Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Keguguran Atau Tidak Hamil
Keguguran Atau Tidak Hamil
Nadia sudah tiba di lobi, ia semakin mempercepat langkahnya. Tetapi kemudian ...
“Aww!” Tanpa sengaja ia menabrak seseorang.
“Oh, maaf, maaf.” Nadia langsung membungkuk, mengatupkan kedua tangan di depan wajah sambil memasang wajah bersalahnya karena tak sengaja menabrak punggung seorang wanita.
Nadia pikir wanita yang tidak sengaja ia tabrak itu adalah tamu hotel. Tapi ternyata wanita itu adalah wanita yang sudah merenggut kebahagiaannya.
“Kamu ngapain di sini, Nad? Ngamen apa ngemis?” sindir Yura tersenyum miring.
“Mau aku ngapain di sini, itu tidak ada urusannya sama kamu. Mau aku mengamen ataupun mengemis, setidaknya pekerjaan itu masih lebih halal dibanding mencuri.”
Raut wajah Yura pun berubah seketika. Nadia sengaja mengatakan itu untuk menyindir dirinya yang telah mencuri Bastian.
Yura dan Nadia sudah berteman sejak lama, sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Nasib mereka pun tidak jauh berbeda, mereka sama-sama sudah tidak memiliki orangtua.
Nadia sudah menjalin hubungan dengan Bastian juga sejak mereka SMA. Mereka bertiga adalah teman sepermainan. Tiga tahun mereka menjalin hubungan, namun kandas ketika mereka berencana untuk ke jenjang yang lebih serius.
Entah siapa yang lebih dulu, tiba-tiba Nadia dikejutkan dengan kenyataan bahwa kekasih dan sahabatnya itu sudah menjalin hubungan di belakangnya. Bahkan parahnya sahabatnya itu sudah hamil. Mau tidak mau, hubungannya dengan Bastian harus diakhiri, dan Bastian harus mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Yura.
“Aku tidak mencuri apapun dari kamu, Nad. Bastian sendiri yang mau denganku. Dia bahkan mengejar-ngejar aku, padahal aku sudah berulangkali menolak dia. Seharusnya sebagai pacar waktu itu kamu yang harus lebih mengerti dengan Bastian, bukan malah aku,” cibir Yura.
“Mengerti apa? Mengerti selangkangannya? Itu yang kamu maksud?”
“Kamu memang terlalu kaku, Nad. Makanya Bastian bosan sama kamu.”
“Itu karena aku bukan perempuan bodoh yang mudah dimanfaatkan. Sayangnya juga aku bukan perempuan yang mudah membuka selangkangan untuk laki-laki manapun. Selangkanganku terlalu mahal untuk digratiskan, Yura.”
Yura mengetatkan rahang mendengar ucapan Nadia. Selama perselingkuhannya dengan Bastian, ia merasa tidak pantas untuk disalahkan. Karena Bastian yang memulai duluan. Bastian selalu mengeluhkan tentang hubungannya dengan Nadia, sehingga hal itu menjadi cela untuk Bastian menjalin hubungan dengan yang lain.
Memang selama menjalin hubungan dengan Nadia, Bastian tidak pernah bisa menyentuh Nadia. Nadia punya banyak alasan untuk menolak ajakan Bastian tidur bersama. Jangankan bisa tidur bersama, bahkan berciuman saja Nadia selalu menolak. Alasan Nadia adalah dia ingin menjaga kesuciannya sampai dihalalkan oleh Bastian.
“Oh ya, ngomong-ngomong, bukannya kamu hamil ya? Ke mana itu perut? Sudah lahiran kamu? Kok cepat sekali?” Nadia bertanya sekaligus menyindir Yura yang ia ketahui sudah hamil duluan sebelum menikah dengan Bastian. Padahal baru beberapa bulan lalu, tapi sekarang mengapa perut Yura tidak terlihat seperti orang yang sedang hamil?
“Aku keguguran.”
“Oh, kasihan sekali. Keguguran atau sejak awal kamu memang tidak hamil? Kalaupun memang kamu hamil, apa anak itu benar anaknya Bastian?”
“Kamu curiga sama aku, Nad?”
“Tidak, aku tidak curiga. Hanya saja aneh rasanya. Tiba-tiba hamil, terus tiba-tiba juga keguguran. Aneh kan?”
Yura terlihat salah tingkah. Nadia menatapnya dengan seksama, seolah tengah meneliti raut wajahnya.
Sementara di seberang, Yudha tengah memperhatikan interaksi Nadia dengan Yura. Yudha yang hendak pergi karena Maura meneleponnya, meminta ia segera menyusul ke rumah sakit itu, menghentikan langkahnya sejenak.
Ia merasa sedikit penasaran, apakah Nadia saling mengenal dengan Yura, istri Bastian Prayoga, pemilik Prayoga Hotel Slipper, produsen sandal khusus hotel. Produsen sandal itu sudah cukup lama bekerja sama dengan King and Queen Hotel.
“Ehem ... permisi ...” Yudha menyempatkan waktu untuk menyapa begitu ia melewati dua perempuan yang sedang berbincang itu. Namun perbincangan mereka sepertinya diwarnai dengan ketegangan, bisa dilihat dari ekspresi wajah mereka yang terlihat kurang ramah.
Yura dan Nadia tersentak, langsung menoleh ke arah sumber suara. Yura sontak melebarkan senyuman yang ia buat semanis mungkin demi terlihat cantik dan menarik begitu melihat siapa yang datang. Sedangkan Nadia terlihat biasa-biasa saja.
“Eh, Pak Yudha?” balas Yura menyapa dengan suara yang lembut. Pria di depannya ini terlalu sayang jika dilewatkan.
“Bukannya urusan kamu sudah selesai?”
“Sudah, Pak. Semuanya sudah beres. Pesanan juga sudah dikirimkan. Oh ya, Pak Yudha mau ke mana? Sepertinya Pak Yudha buru-buru sekali.”
“Saya ada urusan sebentar.” Sesekali Yudha melirik Nadia yang terlihat cuek. Gadis itu sedikitpun tidak tertarik, baik dengan kehadirannya maupun dengan obrolannya.
Gadis itu, Nadia terlihat resah. Kepalanya celingukan mencari di mana letak jam dinding. Untungnya, di belakang meja lobi menggantung sebuah jam dinding yang berukuran cukup besar, sehingga ia bisa melihat sudah pukul berapa sekarang.
Sedetik kemudian gadis itu beranjak pergi tanpa berpamitan. Pandangan Yudha mengikuti, menatap punggung gadis itu yang sedang berlalu pergi. Yudha bahkan tidak memperhatikan lagi Yura yang sedang melempar topik kepadanya.
“Ngomong-ngomong, jika ada kesalahan dalam pengiriman barang, atau semisal mungkin Pak Yudha merasa kurang puas dengan pro_”
“Maaf, saya permisi.” Yudha memotong dengan cepat kalimat Yura. Bergegas ia menyeret langkahnya meninggalkan lobi. Tergesa-gesa sembari mengeluarkan ponsel dari saku.
****
Nadia sudah berada di selasar hotel. Ada kelegaan ketika ia pergi meninggalkan Yura, sahabat yang sudah memberinya luka terdalam. Sahabat yang pernah ia sayangi namun menyakitinya dengan begitu hebat.
Nadia melihat ke kiri dan ke kanan, menunggu sampai beberapa mobil berlalu untuk ia menyeberang turun dari selasar. Baru saja satu kakinya mengayun, tiba-tiba sebuah suara agak familiar terdengar dari sisi kirinya.
“Mau barengan?” tawar seseorang.
Nadia langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia sedikit terkejut melihat Yudha yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
“Sepertinya kamu buru-buru. Barangkali saja kita searah,” kata Yudha lagi. Padahal tidak ada niatannya untuk menawari tumpangan pada Nadia. Namun entah mengapa dorongan dalam dirinya begitu kuat, bahkan sampai mengalahkan ego dan logikanya.
“Bapak sendiri mau ke mana?” tanya Nadia tanpa sungkan lagi.
“Rumah sakit Medistra.”
“Kita tidak searah kalau begitu. Tapi terima kasih banyak atas tawarannya. Saya permisi dulu, Pak.” Nadia hendak beranjak, namun Yudha mencegahnya dengan sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak seharusnya ditanyakan oleh seorang pimpinan.
“Sudah bertemu dengan Bu Nana?”
“Oh, sudah, Pak. Sudah ketemu tadi. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Pak. Saya sudah diterima kembali bekerja di tempat ini. Terima kasih juga kue saya sudah diborong, bahkan bayarannya dilebihkan. Semoga rejeki Bapak semakin melimpah ruah.” Nadia tersenyum lebar, dalam hati merasa sangat bersyukur masih ada orang baik seperti Yudha yang mau membantunya.
Atas ucapan terima kasih beruntun Nadia itu, Yudha tidak memberikan ekspresi yang sama dengan Nadia. Wajahnya masih datar-datar saja, tidak ada senyuman yang terbentuk di wajah tampan itu.
“Kalau begitu saya mohon pamit dulu. Mari, Pak. Permisi.”
“Besok jangan sampai terlambat. Hotel butuh karyawan yang loyal.” Namun sekali lagi kalimat Yudha itu mengurungkan ayunan kaki Nadia. Seolah sengaja menunda kepergian Nadia.
“Siap, Pak. Saya pastikan saya adalah karyawan yang paling loyal. Selamat siang, Pak. Sampai jumpa lagi,” balas Nadia, kemudian bergegas pergi.
Yudha hendak kembali mengatakan sesuatu saat tiba-tiba ponselnya berdering dan menampilkan nama Maura pada layarnya.
“Sayang, kamu cepat dong ke sini. Tolongin aku.”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh