Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Keras Kepala, Nyawa Taruhan
Angin dingin turun dari pegunungan, membawa kabut tipis ke halaman utama. Di dalam aula, beberapa murid berdiri berbaris. Wei Ren berdiri agak di depan, senyum tipis di sudut bibirnya. Di sampingnya, Bai Lin menunduk kaku, tak berani menatap siapa pun.
Tetua Fan duduk di kursi batu panjang. Di sampingnya, Lu Ming berdiri dengan tangan terlipat di lengan jubah. Han Ye sedikit ke belakang, pedang terselip di pinggang, sorot matanya menahan emosi.
"Beberapa murid penjaga jalur melapor. Ada rumor kabut di lembah retak lagi. Wei Ren bilang dia dengar sendiri. Benar begitu?"
Wei Ren menunduk sedikit, suaranya manis tapi lidahnya tajam.
"Ya, Tetua. Beberapa murid dengar suara retakan dari mulut lembah. Mereka takut turun. Saya kira ini bukti segel altar rapuh. Dan… ada yang bilang Yanzhi keluar Paviliun malam-malam."
Han Ye langsung mendelik ke Wei Ren, napasnya tertahan.
"Itu omong kosong. Paviliun dijaga bergantian. Kalau dia keluar, dia sudah aku seret ke hadapan Tetua Fan sejak kemarin."
Wei Ren pura-pura gelagapan, tapi ujung mulutnya melengkung licik.
"Saya hanya bilang apa yang saya dengar, Senior Han Ye. Kalau tak benar, saya mohon maaf. Tapi kalau benar… kabut retak bukan hal sepele."
Tetua Fan mengetuk meja batu dengan ujung jarinya. Pandangannya menembus Han Ye, lalu singgah ke Lu Ming.
"Lu Ming. Kau yang pimpin jalur lembah waktu itu. Kau jamin muridmu bersih dari celah ini?"
Lu Ming menatap Tetua Fan tajam. Bahunya naik turun, menahan kata.
"Yanzhi memang keras kepala. Tapi kalau dia buka jalur segel lagi, dia sendiri yang mati duluan. Aku kenal muridku, Tetua Fan."
Wei Ren mendesah pelan, suaranya menempel di belakang Lu Ming.
"Tapi kalau dia main-main dengan sisa retakan, siapa yang tanggung jawab kalau makhluk penjaga keluar lagi? Sekte Tianhan bisa hancur karena satu murid."
Han Ye mendesis pendek, menatap tajam ke Wei Ren.
"Kalau kau khawatir, kau turun sendiri pasang segel, Wei Ren. Jangan hanya jadi mulut busuk di aula."
Wei Ren hanya tersenyum, menunduk, tapi matanya menatap Han Ye penuh ejekan.
Tetua Fan berdiri pelan, suara jubahnya menyeret lantai batu. Matanya menatap dua orang itu bergantian.
"Cukup. Kalau retakan di lembah bergerak lagi, jalur segel harus diperiksa ulang.
Lu Ming, siapkan beberapa murid inti. Han Ye… kau tetap awasi Yanzhi. Kalau dia melangkah setapak keluar Paviliun, bawa dia ke hadapanku."
Han Ye membalas tatapan Tetua Fan, napasnya berat.
"Kalau retakan bergerak lagi… bukan dia yang buka."
Lu Ming hanya menepuk lengan Han Ye pelan, seolah menenangkan.
......................
Kabut dingin merayap di sela-sela batu hitam yang membentuk jalur segel kuno. Cahaya kehijauan samar muncul di retakan terdalam. Penjaga jalur malam berdiri gemetar di ujung teras batu, obor di tangan hampir padam.
Suara retakan kecil, bagai gigi batu beradu, merambat ke permukaan. Tanah di bawah kaki mereka bergetar tipis, lalu senyap lagi, tapi segel di batu berpendar sebentar, seolah menghela napas.
Obor di tangan murid penjaga bergetar hebat, cahayanya menari liar di wajah pucatnya.
"Kau dengar itu? Suaranya… tidak wajar, kan?"
Murid penjaga lain hanya mengangguk, napasnya memburu. Mereka saling bertukar tatap, lalu salah satu berlari naik jalur bebatuan, lampu obor di tangannya bergetar, menabur serpihan api kecil di udara malam.
Tak butuh lama, kabar sampai ke Wei Ren di barak penjaga. Ia berdiri di lorong, mendengar laporan murid penjaga jalur dengan mata setengah sipit, menahan senyum tipis yang merayap ke sudut bibir.
Wei Ren (lirih, nada licik)
"Retakan bergerak sendiri? Hah… atau ada yang bantu dorong dari dalam?"
Ia berjalan cepat ke aula Tetua Fan, jubahnya menyeret debu dingin. Di depan ruangan Tetua Fan, ia setengah membungkuk, tapi suaranya sengaja keras.
"Tetua Fan! Penjaga jalur mendengar retakan. Jalur altar terbuka pelan… dan saya berani bilang, itu bukan jalur alamiah, tapi pasti ditarik dari dalam. Yanzhi…"
Tatapan Tetua Fan terangkat tajam, menembus wajah Wei Ren. Tangannya mengetuk meja batu, suaranya datar tapi menakutkan.
"Kau yakin?"
Wei Ren menurunkan kepala sedikit, senyum licin merayap di sudut bibirnya.
"Saya dengar kabar dari murid penjaga… kabut spiritual di jalur naik turun tak wajar. Kalau bukan sisa segel di tubuh Yanzhi, lalu apa lagi?"
Tetua Fan berdiri perlahan, bayangan tubuhnya menutup lampu gantung di langit aula.
"Kalau benar dia bermain-main dengan kunci… besok pagi seret dia ke depan altar."
Wei Ren menahan senyum di balik tunduknya. Retakan di lembah benar-benar hidup, rumor sudah dilempar, umpannya menunggu Yanzhi jatuh sendiri.
......................
Di Paviliun Dalam, malam basah menetes dari genteng tua. Han Ye duduk bersandar di kusen pintu, matanya setengah terpejam, pura-pura tertidur. Di depannya, tirai bambu menutup pandangan ke ruang dalam.
Tapi di sela hembusan angin, Han Ye mencium bau aneh, sisa hawa spiritual hangus, samar seperti abu dupa. Aliran hawa panas menembus celah pintu, menggigit hidungnya.
Pelan-pelan, Han Ye membuka mata, kepalanya miring mendengar suara napas dari dalam. Napas Yanzhi tak stabil, seperti menahan getaran di dada. Han Ye menahan napas, merunduk sedikit, menyingkap celah tirai.
Di baliknya, Yanzhi duduk bersila di tikar bambu, tubuhnya menggigil kecil. Ujung jarinya menekan lengan, tepat di urat nadi, hawa panas samar keluar, membentuk aura tipis yang berpendar di kulitnya.
Han Ye (gumam, pelan):
"Kau sembunyikan apa lagi…"
Han Ye menjejak pelan ke dalam. Lantai kayu berderit. Yanzhi terkejut, bahunya naik, matanya terbuka separuh. Roh di kepalanya langsung mendesis, suara licin menempel di belakang telinga.
"Jangan biarkan dia lihat segelmu."
Han Ye mendekat, matanya tajam.
"Tunjukkan lenganmu, Yanzhi."
Yanzhi menahan napas, jemarinya mengepal di ujung jubah. Ia menggeleng, suaranya serak menahan panas.
"Kau mau lihat apa? Aku hanya duduk."
Han Ye mendesis pelan, langkahnya mendekat lagi.
"Jangan bodoh. Buka bajumu. Aku lihat jalur apa yang kau mainkan."
Roh terkekeh, membisik lebih tajam.
"Bagus. Lawan. Pakai kata-kata manis, giring dia mundur. Biar dia pikir kau patuh."
Yanzhi menarik napas pendek, bahunya sedikit gemetar menahan panas yang merambat sampai ke dada. Matanya menatap Han Ye lurus-lurus, basah oleh keringat, tapi sinarnya keras.
"Kalau memang mau lihat, silakan. Mau buka bajuku? Buka saja. Kalau perlu, belah saja dadaku. Puas, kan?"
Han Ye tertegun sesaat, rahangnya menegang. Ia menatap Yanzhi lebih dekat, melihat betapa urat di leher dan pelipisnya menegang menahan hawa panas.
"Kau pikir ini lucu? Kalau kau main-main dengan pecahan segel… sekali saja salah, kau mati dan semua orang di sekte ini ikut terkubur."
Yanzhi tertawa pendek, kering, hampir seperti mengejek dirinya sendiri. Jemarinya mencengkeram lengan bajunya makin kuat.
"Jangan pura-pura peduli, Han Ye! Kau jaga aku karena perintah, kalau aku mati, kau yang diseret ke aula! Itu saja, kan?"
Han Ye mendekat lebih rapat, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Sorot matanya menusuk, tapi di balik itu ada riak cemas yang tak bisa disembunyikan.
"Kalau aku cuma mau aman, aku sudah biarkan kau hancur dari kemarin."
Yanzhi membalas tatapan itu. Suaranya turun, tapi bibirnya masih keras, menahan gemetar.
"Kalau kau mau jagain aku, ya jagain. Kalau mau habisi aku, lakukan sekarang."
Roh di kepala Yanzhi terkekeh, bisikannya bagai duri merambat di belakang telinga.
"Bagus. Pertahankan… biar dia makin bingung."
Han Ye menghela napas kasar, satu tangannya terangkat seolah mau merobek lengan Yanzhi paksa, tapi tangannya berhenti di udara. Ia menatap ke arah pintu, menahan emosi yang menekan dadanya.
Suara napas mereka beradu di ruang sempit itu. Sisa panas dari pecahan segel di tubuh Yanzhi menguap tipis, menempel di telapak tangan Han Ye yang masih tergantung di dekat bahu Yanzhi.
"Selalu keras kepala… Kau pikir aku senang menjaga orang sepertimu?"
Yanzhi hanya balas menatap, matanya merah di sudut, tapi bibirnya tetap menahan senyum getir, seolah dia siap menantang Han Ye lagi.
Han Ye mendengus pendek, lalu memalingkan wajahnya. Tangannya menepuk bahu Yanzhi, bukan dengan marah, tapi seperti menekan, menahan gejolak di dada sendiri.
"Sudahlah. Tarik napasmu. Jangan main api kalau kau tak siap terbakar."
Ia mundur dua langkah, punggungnya membentur tiang bambu di dekat pintu. Matanya tak lepas dari Yanzhi tapi kali ini bukan tatapan penjaga, melainkan tatapan seseorang yang diam-diam takut kehilangan.
Yanzhi memalingkan muka ke lentera yang nyaris padam. Bahunya turun perlahan, suara Roh masih berbisik, menempel di belakang tengkuknya, tapi napasnya lebih ringan.
"Lucu, ya? Dia bisa habisi kau kapan saja… tapi dia tetap pilih mundur. Pegang dia baik-baik."
Han Ye merapikan pedangnya, lalu membuka pintu setengah. Angin gunung menusuk masuk, memadamkan sisa panas di ruangan.
Tanpa menoleh, ia berkata datar,
"Kalau kau mau mati, pastikan bukan di depanku."
Pintu bambu menutup pelan di belakangnya.
Yanzhi tetap duduk di tikar bambu, dada naik turun. Di bawah kulitnya, pecahan segel berdenyut sekali, lebih keras dari sebelumnya.
...****************...