Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Menjadi Budak Cinta
Nateya mengerang dalam hati. Perasaan aneh yang bergetar di dadanya jelas bukan miliknya. Itu adalah sisa hasrat Seruni, perempuan malang yang rela menjadi budak cinta demi lelaki yang bahkan tidak peduli padanya.
Elias, sosok yang hanya memuja Amara, sementara istrinya sendiri dicampakkan dalam kehinaan. Betapa konyol.
Nateya menggeleng tipis. Ia tidak akan mengulangi kesalahan tolol Seruni. Cinta bertepuk sebelah tangan seperti itu hanya akan melukai diri sendiri.
Maka, dengan suara rendah, ia menatap mata Elias yang masih mencengkeramnya.
“Memang aku wanita yang tidak bisa melawan kekuatan Jenderal Elias,” katanya sambil menarik napas berat. “Tapi, aku masih punya cara lain.”
Tanpa peringatan, Nateya menunduk dan menggigit lengan kiri Elias sekuat tenaga. Gigitan itu begitu dalam hingga membuat pria itu terlonjak kaget. Refleks, ia melepaskan tubuh Nateya, lalu mundur selangkah dengan mata melotot.
“Kau… menggigitku?” Elias mendesis, menahan perih di lengannya.
Nateya segera meloloskan diri, wajahnya menyeringai penuh kepuasan. Ia bahkan sempat menjulurkan lidah ke arah Elias.
“Seandainya seekor semut diinjak pun akan menggigit, apalagi seorang istri yang ditindas suaminya,” sindirnya tajam. “Aku bisa ke kamar anak-anakku sendiri tanpa harus dipaksa.”
Setengah berlari, Nateya menuju kamar si kembar.
Elias berdiri kaku beberapa saat, wajahnya memerah menahan marah. Tangannya masih mengelus bekas gigitan yang meninggalkan jejak kemerahan di kulitnya. Dengan rahang mengeras, ia akhirnya menyusul.
Begitu Nateya sampai di depan kamar Julian dan Anelis, ia langsung membuka pintu. Napasnya terengah-engah, seolah habis berlari jarak jauh. Ini semua akibat tubuh Seruni yang berat.
Anelis dan Julian yang sedang berbaring sontak bangkit kaget. Mata mereka membelalak, apalagi saat melihat sosok sang ayah muncul di belakang ibu mereka. Ketegangan seketika memenuhi ruangan.
Sambil mengatur napas, Nateya segera berkata dengan suara tegas, “Julian, katakan pada papamu apa yang sebenarnya membuat Tante Eleanor datang ke rumah ini dan marah-marah.”
Julian tampak ketakutan. Ia melirik Elias yang berdiri tegap dengan sorot mata tajam, lalu kembali menunduk. Ia hendak membuka mulut, tetapi tubuhnya seakan membeku.
Elias maju selangkah, suaranya berat penuh tekanan.
“Ada apa, Julian? Katakan pada Papa.”
Julian semakin kaku, bibirnya bergetar tanpa suara. Namun tiba-tiba Anelis melangkah ke depan, wajah mungilnya penuh keberanian meski matanya sedikit basah.
Dengan tangan, ia menunjukkan luka di betis dan lutut yang sudah dibalut plester oleh Nateya. Ia lalu menggerakkan jemarinya, berbahasa isyarat dengan penuh penekanan.
Bahasa isyarat itu sederhana tetapi jelas. "Aku didorong temanku, jatuh, luka. Julian menolongku. Julian membalas anak nakal itu."
Elias menatap putrinya lekat-lekat, memahami maksudnya. Sorot matanya perlahan meredup dari amarah, berganti dengan ketegasan seorang ayah yang mencoba mengurai masalah.
Pandangannya lantas beralih ke Julian. “Anak yang mendorong Anelis, apakah dia Andrew?"
Julian terdiam sesaat, sebelum mengangkat wajahnya. Ada getar ketakutan sekaligus keberanian kecil yang memancar di matanya.
“Iya, Papa.”
Elias menunduk menatap Julian, wajahnya tegas tetapi suaranya lebih tenang.
“Andrew sengaja mendorong adikmu?”
Julian mengangguk, sorot matanya menyala penuh keberanian.
“Bukan hanya mendorong, Papa. Dia sering mengejek Anelis karena bisu. Hampir semua teman sekolah kami tahu. Anelis sudah sering dipermalukan, dan kali ini dia melampaui batas.”
Elias menghela napas panjang, lalu bertanya lagi, “Lalu, apa yang kau lakukan kepada Andrew?”
“Aku memukul wajahnya… tapi hanya sekali," jawab Julian menampilkan kejujuran yang polos. "Setelah itu, aku langsung membawa Anelis pergi.”
Keheningan menggantung beberapa detik. Elias akhirnya meraih bahu sang putra dan menepuknya pelan.
“Papa mengerti sekarang. Kau memang harus melindungi adikmu, Julian. Itu kewajiban seorang kakak. Tapi, bukan berarti kau boleh membalas dengan kekerasan. Balas dendam tidak akan membuat adikmu lebih aman. Biarlah urusan ini Papa yang bicarakan dengan Jenderal Bastian. Dengan cara baik-baik.”
Namun, sebelum suasana mereda, Nateya langsung menyela dengan nada tajam.
“Tidak. Besok aku sendiri yang akan ke sekolah. Persoalan ini harus dituntaskan dengan adil, bukan ditutup-tutupi.”
Elias terkejut, menoleh cepat pada istrinya. “Tidak perlu, Seruni. Kau akan memperburuk keadaan. Biar aku yang urus.”
Nateya menyilangkan tangan di dada, matanya dingin.
“Tidak bisa. Ayah bicara dengan ayah, ibu bicara dengan ibu. Eleanor yang memulai pertengkaran, maka aku-lah yang harus menyelesaikannya. Jika kau menghalangi, sama saja kau membiarkan Eleanor menindas anak-anakku tanpa perlawanan.”
Elias hendak membuka mulut, siap menjawab. Namun sebelum sempat melontarkan kata, pintu kamar terbuka lebar. Victor masuk dengan langkah cepat, wajahnya tegang.
“Jenderal Elias, mohon maaf mengganggu. Dua anak buah Anda ingin melapor. Keadaan darurat.”
Di belakang Victor, dua prajurit berlari kecil masuk sambil terengah. Mereka menunduk hormat.
“Kapten Arvid dan Letnan Marius melapor, Tuan!”
Elias segera maju. “Ada apa?”
Kapten Arvid, menjawab dengan wajah muram.
“Tuan, lima orang anggota pasukan terluka parah setelah berhasil menangkap kelompok pemberontak yang menyandera warga di pedalaman hutan timur. Mereka berhasil dibebaskan, tetapi pertempuran berlangsung sengit.”
Letnan Marius menambahkan cepat, “Yang paling parah adalah Komandan Regu Utama kita, Mayor Ragnar. Ia menyelamatkan seorang anak dari tikaman, tapi dirinya sendiri yang terkena tusukan. Pendarahannya hebat, Tuan. Dokter militer sudah berusaha, tapi mereka tidak bisa menghentikan aliran darahnya.”
Elias langsung mengepal tangan, wajahnya serius. “Kalau begitu aku akan segera ke sana. Cari dokter lain yang lebih ahli.”
Mendengar pembicaraan itu, Nateya maju setapak. Sebelum Elias beranjak, ia segera menghalangi.
“Aku ikut denganmu ke markas."
Elias menoleh kaget. “Untuk apa kau ikut?”
“Tentu saja untuk mengobati para tentaramu. Jika aku bisa menyelamatkan nyawa mereka, terlebih Mayor Ragnar yang terkenal setia, kau harus mengabulkan tiga permintaanku," tukas Nateya penuh keyakinan.