Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15 -- sandiwara?
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar, hangat namun lembut, menyoroti sosok Aruna yang sudah bangun lebih dahulu. Ia duduk di tepi kasur, matanya tak lepas dari tubuh Leo yang tertidur di ranjang, sosok pria yang sejak pertama kali ia lihat membuatnya bingung antara kagum dan penasaran. Bahu lebar, dada bidang yang terlihat meskipun hanya dibalut kaus tipis—semua membuat Aruna menelan ludah tanpa sadar.
“Astaga… orang koma kok… bisa… kok bisa segini…” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sambil tetap menatap tubuh pria itu. Tangannya, tanpa sadar, menyentuh selimut tipis yang menutupi sebagian tubuh Leo, seakan ingin memastikan bahwa yang dilihatnya nyata.
Ia mengerjapkan mata berulang kali. “Ini… nggak mungkin… nggak masuk akal… tapi… wow…” gumamnya sambil menahan napas. Pikiran Aruna melayang, membandingkan dengan Andrian.
“Hmm… kalau dibandingin sama Andrian… beda banget…” Aruna menatap wajah Leo, matanya berbinar-binar.
“Leo ini… hampir sempurna deh… ya ampun… gapapa koma juga nggak masalah… yang penting punya suami ganteng!” gumamnya sambil terkikik kecil, menepuk dada sendiri dengan bangga, seolah baru saja memenangkan lotere kehidupan.
Rasa kagum dan lucu bercampur. Ia memiringkan kepala, menatap tangan yang nyaris menempel pada perut Leo, dan terkikik lagi.
“Eh… ini… aku cuma… meneliti aja… serius… cuma meneliti…” gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri. Wajahnya memerah, jantungnya berdebar, tapi sisi cerewetnya tetap muncul, seperti ingin berbicara sendiri agar tidak meledak dalam rasa kagum yang aneh ini.
Aruna bergeser sedikit lebih dekat, mengamati bahu dan otot-otot halus yang terlihat dari kaus tipisnya. “Astaga… serius deh… orang koma biasanya kayak gini nggak ya? Kok… wow banget… ini nggak masuk akal…” gumamnya lagi. Ia tertawa kecil sambil menutupi wajahnya dengan tangan, setengah malu, setengah geli.
Tiba-tiba, ketukan keras di pintu memecah konsentrasi Aruna.
“Tok… tok… tok!”
Aruna langsung terperanjat, tubuhnya menegang. Tangannya refleks menempel di dada Leo, dan wajahnya berubah menjadi merah padam. Keringat dingin muncul di pelipisnya, dan ia menyengir kuda sambil hampir menjerit dalam hati.
“Oh… tidak… oh tidak… ketahuan… padahal aku nggak melakukan apa-apa… ehhh…” gumamnya panik, langkahnya seperti kaku, setengah ingin lari, setengah ingin sembunyi di balik selimut.
Dengan refleks, ia bergegas membuka pintu, dan betapa terkejutnya ketika melihat asisten keluarga Adikara berdiri di depan, rapi seperti biasanya, wajahnya serius tapi sopan.
“Selamat pagi, Nyonya Aruna. Sarapan sudah siap, silakan bersiap untuk menuruni tangga,” kata arman dengan nada formal tapi hangat, seakan tidak menghiraukan kepanikan Aruna.
Aruna menelan ludah, pipinya semakin memerah, dan ia hanya bisa mengangguk cepat sambil tersenyum canggung. “Ah… iya… iya… sebentar… aku… aku datang segera,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Ia menutup pintu, menghela napas panjang, dan menatap kembali ke kasur.
Tubuh Leo yang bugar tetap tertidur dengan tenang, seakan tidak tahu bahwa ia baru saja membuat Aruna panik setengah mati. Aruna menggigit bibirnya, mencoba menenangkan jantungnya, tapi pikirannya tetap kacau.
“Serius… orang koma kayak gini… nggak masuk akal deh… tapi aku bangga banget… punya suami ganteng… walaupun terbaring koma hahahaha…” gumamnya, sambil terkikik geli.
Ia berjalan menuju ruang makan dengan langkah tergesa tapi lucu, menahan rasa malu. padahal tak ada seorang pun yang tau. defenisi waras setengah gila.
Setiap langkahnya disertai gumaman kecil, mengomentari tubuh Leo dan wajah tampannya, seolah tidak percaya dengan keberuntungan yang baru saja ia dapatkan.
Di meja makan, aroma sarapan hangat menyambutnya. Aruna duduk, menghela napas, dan mulai menyuap roti dengan tangan sedikit gemetar. Ia tak bisa berhenti membandingkan Leo dengan Andrian.
“Dulu… Andrian… hah… nggak ada apa-apanya dibanding Leo… serius… hampir sempurna… ehhh… aku nggak sabar pengen tau besok-besok apa lagi kelebihannya…” gumamnya sambil terkikik kecil, pipinya masih merah.
Asisten keluarga Adikara menatap sebentar, tersenyum tipis, lalu menunduk hormat untuk mempersilakan Aruna duduk. Aruna hanya tersenyum kikuk, menatap piring, tapi pikirannya tetap mengawang-awang. Ia mencoba mengatur napas, tapi setiap kali bayangan tubuh Leo yang bugar muncul di pikirannya, ia menahan tawa kecil.
Sambil makan, Aruna mulai merenung. “Astaga… pagi-pagi aku bisa panik setengah mati cuma gara-gara duduk di dekat orang yang… wow banget… tapi… ya ampun, gapapa deh… yang penting punya suami ganteng… huhuhu…” gumamnya, lalu menepuk pipi sendiri, terkikik malu tapi senang.
Setelah beberapa menit, ia menuntaskan sarapannya, masih dalam keadaan setengah terengah, setengah tertawa sendiri. Aruna menatap ke arah kamar lagi, memastikan semuanya masih aman, dan dalam hati bergumam, “Pagi ini pasti bakal jadi salah satu pagi paling absurd dan lucu dalam hidupku… tapi aku senang banget…”
Ketika ia bangkit untuk membereskan piringnya, Aruna berjalan pelan sambil terkikik sendiri. Ia menyadari satu hal: setiap gerakan Leo, sekecil apa pun, selalu berhasil membuatnya kagum, heran, dan malu sekaligus. Ia tak bisa berhenti tersenyum, menatap ke arah kamar, dan membayangkan bagaimana hari ini akan berjalan.
Langkah Aruna menuju ruang kerja kecil di dekat kamar terasa lucu dan tergesa. Ia menepuk dadanya sekali lagi, sambil bergumam, “Oke… fokus… jangan terlalu mikirin… ehh… tapi tubuhnya… astaga… hampir sempurna… huhuhu…” Tawa kecilnya berulang-ulang, campur aduk dengan rasa malu yang masih tersisa.
Di balik semua kegilaan pagi ini, satu hal pasti: Aruna merasa sangat beruntung, bangga, dan… sedikit geli karena tubuh Leo yang bugar dan tampan itu—tanpa sadar membuatnya terkikik sepanjang perjalanan menuju sarapan.
“Wahhh… ini sarapannya… kayak pesta makanan favorit aku! Ma, pa… serius deh, kalian ini nggak usah terlalu baik sama aku, nanti aku jadi manja lagi!” serunya, langsung menunjuk roti panggang, telur orak-arik, dan jus jeruk yang berjejer rapi.
ny. Adikara terkekeh, matanya berbinar-binar hangat. “Selamat pagi, Nak! Tidurmu nyenyak, kan? Lihatmu sudah semangat sekali pagi ini.”
Aruna menepuk dadanya dramatis. “Eh,nyenyak sih… tapi ada satu hal… kalian tau nggak, aku harus bangun dari mimpi terindah ku…" setelah selesai menunjukkan akting buruk nya, Ia terkikik sambil menepuk meja beberapa kali, matanya masih berbinar penuh rasa kagum.
Papa Adikara mengangguk sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap untukmu, Nak. Semoga kau suka. Tapi jangan terlalu cepat, makan pelan-pelan ya.”
Mama Adikara menepuk tangan kecilnya sambil tertawa. “Nak Aruna memang cerewet, tapi senangnya… kau ceria banget pagi ini. Baguslah, energi positifmu menular.”
Aruna menatap Mama mertua dan Papa mertua nya dengan mata berbinar, lalu menunduk sambil terkikik. “Eh, tunggu, tunggu… sebelum kalian mulai pujian macam-macam, aku harus bilang… ini sarapan terlalu enak, jadi aku wajib komentar habis-habisan. Lihat deh, telur ini… orak-ariknya sempurna! Roti ini… hmm… lembut banget, kayak awan!”
tuan Adikara terkekeh. “Kau memang bawel, Nak… tapi kita senang kau menghargai usaha kita.”
Aruna menggeleng dramatis. “Bawel? Aku? Hahaha… aku cuma komentar karena aku peduli sama kualitas sarapan aku, kan masuk akal!” Ia menatap telur orak-arik dengan serius, lalu tersenyum nakal.
Mama Adikara terkekeh lagi. “Nak Aruna, kau memang… lucu sekali. Tapi jangan terlalu kencang tertawanya, nanti tetangga dengar.” canda ny.adikara,padahal realitanya mana mungkin terdengar tetangga,sedangkan mereka saja tak punya tetangga sama sekali.
Sarapan berjalan sambil Aruna tetap cerewet, mengoceh tentang makanan, tentang aroma jus jeruk, sampai membandingkan semuanya dengan sarapan yang pernah ia makan di restoran bahkan di kantin perusahaan. Ia tak bisa menahan pikirannya yang sesekali melayang ke pagi absurd sebelumnya—tubuh Leo yang bugar, hampir sempurna, membuat pipinya terus memerah dan matanya berbinar kagum.
“Dulu… Andrian… hah… nggak ada apa-apanya dibanding Leo… serius deh… hampir sempurna… ehhh… aku nggak sabar pengen tau besok-besok apa lagi kelebihannya… tapi jangan bilang-bilang sama siapa-siapa ya… aku malu sendiri kalau ketahuan cerewet begini…” batin nya sambil terkikik kecil. bayang-bayang tubuh itu,sungguh aruna benar-benar merasa diri nya sudah seperti tante-tante cabul.
Papa Adikara menepuk meja sambil tersenyum tipis. “Hahaha… kau memang bawel, tapi kita senang melihatmu ceria.” ucap tuan Adikara,
Aruna menepuk dadanya dramatis. “Mama, aku percaya deh… kalau aku gak cerewet, hidup mama mertua,papa mertua,ibu sama ayah gak bakal nggak seru!.. kan?” tanya aruna,lalu di balas anggukan dari ke-dua nya sambil tersenyum lucu dengan tingkah aruna,benat-benar pembawa energi positif.
Setelah beberapa menit, Aruna menuntaskan sarapannya, tetap terkikik kecil, pipinya merah dan matanya berbinar penuh semangat. Ia bangkit dari kursi, menatap ke arah kamar, dan berkata lantang:
“Oke… aku berangkat dulu ya, Ma, Paa! aku izin ke kantor ayah yah soalnya asisten aku dari kemarin udah nelfon kata nya banyak berkas udah numpuk” ucap aruna,
"ya sudah nak,hati-hati di jalan.." ny.adikara mengikuti langkah aruna mengantarkan menantu satu-satunya di depan pintu.
Begitu mobil Aruna meninggalkan halaman, suasana di ruang makan berubah. ny.adikara dan tuan Adikara saling pandang, senyum tipis masih tersungging di wajah mereka, tapi ada kilau misteri di mata mereka.
tuan Adikara menatap ke arah jalan. “tapi sampai kapan anak itu akan berpura-pura terus,seperti nya proyek menggendong cucu di tunda lagii?” tanyanya dengan suara rendah
ny.Adikara tersenyum misterius. “Hanya waktu yang akan menjawab, sayang… tapi yang jelas, dia punya alasan kuat. Anak itu lebih cerdas daripada yang orang kira.”
tuan Adikara menarik napas panjang. “Semoga rencana kita berjalan lancar. Kita lihat saja sampai kapan dia mampu mempertahankan sandiwara ini.”