Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mas Gilang, May!
Maya mendekati Mirna.
"Jadi kau percaya kalau aku punya pesugihan?" Tanya Maya pelan, nyaris berbisik. Namun matanya menatap Mirna dengan tajam.
Mirna mengangguk.
"Kau ingin cepat kaya?" Tanya Maya lagi, Kali ini ia lebih deket ke telinga Mirna.
Mirna mengangguk pelan, bulu kuduknya berdiri. Sesaat, ia mulai ngeri mendengar ucapan Maya yang pelan, tapi menusuk. Dalam hati Mirna, mungkin itu akibat aura Maya, aura seseorang yang menjalankan pesugihan.
"Iya aku mau kak, cepat beritahu aku." Jawab Mirna mendesak.
"Oke." Ucap Maya akhirnya, mundur. Lalu ia pun berjalan ke dapur untuk mengambil sesuatu.
Jantung Mirna berdegup, mulutnya bergerak. Langkah Maya ke dapur membuat bulu-bulunya merinding. Jika emang bisa kaya dengan cepat, kenapa harus dengan cara yang susah?
"Jadi kakak memang...."
Belum sempat Mirna menyelesaikan kalimat, Maya sudah keluar dari dapur membawa cangkul.
"Ini pesugihannya! Kau pegang, kau bawa setiap hari ke ladang."
Maya memberikan cangkul itu.
Mirna bingung.
Dan bengong.
Maya tertawa tipis, "itulah satu-satunya pesugihan yang aku punya Mir! Nggak ada yang lain. Aku punya hp aipon, punya uang karena kerja keras, bukan karena pesugihan!"
Mirna menerima cangkul itu. Menatap benda itu dengan seksama. Tidak ada yang aneh, cangkul itu persis seperti cangkul-cangkul yang lain. Punya gagang, punya cangkul, dan warnanya agak kusam.
"Kakak yakin?"
Maya mengangguk, "Seribu persen yakin! Sekarang pergi ke ladang, mulailah mencangkul, menanam dan bekerja! Daripada kau terus merengek meminta uang pada bang Gilang."
Hening sesaat.
Lalu dengan kepala yang baru saja diputar untuk mencerna, bibir Mirna mulai mengerucut, ia mulai mengerti maksud Maya.
"Kalau itu sih aku juga tahu kak. Aku pengennya pesugihan, meminta bantuan jin agar bisa kaya!"
Mirna melempar cangkul ke lantai dengan raut wajah jengkel.
"Mir, jadi kaya itu nggak instan, butuh kerja keras, disiplin dan kesabaran. Kalau kau mengira aku sukses karena pesugihan, itu salah! Aku gak sudi melakukannya!"
"Udah lah, aku malas dengar ceramah kakak." ucap Mirna. Habis itu dia pergi begitu saja.
Maya mengusap dadanya, kesal sekali ia melihat adik iparnya itu. Mirna nggak pernah dewasa, pengen duit, pengen ini itu tapi nggak pernah mau bekerja. Padahal Maya sudah berkali-kali mencoba mengajaknya ikut ke ladang, berkali-kali menawarkan agar lahan milik orang tua Gilang yang nganggur segera di garap dan hasilnya dibagi. Tapi Mirna lebih suka malas-malasan, menunggu transferan dari Gilang setiap bulan. Dan sekarang wanita itu malah meminta pesugihan.
"Ada-ada saja." Gumam Maya, menyimpan kembali cangkul keramatnya.
Sebagai wanita yang cantik, ibu muda dari suami seorang PNS, juga sebagai petani yang sukses di kampung, nama Maya kini telah harum semerbak. Ia menjadi orang yang sangat dihormati.
Apalagi sekarang Maya sudah membeli lahan disebelah ladang mereka. Uangnya ia pinjam di BANK dengan menggadaikan setifikat atau SK PNS Gilang.
Maya berkembang setiap harinya. Ia mempelajari jenis-jenis tanaman, mempelajari pupuk, pestisida dan lain-lain. Ia juga tidak malu untuk bertanya kepada petani senior di desa.
Bagai menemukan bakat terpendam, Maya secara alami cepat sekali menyatu dengan alam. Instingnya kuat, ia bisa mengambil keputusan tentang tanaman yang punya harga bagus ketika dipanen. Itulah salah satu kelebihannya dibandingkan dengan petani lain. Ia menanam bukan sembarang menanam, tapi ia menanam ketika ia sudah punya prediksi kuat bahwa harga tanamannya tidak bakalan anjlok.
Maka dari itu, banyak warga yang menunggu keputusan Maya untuk menanam. Lalu mereka akan mengikutinya. Seperti beberapa minggu kemarin, warga dibuat kaget ketika ia memutuskan menanam kacang tanah, padahal harga kacang tanah lagi hancur-hancurnya. Tapi, belakangan ini mulai beredar informasi bahwa harga kacang tanah mulai melejit, dan sebentar lagi Maya akan panen.
Kesuksesan Maya itulah yang membuat Bu Sumi menaruh iri hati dan dengki.
Maya menjadi sangat penting di desa.
Pengaruh Maya lebih besar daripada pengaruh kepala desa.
Hehe.
Kira-kira begitulah.
Kini, Maya tidak terlalu keras lagi untuk bekerja. Banyak orang kampung yang dijadikan Maya sebagai anggota. Maya cuma mengatur ini itu, membeli bibit di kota, membeli pupuk dan bertransaksi dengan tauke.
Seperti hari ini, dua pemuda kampung membantunya untuk mengolah lahan yang baru saja ia beli.
"Mbak Maya nggak usah ikut mencangkul, biar kami saja. Ini tugas laku-laki mbak." ucap pemuda itu yang disambut anggukan oleh temannya.
Maya tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, udah biasa. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian."
"Aduh, mbak Maya istri idaman banget sih, udah cantik, rajin, baik hati. Jadi pengen punya istri kayak mbak. "
"Hussst jangan mimpi. Kalau mau dapat istri kayak mbak Maya, kau minimal kayak mas Gilang. Ganteng, PNS, ramah, juga dermawan." Balas pemuda satunya lagi.
Maya cuma tertawa kecil mendengar ocehan mereka.
Siang yang mulai terik membuat Maya beristirahat sebentar di gubuk ladang. Sedangkan dua pemuda tadi masih terus bekerja mencangkul tanah agar gembur. Rencana, lahan itu akan ditanami oleh wortel. Sesuatu yang belum pernah ditanam oleh warga kampung. Maya sudah mempelajarinya, iklim, struktur tanah, kelembapan, semuanya memadai untuk menanam wortel.
Dari kejauhan, Laras berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Maya.... Maya...!" Panggil Laras.
Maya mengerutkan dahi, "Ada apa Ras? Kok kayak dikejar setan gitu."
Laras mengatur nafasnya sebentar, dadanya naik turun. Wajahnya tampak cemas.
"Mas Gilang... Mas Gilang!!"