jadikan alat dan pionku agar posisiku di rumah ini sebagai pelayan paling rajin menjadi milikku.”
Tubuh Citra masih limbung ke depan, keseimbangannya belum kembali. Sekilas waktu terasa begitu panjang seolah ia akan jatuh dalam gerakan slowmotion, lambat dan disaksikan banyak pasang mata.
Dalam detik yang terasa panjang itu, Citra spontan memejamkan mata dan hatinya langsung berlari kepada Sang Pencipta.
“Ya Allah… lindungi hamba-Mu ini… selamatkan aku, jangan biarkan aku jatuh dan dipermalukan, jangan biarkan aku bertemu dulu dengan Tuan Muda Ardhanza, aku belum siap, ya Rabb… aku takut.”
Di sela napasnya yang memburu, ia melafalkan ayat suci yang paling ia hafal dengan suara dalam hati yang tercekat doa perlindungan paling dasar yang dulu diajarkan ibunya sejak kecil kepadanya.
“Bismillahilladzi laa yadurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa wa huwa sami’ul ‘alim…”
Lidahnya bergetar meski hanya bersuara dalam hati.
“Hasbunallah wa ni’mal wakil… laa hawla wa laa quwwata illa billah…”
Ia tidak sedang memikirkan harga diri, rasa sakit, atau tatapan orang lain. Ia hanya takut kehilangan pekerjaan yang menjadi satu-satunya harapan hidupnya dan lebih takut lagi jika hari pertama bekerja justru membawanya langsung ke hadapan musuh bebuyutannya.
Piring di tangannya sudah trlempar jauh dan nafasnya tercekat.
“Ya Allah… kalau ini jalan rezekiku, tolong jaga aku, jangan biarkan aku bertemu dulu dengan dia, aku mohon…”
Dalam keadaan panik itu, ia bahkan tidak mendengar sebagian orang yang sudah menahan napas menontonnya.
Dia tidak tahu Jannah dan Melati tersenyum puas. Ia juga tidak menyadari beberapa pekerja saling berbisik menyangka dirinya adalah karyawan yang paling ceroboh.
Yang Citra rasakan hanya ketakutan dan permohonan. Luruh sepenuhnya pada perlindungan Tuhan.
Prang!!
Bruk!!
Suara bedebug benda jatuh memenuhi setiap sudut ruangan dapur umum. Semua perhatian tertuju kepada Citra yang terjatuh.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.