Eclipse, organisasi dunia bawah yang bergerak di bidang farmasi gelap. Sering kali melakukan uji coba demi mendapatkan obat atau vaksin terbaik versi mereka.
Pada awal tahun 2025, pimpinan Eclipse mulai menggila. Dia menargetkan vaksin yang bisa menolak penuaan dan kematian. Sialnya, vaksin yang ditargetkan justru gagal dan menjadi virus mematikan. Sedikit saja bisa membunuh jutaan manusia dalam sekejap.
Hubungan internal Eclipse pun makin memanas. Sebagian anggota serakah dan berniat menjual virus tersebut. Sebagian lain memilih melumpuhkan dengan alasan kemanusiaan. Waktu mereka hanya lima puluh hari sebelum virus itu berevolusi.
Reyver Brox, salah satu anggota Eclipse yang melawan keserakahan tim. Rela bertaruh nyawa demi keselamatan banyak manusia. Namun, di titik akhir perjuangan, ia justru dikhianati oleh orang yang paling dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Teriakan dari penjaga keamanan membuat detak jantung Martha dan Reyver makin berpacu. Keduanya masih ada di dalam bangunan Eclipse, masih cukup jauh dari gerbang depan. Habis sudah jika niat mereka terendus orang-orangnya Carlo.
Dengan gerak cepat, Reyver menarik tangan Martha dan mengajaknya bersembunyi di balik dinding pembatas. Di sana keduanya menahan napas, dengan mata yang terus menatap waspada ke arah koridor, di mana tiga orang penjaga sedang mencari keberadaan mereka.
Genggaman tangan Reyver makin menguat, seolah menggambarkan perasaannya yang begitu takut terjadi sesuatu dengan Martha, pun dengan dirinya. Apa yang mereka lakukan kali ini benar-benar berbahaya. Sungguh di luar nalar jika mengingat sekuat dan sekejam apa Carlo selama ini.
"Sialan! Lari ke mana mereka?"
"Jangan-jangan itu penyusup yang dikirim musuhnya Tuan Carlo."
"Tidak mudah bagi orang luar untuk membobol keamanan di Eclipse. Aku justru curiga mereka adalah orang dalam yang berkhianat."
Obrolan ketiga orang itu tertangkap pendengaran Reyver dan Martha, menambah ketegangan suasana di antara keduanya. Namun, Martha dan Reyver tidak akan menyerah, sebesar apa pun resiko yang akan dihadapi.
Dalam diam yang bahkan menarik napas pun tertahan, Martha mengambil sesuatu dari balik blazer hitamnya. Batu sebesar kepalan tangan.
Menyadari apa yang akan dilakukan sang kekasih, Reyver berniat mengambil alih batu tersebut. Namun, Martha langsung menggeleng dan menjauhkan batunya agar tidak tersentuh Reyver. Lantas ia sedikit memicingkan mata dan menunjukkan tangannya yang mengenakan sarung.
Reyver pun mengangguk pelan. Baru sadar jika tangannya tidak ada pengaman. Sidik jarinya akan tertinggal jika dirinya yang melempar batu tersebut.
Sementara itu, di sebelah Reyver, Martha terus menilik jeli pergerakan tiga orang di depan sana. Tepat ketika mereka menatap fokus ke segala arah, Martha melempar batunya dengan sekuat tenaga ke seberang koridor. Tepat sasaran, mengenai kepala patung besi dan menimbulkan suara yang menggema.
Sontak, suara itu menyita perhatian tiga penjaga keamanan. Langkah kaki mereka pun bergerak cepat ke arah sana, menjauhi tempat persembunyian Martha dan Reyver.
Senyum kelegaan pun tercetak di bibir Martha dan Reyver. Tanpa saling bicara, keduanya langsung kompak keluar pelan-pelan dari tempat persembunyian itu.
"Ada pergerakan di sana!"
Salah seorang dari pria-pria itu menyadari kelebat Martha dan Reyver ketika keluar dari persembunyian. Lantas, ia berteriak dan keduanya temannya pun langsung ikut berlari ke arah yang ditunjuk.
"Sial! Kita kehilangan jejak mereka!"
"Siapa sebenarnya mereka? Kenapa cepat sekali kaburnya?"
"Dasar bedebah! Tuan Carlo akan menghabisi kita jika masalah ini tidak bisa diatasi."
Umpatan dan luapan rasa kesal terus keluar dari bibir mereka. Namun, Martha dan Reyver tak peduli lagi dengan itu. Mereka langsung hengkang setelah ada kesempatan. Berlari secepat mungkin ke arah gerbang Eclipse. Jangan sampai kehabisan waktu dan tertangkap orang-orangnya Carlo. Akan mati konyol mereka.
"Ada yang berjaga di sana," bisik Reyver.
Dari kejauhan dia melihat dua orang pria berdiri dengan waspada di depan pintu gerbang. Memang, Eclipse tak pernah membiarkan pintu gerbang dalam keadaan kosong. Selalu ada yang bertugas di sana. Sialnya lagi, hanya itu satu-satunya jalan keluar. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi yang berlapis baja, tidak bisa dilubangi, pun tidak bisa dipanjat.
"Aku sudah memikirkan ini." Martha menyahut juga dengan bisikan, sembari mengeluarkan pistol pribadinya. "Kita tidak punya pilihan lain," sambungnya sesaat kemudian.
Reyver mengangguk. Paham dengan apa yang ada dalam pikiran Martha. Lalu mereka pun kembali melanjutkan langkahnya.
"Hei! Siapa—"
Nahas sekali nasib pria-pria yang bertugas menjaga pintu gerbang. Belum sempat mereka menyelesaikan ucapan, peluru lebih dulu bersarang di dada. Tak ada lagi kata yang terucap, karena dalam hitungan detik mereka sudah mengembuskan napas terakhir.
Martha tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat ia segera membuka kunci gerbang dan berlari keluar dari area Eclipse.
"Mobilku ada di sana, Rey. Lebih cepat lagi dan kita akan segera sampai," ujar Martha sambil berlari lebih cepat, dan Reyver pun mengikutinya.
Setelah berlari sekitar seratus meter, Martha dan Reyver tiba di mobil yang diparkirkan jauh dari jalan. Lantas dengan gesit keduanya masuk ke sana.
Tak sampai lima detik, Martha telah berhasil menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya. Deru suaranya memecah hening malam kala itu, membelah gelapnya alam dengan kecepatan yang sangat tinggi.
"Mereka tidak mengejar kita, kan?" gumam Martha setelah cukup jauh meninggalkan Eclipse.
"Sepertinya tidak. Kurasa tadi belum ada yang menyadari kalau kita sudah keluar dari gerbang."
"Kurasa juga begitu. Dan semoga saja kita tidak salah."
Reyver menarik napas panjang. Lalu kembali membuka suara dan mengajukan pertanyaan pada kekasih hatinya.
"Martha ... siapa yang membantumu meretas sistem keamanan?"
"Rey, jangan dulu tanyakan itu. Kita harus fokus dengan pelarian ini. Aku belum tenang jika kita belum sampai di tujuan."
"Baiklah, aku mengerti."
Reyver patuh dan tak lagi bicara. Mungkin Martha memang butuh konsentrasi penuh untuk mengendalikan kemudi dengan kecepatan setara pembalap dunia. Jadi meski dalam hati sangat penasaran, tetapi Reyver meredamnya sendiri, setidaknya untuk sementara waktu.
"Martha ... kau sudah membantuku dengan resiko sebesar ini. Ke depannya, aku akan selalu mencintaimu dan menjagamu dengan baik," batin Reyver.
Walau di satu sisi ada perasaan kecewa karena sahabat dekatnya justru berkhianat, tetapi di sisi lain Reyver sangat bahagia karena wanita yang dia cinta rela bertaruh nyawa untuknya.
Setulus dan seindah itu cinta mereka, semoga Tuhan berkenan memberikan akhir yang indah pula untuk jalinan asmara mereka.
Bersambung...