Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 . Jarak yang Bernama Rahasia
Pesawat yang ditumpangi Lucas akhirnya lepas landas, meninggalkan Jakarta dengan ribuan pikiran yang ikut terbang bersamanya. Jepang terasa terlalu jauh untuk sekadar perjalanan bisnis—ini lebih mirip perjalanan menuju jawaban yang selama ini ia hindari.
Lucas menyandarkan kepalanya ke kursi, menutup mata. Tapi seperti biasa, yang muncul bukan tidur.
Melainkan Athaya.
Athaya dengan seragam gelapnya.
Athaya dengan pedang berlumur darah.
Dan Athaya yang entah sedang hidup… atau sebaliknya.
“Kenapa lu selalu bikin gw nebak-nebak sih, Aya.” gumamnya lirih.Email itu kembali terlintas di kepalanya.
Tertanda A.
Sederhana, tapi menohok.
Tanda yang cuma dipakai Athaya kalau urusannya bukan main-main.
...****************...
Sementara itu, di Jepang.
Athaya berdiri di depan kaca jendela apartemen lantai dua puluh. Kota Tokyo menyala terang di bawahnya, tapi matanya dingin. Kopi di tangannya sudah dingin, sama seperti ekspresi wajahnya.
“Lu yakin Lucas bakal datang tepat waktu?” tanya Galen sambil bersandar di dinding.
“Dia pasti datang,” jawab Athaya singkat.
“Dan kalo dia marah?”
Athaya tersenyum kecil.
Bukan senyum manis.
Lebih ke senyum penuh tantangan.
“Berarti perasaannya ke gw masih hidup.”
Galen menghela napas panjang.
“Kalo gak?”
Athaya terdiam sesaat. Jemarinya mengencang di gagang cangkir.
“Berarti gw salah hitung.”
...****************...
Di sisi lain kota, Revan duduk tenang di ruang rapat perusahaan Shadows Syndicated cabang Jepang. Wajahnya terlihat tenang, nyaris lembut, meski sorot matanya menyimpan kekhawatiran yang tak ia ucapkan.
“Lucas Alarik…,” Revan membuka suara pelan, nyaris seperti sedang menimbang setiap kata. “Dia bukan orang sembarangan. Kalau dia dilibatkan dalam Rencana, papi hanya ingin semuanya dilakukan dengan hati-hati.”
Mahesa yang duduk di seberangnya langsung meluruskan punggung.
“Iya, Pi,” ucapnya sopan. “Justru itu yang bikin papi khawatir. Rencana ini terlalu berbahaya kalau sampai menyeret perasaan Athaya juga.”ucap Revan
Revan menunduk sebentar, jemarinya saling bertaut di atas meja.
“Athaya memang keras,” katanya lembut. “Tapi dia tetap anak papi. Papi… tidak ingin dia terluka karena keputusan yang terburu-buru.”
Mahesa menghela napas pelan, nadanya lebih hati-hati.
“Aku paham, Pi. Tapi kalau Athaya nekat dan Lucas ikut tenggelam terlalu dalam… risikonya bisa lebih besar dari yang kita kira.”
Revan mengangguk kecil.
“papi tahu,” jawabnya lirih. “Karena itu papi berharap… setidaknya Lucas bisa menjadi orang yang menahannya, bukan malah mendorongnya lebih jauh.”
Mahesa menatap Revan beberapa detik, lalu menunduk hormat.
“Aku akan awasi semuanya, Pi. Aku janji.”
Revan tersenyum tipis—senyum yang lebih banyak mengandung lelah daripada lega.
...****************...
Hari pertemuan pun tiba.
Lucas melangkah masuk ke gedung perusahaan Shadows Syndicated. Jas hitamnya rapi, wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Seorang staf mengantarnya ke ruang pertemuan tertutup.
“Silakan masuk, Tuan Alarik.”
Pintu terbuka.
Dan di sanalah dia berdiri.
Athaya Sadipta.
Hitam dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Tatapannya tajam, sama seperti terakhir kali Lucas mengingatnya—bedanya, kali ini tidak ada senyum menyebalkan.
Hanya jarak.
“Aya…” suara Lucas serak.
Athaya menoleh perlahan.
“Dateng juga,” katanya datar.
Lucas melangkah mendekat.
“Lu ngilang. Kirim email pake perusahaan. Terus sekarang lu berdiri di depan gw seolah semuanya normal?”
Athaya menatapnya lurus.
“Ini Rencana, Lucas. Gak ada yang normal di sini.”
Lucas mengepalkan tangan.
“Terus posisi gw apa?”
Athaya melangkah mendekat, cukup dekat hingga Lucas bisa mencium aroma parfumnya—yang selalu sama, dan selalu bikin dadanya sesak.
“Lu partner misi gw,” ucap Athaya pelan.
“Dan… kita lihat aja nanti, lu masih mau jadi lebih dari itu atau gak.”Kalimat itu jatuh seperti peluru.
Lucas tersenyum miring.
“Lu lagi ngetes gw?”
Athaya mengangkat alis.
“Anggep aja begitu.”
Lucas menahan napas.
“Baik. Tapi sekali aja lu mainin perasaan gw pake cara ini lagi—”
“Apa?” potong Athaya.
Lucas menatapnya dalam.
“Gw gak bakal mundur. Gw bakal masuk ke dunia lu sepenuhnya. Dan lu gak bakal bisa ngusir gw lagi.” Athaya terdiam.
Untuk pertama kalinya… ragu melintas di matanya.
...****************...
Di luar ruangan, Galen yang mengintip dari balik kaca reflektif hanya bisa bergumam pelan.
“Permainan udah dimulai.” Dan kali ini,
yang dipertaruhkan bukan cuma nyawa.
Tapi hati.
—bersambung—