NovelToon NovelToon
Godaan CEO Serigala Hitam

Godaan CEO Serigala Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Manusia Serigala
Popularitas:198
Nilai: 5
Nama Author: Lily Benitez

Saat tersesat di hutan, Artica tidak sengaja menguak sebuah rahasia tentang dirinya: ia adalah serigala putih yang kuat. Mau tak mau, Artica pun harus belajar menerima dan bertahan hidup dengan fakta ini.

Namun, lima tahun hidup tersembunyi berubah saat ia bertemu CEO tampan—seekor serigala hitam penuh rahasia.

Dua serigala. Dua rahasia. Saling mengincar, saling tertarik. Tapi siapa yang lebih dulu menyerang, dan siapa yang jadi mangsa?

Artica hanya ingin menyembunyikan jati dirinya, tapi justru terjebak dalam permainan mematikan... bersama pria berjas yang bisa melahapnya bulat-bulat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Benitez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 20

[POV RODRIGO]

ENAM BULAN BERLALU

Sejak malam itu, Rodrigo tidak pernah lagi mendengar kabar dari Artica. Ia bahkan tak pernah melihatnya sekalipun. Yang ia tahu, seluruh keluarga Artica telah pindah. Rumah mereka di kompleks itu kini milik orang lain.

Alasan yang diberikan? Mereka ingin membesarkan anak kembar mereka yang baru lahir di tempat yang lebih tenang.

Rodrigo duduk di kantornya, tanpa sadar menyenandungkan lagu yang terus berputar di kepalanya.

🎶 Itu kamu... tidak perlu mengatakan banyak hal... kamu harus belajar mencintai duri atau tidak menerima mawar... aku tidak pernah berbohong atau mengancammu... awan kelabu juga bagian dari pemandangan... dan jangan lihat aku seperti ini... jika ada yang salah di sini... itu kamu... 🎶

Brandon, yang baru saja masuk, langsung merekam nyanyian itu diam-diam. Tapi akhirnya ia tak bisa menahan diri.

"Keren... suaranya, penafsirannya... sekarang kita punya penyanyi baru!" serunya.

"Diam... aku bahkan nggak bisa mengusir lagu ini dari kepalaku," kata Rodrigo, melempar pulpen dari tangannya.

"Artica, atau lagunya?" ejek Brandon.

"Tentu saja lagunya... dan—baiklah, Artica juga. Kamu sudah cari tahu sesuatu? Mereka bukan keluarga yang mudah hilang begitu saja. Orang tua mereka saja tingginya lebih dari dua meter," gerutu Rodrigo.

Brandon masih sibuk mengecek ponselnya ketika sebuah rekaman suara mulai terdengar—suara Artica, menyanyi.

🎶 Itu kamu... lampu di distrik neon tahu bahwa aku sangat lelah... dia melihatku berjalan tanpa alas kaki di malam hari... aku berada di antara diriku yang sebenarnya dan yang kamu inginkan... aku ingin bangun seolah aku tidak menginginkannya... dan jangan lihat aku seperti ini... jika ada yang salah di sini... itu kamu... 🎶

"Itu saja," ujar Brandon perlahan.

"Ulangi. Aku nggak dengar," kata Rodrigo cepat.

"Kamu benar-benar dalam masalah, bro. Kurasa dia yang menandaimu, bukan sebaliknya. Mengenalnya, bagaimana bisa kamu bilang dia tidak boleh punya teman, nggak boleh dekat siapa pun? Kamu sendiri yang menyegel nasibmu."

"Tidak seperti itu... aku... entahlah. Aku jadi gila. Lagu ini terus muter di kepalaku. Tapi... tunggu... apakah ada distrik bernama Neon?"

Brandon mengecek peta di ponselnya. "Ada. Desa terpencil. Orang-orangnya petani. Lingkungan pedesaan."

"Itu dia. Pasti di sana. Tempat yang ideal buat dia—dikelilingi alam, jauh dari kota. Dia bisa berubah tanpa terlihat. Kalau pun ada yang melihat, dia tinggal jadi bagian dari fauna lokal. Kenapa aku nggak mikir soal ini dari dulu..." gumam Rodrigo.

"Kamu mau mencarinya?" tanya Brandon, melihat Rodrigo menatap ke kejauhan dengan siku bertumpu di meja.

"Aku berharap, seperti orang bodoh, dia akan muncul. Setiap malam aku ulangi mantra itu. Gunakan kekuatan untuk memanggilnya. Tapi nggak ada... hanya lagu itu yang terus menggangguku. Bahkan aku kaget dia belum memanggilku."

"Akira juga nggak tahu kabarnya. Terakhir kali, Artica hanya menyuruhnya untuk tetap fokus bekerja."

"Kamu akhir-akhir ini nggak pernah jauh dari laboratorium... ada apa dengan kalian berdua?"

"Nggak ada apa-apa... Hei, jangan pakai kekuatan alfamu untuk baca pikiranku!" protes Brandon saat melihat tatapan Rodrigo.

"Aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu."

"Aku cuma nggak mau merusak kebahagiaanku sendiri dengan melihatmu segalau ini."

"Jadi... memang ada sesuatu," tebak Rodrigo. Sebelum Brandon sempat menyangkal lagi, Rodrigo bertanya, "Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan mencarinya. Tapi pertama-tama aku akan menilai situasinya. Lebih hati-hati. Lebih taktis. Dan untuk itu, kamu harus ikut. Supaya aku nggak terlihat seperti idiot di depannya. Dia berbeda... Aku seharusnya lebih pengertian dulu. Merenungkan semua yang dia katakan. Betapa beratnya menjadi dirinya. Dan setelah apa yang dikatakan ibuku... aku ingin memukul diriku sendiri. Aku benar-benar bajingan idiot."

"Apa yang ibumu katakan?" tanya Brandon.

"Dia bisa melihat ingatan lewat sentuhan."

"Aku tahu."

"Dia melihat Artica berubah. Serigala yang kita angkut ke truk waktu itu nggak sebanding dengan yang melawan para penyerang. Dia... memakan mereka. Itulah kenapa tidak ada jejak apa pun dari para penjahat itu. Artica kesulitan mengendalikan dirinya. Dia bahkan takut pada dirinya sendiri. Ayahnya melatihnya ekstrem, untuk menguatkan karakter. Tapi dia tumbuh jadi gadis manis, lembut... bukan makhluk agresif. Itulah kenapa dia merasa tertekan terus. Hanya saat bersamaku dia merasa normal."

"Dan ternyata kau hanyalah bajingan egois yang nggak tahu cara mendengarkan, dan cuma bisa memberi perintah seperti biasanya," kata Brandon. "Aku ngomong gini karena aku peduli."

"Kamu benar... Untuk pertama kalinya aku menemukan pasangan yang ideal. Yang diinginkan oleh sisi manusianya... dan disukai juga oleh sisi serigalaku. Kamu tahu kan, betapa langkanya itu? Seseorang yang benar-benar mencerminkan apa yang kau inginkan."

"Tentu saja aku tahu. Akira menarikku... tapi dia terlalu lincah buat serigalaku," kata Brandon, lalu menambahkan, "Jadi dia tidak setuju?"

"Tidak. Aku harus tahan semua keluhannya setiap kali aku bicara dengan Akira."

"Balik ke topik utama. Kamu akan menemaniku mencari Artica. Tapi kita tidak boleh menampakkan diri. Kita akan pakai lotion baru—yang bisa menutupi aroma kita. Ini akan jadi studi lapangan. Dan kamu... akan jadi pemanduku. Supaya aku nggak mengacaukannya."

"Semoga kamu nggak banyak protes. Dan tahu caranya mendengarkan. Karena kamu terbiasa jadi yang memberi perintah... bukan penerima."

*****

TIGA BULAN KEMUDIAN

Di sebuah desa yang tenang dan indah, rumah-rumah bercat putih berjejer rapi, dikelilingi pepohonan hijau yang tampak belum tersentuh kemajuan teknologi.

Udara bersih memenuhi paru-paru, dan para penduduk menyapa siapa pun dengan ramah, tak peduli mereka saling kenal atau tidak. Kepala desa menjaga keasrian ini dengan serius, dan penduduknya pun turut menjaga kebersihan serta kedamaian yang telah lama mereka miliki.

"Mmmm... aaaah." Brandon menarik napas dalam, menikmati pemandangan sekitar.

"Ini benar-benar menyenangkan. Aku belum pernah merasa setenang ini," komentarnya sambil berdiri di depan rumah baru mereka.

"Kita sudah tiga bulan di sini. Kita hanya melihat ibu Artica mengelola penginapan dan ayahnya yang memiliki apotek. Semua orang menyukai mereka. Tapi tak ada kabar tentang Artica," ucap Rodrigo sambil merenung.

"Aku dengar ada seorang dokter yang tinggal di rumah dekat lapangan, tak jauh dari sungai. Ia hanya muncul ketika dibutuhkan... dan katanya, dia yang memasok obat-obatan ke apotek Pak Møller," kata Brandon.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Rodrigo penasaran.

"Kalau kau sedikit lebih sosial, kau akan tahu banyak hal. Aku sudah memperkenalkan diri sebagai pengusaha yang ingin membeli ladang anggur," jawab Brandon santai.

"Anggur? Bukankah kau bisa memilih buah lain?" Rodrigo menaikkan alis.

"Setelah melihat-lihat ladang lain... tak ada yang menanam anggur di sini. Dan kupikir ide membuat anggur cukup menarik." Brandon tersenyum.

Rodrigo menatapnya, kemudian berujar, "Yang membuatku heran, aku tak bisa mencium bau Artica."

"Mungkin dia memakai lotion penahan aroma," gumam Brandon, berpikir.

Keduanya terdiam. Kini mereka tampak berbeda: berjenggot, berambut lebih panjang, mengenakan kemeja tebal, celana jeans, dan kacamata hitam. Rodrigo tetap pendiam dan serius, sedangkan Brandon lebih ramah dan suka bergaul.

Setiap pagi, mereka rutin ke penginapan untuk sarapan—dan berharap bisa melihat Artica. Brandon menikmati kehidupan desa, merasa lebih hidup. Sebaliknya, Rodrigo merasa frustrasi karena belum juga bertemu Artica.

Suatu pagi di penginapan, mereka mendengar seorang pria berbicara dengan Nyonya Nieves.

"Nyonya, kami butuh putri Anda. Anak saya demam tinggi... dia digigit sesuatu, kami tak tahu apa," kata pria itu cemas.

"Tenang... akan kutelpon dia," jawab Nyonya Nieves sambil mengangkat telepon di konter.

Sepuluh menit kemudian, seorang wanita memasuki penginapan. Ia mengenakan jeans, kemeja, sepatu bot tinggi, topi lebar, dan kacamata hitam. Ia berjalan langsung ke arah pria itu, yang wajahnya langsung berubah lega. Tanpa berkata apa pun, mereka pergi bersama.

Brandon dan Rodrigo diam-diam mengikuti dari kejauhan. Mereka melihat wanita itu masuk ke truk pickup, lalu berhenti di sebuah rumah sederhana.

"Dokter... senang melihatmu," sambut wanita pemilik rumah sambil mempersilakan masuk.

Artica melepas topinya. Rambutnya kini hanya sebahu. Ia mendekati anak laki-laki yang demam, melepas kacamatanya, dan menatap matanya.

"Hai... ada apa?" tanyanya lembut. Dari matanya, dia bisa mengetahui jenis serangga yang menggigit sang anak. Ia mengambil botol kecil dari tasnya, lalu menyodorkannya ke bibir anak itu.

"Minum ini... kamu akan segera merasa lebih baik," katanya.

Ia juga mengoleskan krim ke bekas gigitan di kakinya, lalu berdiri untuk berbicara dengan orang tua anak itu.

"Itu saja. Berikan satu sendok ini setiap hari sampai bercaknya hilang," jelasnya.

"Terima kasih banyak... aku tak tahu harus bagaimana membalasmu," kata sang ibu penuh haru.

"Jika Anda bisa memberiku beberapa bunga dari taman... anggap saja itu sebagai pembayaran," jawab Artica.

"Itu lebih dari cukup," kata wanita itu sambil memberikan seikat bunga yang berwarna-warni. Artica mengucapkan selamat tinggal, dan pria itu mengantarnya kembali ke penginapan.

"Sayang... bagaimana?" tanya ibunya ketika ia kembali.

"Baik," jawab Artica singkat. Ia bukan lagi gadis ceria yang dulu. Kini ia lebih pendiam dan tertutup. Nyonya Nieves memahami beban yang dipikul anaknya, maka ia memilih tak banyak bicara.

"Tetaplah di sini... siapkan satu panggangan untuk makan malam. Para pelanggan akan menyukainya," kata ibunya.

"Baik. Aku bawa hadiah untukmu... parfum untukmu dan si kembar," ujar Artica sambil menyerahkan dua botol kecil.

"Terima kasih... hmm, aku suka aromanya," balas ibunya sambil tersenyum.

"Berikan aku headphone," pinta Artica.

"Kamu masih mendengarkannya?" tanya ibunya pelan.

"Ya... aku belum bisa memblokirnya," jawab Artica. Sejak kemampuan itu muncul, ia bisa mendengar pikiran manusia.

Sama seperti ibunya yang bisa meramalkan cuaca, atau Nyonya Blanca yang dapat melihat gambaran masa depan lewat sentuhan, Artica kini bisa mendengar isi pikiran orang—dan ia hanya bisa membungkamnya dengan musik keras.

Rodrigo mulai mendengar lagu berdengung dalam pikirannya, dan saat ia melihat Artica memakai headphone, ia menyadari apa yang sedang terjadi.

Artica tak memperhatikan siapa pun di sekitarnya, ia hanya fokus untuk tidak mendengarkan pikiran mereka. Lagu itu ia ulang-ulang dalam benaknya sambil berjalan masuk ke dapur.

"Hai, Blas... aku akan menyerbu wilayahmu," kata Artica pada sang juru masak.

"Tidak masalah. Ibumu juga sering melakukannya. Aku yakin dia menyuruhmu menyiapkan daging?"

"Ya," jawab Artica singkat.

"Bagikan musiknya. Putar keras-keras," ujarnya sambil menirukan gerakan menari. Artica tersenyum tipis, melepas headphone-nya, dan menyambungkan musik ke speaker.

"Nah, itu dia! Lihat gerakanku!" kata Blas sambil bergoyang mengikuti irama bachata, berusaha menghiburnya.

"Kau memang unik," balas Artica sambil mulai membumbui daging. Tangannya lincah, menunjukkan keahlian menggunakan pisau dengan presisi mengagumkan.

"Kau benar-benar ahli... pernah kerja di tempat jagal?" goda Blas setengah serius.

"Mungkin di kehidupan lain," jawab Artica ringan. Ia melemparkan potongan daging ke atas wajan panas dan memasaknya dengan bumbu jus racikannya sendiri.

"Aku sudah coba tiru resepmu... tapi rasanya tetap beda," keluh Blas dengan nada kagum.

"Pesta sudah dimulai!" seru Nyonya Nieves sambil memasuki dapur.

"Ayo, Bos! Kita berdansa!" ajak Blas.

"Aku hanya berdansa dengan suamiku, Julio," jawabnya sambil tersenyum.

"Apa maksudmu?" tanya sang suami yang baru saja masuk ke ruangan.

"Sayang, aku hanya berdansa denganmu," jawab Nieves penuh cinta dan langsung mencium suaminya.

"Kalau begitu, mari kita berdansa," balas Julio sambil merangkul istrinya. "Artica, senang melihatmu di sini... masakanmu selalu menggoda."

"Seperti api yang menyala kembali," kata Artica saat melihat kehangatan orang tuanya.

"Api itu tak pernah padam," jawab ayahnya lembut, lalu kembali mencium istrinya.

"Aku antar pesanan ini dulu... bisa meledak rasanya di tengah suasana cinta seperti ini," seloroh Artica sambil mengambil nampan.

"Pakai seragammu dulu," kata ibunya sambil menyodorkan kaus berlogo restoran dan celemek hitam.

Artica melepas kemejanya, mengenakan kaus di atas tank top, mengikat celemek di pinggang, dan berjalan menuju meja nomor sepuluh.

"Maaf menunggu lama," katanya ramah. "Siapa yang pesan steak dengan garnish?"

Namun saat ia menatap pelanggan di depannya, langkahnya terhenti. Mata itu... begitu familiar. Dunia seakan membeku.

Rodrigo menatapnya tajam, berdiri, dan mendekat perlahan. Tangannya terulur, menyentuh pinggang Artica.

"Kau tak terpikir untuk memberitahuku?" tanyanya lirih.

Artica membisu. Kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya. Ia tak pernah membayangkan akan bertemu Rodrigo di sini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!