NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:864
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15: Calon isteri ku

Setelah semuanya selesai, Nayara duduk di ruang tamu dengan tenang, matanya sesekali melirik ke arah pintu kamar mandi. Dia menunggu Zevian yang masih sibuk menelpon seseorang dengan suara yang serius tapi terkontrol. Keduanya berniat untuk segera kembali ke Jakarta, meskipun hati Nayara masih penuh keraguan tentang keputusan ini.

Namun, dalam keheningan itu, ia berusaha memaksa dirinya untuk percaya, mencoba membuka hati untuk kemungkinan baru. Mungkin saja, kali ini Zevian benar-benar tulus dengan apa yang dia katakan selama ini. Jika Zevian bisa berhasil meyakinkannya bahwa tidak semua pria itu sama, mungkin Nayara bisa mencintai pria itu lebih dari apapun yang pernah ia miliki.

“Maaf membuatmu menunggu lama, dan terima kasih untuk bajunya,” suara Zevian tiba-tiba terdengar dari belakang, membuyarkan lamunan Nayara. Dia melangkah mendekat dengan santai, memakai celana pendek yang sederhana dan kaos polos berwarna putih.

Meski penampilannya sederhana, ada sesuatu yang membuat Nayara terdiam. Tubuh kekarnya yang proporsional dan bahu lebar itu membuat kaos oblong itu tampak seperti dibuat khusus untuknya. Sorot matanya yang dalam dan senyumnya yang tipis menambah pesona pria itu, membuat Nayara merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Dia tak bisa menahan senyum kecil, tapi di balik itu, ada ketegangan dan harapan yang bercampur aduk di dadanya. Apakah keputusan ini akan membawa kebahagiaan? Ataukah hanya sebuah awal dari kerumitan baru?

“Iya, tidak masalah,” ujar Nayara sambil bangkit dari tempat duduknya. Dia terlihat sedikit repot membawa paperbag berisi barang-barang Nya. Sebelum pergi ke Bogor, memang dia sengaja meminta Razka untuk mengantarkan Nya terlebih dahulu ke apartemennya, supaya bisa mengambil beberapa barang yang mungkin dibutuhkan selama di sana. Namun, siapa sangka, setelah sehari bersembunyi dari Zevian, pria itu malah datang dengan sendirinya. Yang lebih parah, Zevian menagih janji balas budi. Menurut Nayara, itu bukan hal yang berlebihan jika hanya sekadar membalas budi.

“Kita akan makan di jalan kalau kamu lapar. Kalau tidak, ayo pergi sekarang, nanti kita bisa terjebak macet,” ujar Zevian sambil menatap Nayara dengan nada sedikit mendesak.

“Iya, tunggu sebentar,” jawab Nayara, lalu berjalan ke arah dapur untuk mencari Bi Sri. Tak lama, dia keluar lagi dengan Bi Sri yang berjalan pelan di belakangnya.

“Nanti tolong rapihkan kamar papa dan Mama, ya. Jangan lupa ganti semua seprai yang sudah dipakai,” pesan Nayara dengan suara lembut, diikuti anggukan patuh dari Bi Sri.

“Baik, Non. Oh iya, Non, mau pulang sekarang?” tanya Bi Sri penuh perhatian.

“Iya, ada urusan mendadak di Jakarta. Kalau ada kendala apa pun di sini, tolong hubungi aku atau Papa, ya. Jaga villa ini, jangan sampai terlihat tidak terawat,” Nayara mewanti-wanti dengan nada serius. Bi Sri mengangguk pelan, matanya penuh pengertian. Dia tahu betul, bosnya itu memang jarang datang ke sini, dan kalau sekali datang, hanya beberapa hari saja tinggal di villa. Padahal, saat Maria masih ada, wanita itu sering sekali berkunjung ke tempat ini.

“Non, hati-hati di jalan,” ucap Bi Sri sambil tersenyum ramah. Nayara hanya mengangguk mengiyakan ucapan Bi Sri, lalu mengambil ponsel dan beberapa barang dari paperbag. Dengan langkah mantap, dia bersiap untuk pergi.

“Ayo,” ujarnya sambil menatap Zevian yang hanya diam menanggapi. Mereka keluar dari vila beriringan. Zevian lalu melangkah menuju mobil sport mewahnya dan mulai menyalakan mesin dengan suara halus yang menggelegar. Nayara membuka pintu belakang mobil itu, tapi Zevian langsung menyahut.

“Duduk di depan,” ucapnya singkat, membuat Nayara terdiam sejenak, menatap pria itu dengan mata sedikit bertanya.

“Aku hanya ingin menaruh barangku,” jawab Nayara lirih, lalu meletakkan paperbag-nya di kursi belakang sebelum menutup pintu dengan perlahan.

Kemudian dia membuka pintu depan dan duduk dengan tenang di samping Zevian. Pria itu hanya tersenyum tipis, matanya menatap sekilas wanita cantik di sampingnya. Jika diperhatikan, penampilan mereka berdua tampak serasi—keduanya mengenakan pakaian santai, tapi tetap memancarkan kesan elegan. Lucunya, kaos polos yang mereka pakai sama-sama berwarna putih begitu juga denga rok dan celana Nya yang berwarna hitam, meski itu sama sekali bukan hasil rencana.

Mobil Zevian mulai melaju keluar dari kompleks vila, memasuki jalan raya dengan kecepatan sedang. Sesekali, ia melirik ke arah Nayara yang sibuk dengan ponselnya, wajahnya fokus namun sesekali terlihat letih.

"Tuan," ujar Nayara pelan, suaranya cukup untuk menembus kesunyian di dalam mobil. Zevian yang sedang fokus mengemudi hanya menoleh sekilas, alisnya terangkat sedikit.

"Iya?" jawabnya tenang, sorot matanya kembali pada jalanan yang membentang di depan mereka.

"Apa yang Tuan katakan tadi?" tanya Nayara lagi, nadanya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Zevian mengernyit, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Tangannya tetap mantap menggenggam kemudi, sementara matanya sesekali memindai lalu lintas yang padat.

"Yang mana?" tanyanya sambil tetap menjaga fokus pada jalan di hadapannya.

"Yang menggunakan bahasa asing itu," ujar Nayara, kini menatap ke luar jendela, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya yang semakin mengusik hati. Zevian tersenyum tipis, seolah menyimpan rahasia yang belum waktunya untuk dibuka.

"Ah... itu. Bukan apa-apa. Suatu hari nanti kamu pasti akan tahu," ujarnya, tenang namun penuh makna. Nayara menggigit bibir bawahnya pelan, ragu sejenak sebelum akhirnya kembali bertanya, suaranya terdengar lebih hati-hati.

"Tuan, maaf jika ini terdengar lancang... tapi, siapa wanita yang akan Tuan nikahi?" Tanya nya yang mana pertanyaan itu membuat Zevian menoleh sekilas, kali ini dengan ekspresi yang lebih dalam, seolah sedang menimbang sesuatu di dalam benaknya.

"Bukankah saya sudah bilang... jika itu dirimu?" jawabnya lirih namun tegas, nada suaranya datar, seolah pernyataan itu adalah sebuah fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Nayara terdiam, jantungnya berdebar, tapi wajahnya berusaha tetap tenang.

"Bukankah Tuan akan menikah dalam waktu dekat...? Aku belum menyetujui hal itu," ujarnya pelan, menatap lurus ke depan, mencoba menyembunyikan kebingungan yang mulai merayap di hatinya. Zevian tersenyum tipis, tanpa menoleh, hanya berkata pelan namun yakin,

"Kamu pasti setuju... sebelum hari itu tiba." Ujar nya yakin.

Dan setelah itu, hanya kesunyian yang tersisa, menggantung di antara mereka. Nayara terdiam, matanya menatap kosong pada jalanan yang terus melaju, pikirannya tenggelam dalam teka-teki bernama Zevian Steel.

Sepanjang perjalanan pulang, hanya terdengar alunan musik yang mengisi keheningan di dalam mobil. Tak ada satu pun kata yang diucapkan, seolah keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lampu-lampu jalanan yang berkelip-kelip di luar jendela menambah suasana tenang namun sedikit berat. Perjalanan selama tiga jam dari Bogor menuju Jakarta akhirnya membawa mereka sampai di ibu kota, tepat saat jam menunjukkan pukul 20.00 malam.

Kini, tekad Zevian telah bulat. Dia siap mengenalkan Nayara pada kedua orang tuanya. Ada banyak alasan yang sebelumnya membuat Zevian begitu enggan untuk menikah. Masalah dan trauma masa lalu bersama mantan kekasihnya masih membekas dalam hatinya, meninggalkan rasa benci dan ketakutan yang sulit dihapus.

Namun, sejak pertama kali bertemu Nayara, semua perasaan negatif itu seperti sirna begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Nayara yang berbeda—ketulusan dan sikap terus-terangnya yang tak bertele-tele. Berbeda dengan wanita kebanyakan yang seringkali bertingkah berlebihan dan manja, Nayara justru menghadirkan ketenangan yang membuat Zevian merasa nyaman dan tak ingin melepasnya pergi.

Tak terasa, waktu tiga jam akhirnya berlalu. Zevian dan Nayara sampai di kediaman mewah keluarga Steel. Rumah megah dua lantai itu berdiri kokoh di tengah gelapnya malam, memancarkan aura kebesaran yang sulit diabaikan. Begitu memasuki area rumah tersebut, mobil Zevian langsung disambut oleh pagar tinggi yang menjulang. Pagar itu dilengkapi sensor canggih yang secara otomatis membuka saat mobil anggota keluarga datang, dan sebaliknya menutup rapat jika ada kendaraan asing yang mencoba masuk. Bahkan, gerakan mencurigakan atau gesture tubuh dari siapa pun yang berdiri di depan pagar pun akan terdeteksi dan memicu sistem keamanan yang ketat.

Setelah mobil melewati gerbang, mereka harus melaju sekitar tiga menit untuk sampai ke teras utama rumah. Jika melaju dengan kecepatan normal, waktu tempuhnya tiga menit; dengan kecepatan penuh hanya satu menit; dan jika berjalan kaki bisa memakan waktu hingga tujuh menit. Sepanjang jalan menuju teras utama itu, kedua sisi kanan dan kiri dipenuhi oleh pohon-pohon bonsai yang tertata rapi, memberi kesan tenang sekaligus megah yang membuat siapa saja yang melewati jalan itu merasa takjub.

Akhirnya, mobil Zevian sampai di halaman teras rumah yang luas. Mobil itu disambut dengan gemericik air mancur besar setinggi sekitar satu setengah meter yang berdiri anggun di tengah halaman, menambah kemewahan suasana.

Zevian menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum mencabut kunci mobil. Dengan hati-hati, dia membuka pintu dan menggendong Nayara yang sudah tertidur pulas sejak perjalanan tadi. Kasihan rasanya jika harus membangunkan wanita itu. Perlahan, Zevian menaiki anak tangga satu per satu hingga sampai di teras rumah. Meski ini adalah rumah orang tuanya sendiri, langkahnya terasa berat dan sedikit ragu. Sejak pertengkaran terakhir dengan kedua orang tuanya beberapa hari lalu, dia belum pernah kembali ke sini—kecuali hari ini, bersama wanita pilihan hatinya.

Begitu melangkah masuk ke ruangan utama, kemegahan rumah keluarga Steel benar-benar terpampang nyata. Ruangan luas dengan ornamen mewah, lampu kristal yang berkilauan, dan dekorasi elegan yang susah digambarkan dengan kata-kata. Semua itu membuat Zevian merasa seolah berada di dunia yang berbeda—dunia yang selama ini penuh dengan tekanan dan harapan besar dari keluarganya.

Hal pertama yang Zevian lihat saat melangkah masuk ke ruang tamu adalah sosok Indira, ibunya, yang sedang menyandarkan kepalanya dengan lembut di bahu Vincenzo, sang ayah. Wajah Indira tampak letih namun penuh ketenangan dalam pelukan itu, seolah mencari kekuatan dari pria yang masih sibuk menatap layar laptop di pangkuannya. Vincenzo tampak fokus dengan pekerjaannya, tak terganggu oleh sikap manja sang istri, namun dari sorot matanya yang sesekali menatap ke arah Indira, terlihat bahwa hatinya tetap memperhatikan dan peduli.

Zevian melangkah perlahan mendekati kedua orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Di balik ketenangannya, ada rasa gelisah yang sulit ia sembunyikan. Mereka sebenarnya sedang marah padanya karena sikapnya yang terus menolak pernikahan. Namun, kali ini mungkin keadaan berbeda. Kehadiran Nayara di sisinya bisa jadi menjadi kunci untuk melunakkan hati kedua orang tuanya, yang selama ini sangat menginginkan Zevian segera menikah dan melanjutkan garis keturunan keluarga.

Awalnya, Zevian berniat membawa Nayara ke penthouse miliknya. Namun, setelah mempertimbangkan segala hal, ia akhirnya memilih untuk membawanya ke kediaman orang tuanya. Bagaimanapun juga, orang tuanya terus mendesak agar ia menikah dalam waktu dekat. Jadi, tak ada salahnya memperkenalkan wanita pilihannya pada mereka terlebih dahulu. Lagipula, Zevian yakin mereka tidak akan keberatan. Bagi orang tuanya, yang paling penting adalah kehadiran seorang cucu yang akan meneruskan nama besar keluarga Steel.

“Mom, Dad,” panggil Zevian pelan, suaranya bergetar tipis, menahan harap sekaligus gugup. Ia tak terlalu berharap kedua orang tuanya akan merespons, takut mereka masih menahan amarah atau enggan mendengar ucapannya.

Namun kenyataannya, Dira dan Vince sama-sama menoleh ke arahnya. Dira bahkan melepaskan genggaman ponselnya yang tadi dipegangnya, entah karena terkejut atau perasaan lain yang sulit diungkap.

Dengan hati-hati, Zevian membaringkan tubuh kecil Nayara yang masih terlelap di sofa panjang di sebelah Vince dan Dira. Napas Nayara yang tenang membuat Zevian merasa sedikit damai di tengah ketegangan ini. Ia lalu duduk di kursi lain, menatap kedua orang tuanya, menunggu respons yang akan mereka berikan.

“Siapa dia?” tanya Dira, suaranya sedikit bergetar dan penuh rasa ingin tahu yang terselubung keraguan. Zevian awalnya hanya diam, menahan beratnya momen itu. Tapi Dira kembali bertanya dengan nada yang sedikit lebih tegas.

"Ze, siapa dia?” Ulang Dira ketika Zevian masih belum merespons, Vince ikut angkat bicara dengan suara dalam dan tenang

“Zevian.” Tanya Vince menatap sekilas pada wanita yang terbaring di sofa itu. Zevian menatap Nayara yang masih tertidur pulas, wajahnya damai tanpa sedikit pun terganggu oleh perbincangan di sekitarnya. Lalu, ia mengalihkan pandangan ke kedua orang tuanya, mengumpulkan keberanian, dan berkata dengan mantap

“Dia calon istriku.” Ujar zevian yang membuat Dira melirik sang suami, seolah mencoba menanyakan dalam diam melalui sorot matanya, apakah putra mereka sedang bercanda atau serius.

“Ze... jangan bercanda,” ujar Dira, nadanya mengandung kekhawatiran dan sedikit keraguan, menatap putranya yang tampak begitu tenang dan yakin.

“Aku tidak bercanda, Mom. Aku akan menikahinya,” balas Zevian sambil melirik ke arah Nayara yang masih terlelap, wajahnya penuh keteguhan dan harapan.

“Siapa dia?” tanya Dira dengan suara yang sedikit meninggi, matanya menatap tajam ke arah Zevian. Wajahnya memancarkan keheranan dan sedikit ketegangan, seolah sulit menerima keberadaan wanita itu dalam hidup putranya. Zevian menghela napas pelan, mencoba tetap tenang.

“Nayara, putri tunggal keluarga Harrison,” jawabnya dengan ekspresi santai, seolah menyampaikan fakta biasa, tanpa beban. Dira mendekat sedikit, matanya membelalak dan bibirnya mengatup pelan seperti berusaha menahan kata-kata.

“Sungguh?” tanyanya dengan nada tidak percaya, tatapannya penuh pertanyaan dan sedikit kekhawatiran. Zevian menatap ibunya, matanya sedikit redup tapi mantap, lalu mengangguk pelan.

“Mom ingin aku menikah, jadi baiklah, aku akan menikah,” ucapnya dengan nada suara berat, campuran antara menyerah dan keikhlasan.

Dira melangkah perlahan mendekati Nayara yang masih terlelap di sofa panjang. Wajahnya menampilkan campuran antara rasa ingin tahu dan kelembutan, tangan kanan meraih bahu Nayara dengan lembut.

“Dia kenapa?” tanyanya penuh perhatian, suaranya menurun menjadi bisikan seolah takut membangunkan. Zevian menatap sang ibu dengan mata penuh keyakinan.

“Kami baru saja pulang dari Bogor. Aku sengaja membawanya untuk kalian kenal,” jawabnya dengan suara tenang, tapi ada sedikit kegelisahan yang coba disembunyikan di balik kalimat itu. Dira mengernyit, tatapannya tajam saat dia menanyakan lagi.

“Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Kenapa kamu hanya diam?” Namun Vince hanya duduk diam, matanya mengamati situasi dengan serius, tanpa sepatah kata pun. Zevian menelan ludah, mencoba menguatkan suara.

“Satu bulan lalu, kami belum siap untuk bercerita,” jawabnya dengan jelas, meski hatinya sedikit berdebar karena itu kebohongan kecil. Dira menatap Zevian seolah berusaha mencari kejujuran di balik kata-katanya, kemudian dengan nada agak keras ia berkata.

“Jadi kamu sudah punya kekasih, bahkan saat kita berdebat hari itu?” tanyanya, membuat Zevian mengangkat bahu pelan. Matanya menatap lurus ke depan, nada suaranya mengandung kelelahan dan sedikit frustrasi.

"Aku bilang aku belum siap menikah, bukan berarti aku tidak mau. Tapi karena sudah terlanjur, dia setuju menikah denganku, dan aku tidak masalah,” ujarnya sambil menarik napas panjang, seakan melepaskan beban yang selama ini tertahan di dadanya. Matanya sedikit redup, menunjukkan pergulatan batin yang belum sepenuhnya usai.

"Are you really not lying to me, Ze? (Kamu benar-benar tidak berbohong pada Mommy, Ze?)" ucap Dira dengan suara lembut namun penuh harap. Ia melangkah mendekat dan merangkul putranya erat. Matanya berkaca-kaca, memperlihatkan perasaan haru sekaligus khawatir. Zevian membalas pelukan sang ibu, merasakan kehangatan yang menenangkan.

"Yes, Mom, I mean every word I said. (Ya, Mom, aku sungguh serius dengan ucapanku.)" jawab Zevian dengan suara tegas namun tenang. Meski ia jujur akan menikahi Nayara, ada hal lain yang harus ia sembunyikan. Ada beban lain yang ia tanggung di balik ketegasannya.

Dahulu, Zevian pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah menyukai wanita manapun setelah pengkhianatan mantan kekasihnya yang meninggalkan luka dalam. Namun, ketika bertemu dengan Nayara, ada sesuatu yang berbeda. Hatinya pun mulai percaya bahwa Nayara bukan hanya calon istri, tapi juga teman hidup yang akan selalu ada untuknya. Seolah-olah Tuhan memang mengirimkan Nayara sebagai anugerah dalam hidupnya.

"Daddy sudah berharap kamu mengatakan ini sejak lama, son. Akhirnya daddy dengar sendiri kalimat itu dari mulutmu," ucap Vincenzo dengan senyum hangat yang memenuhi wajahnya. Ia memeluk putranya erat-erat, menunjukkan rasa bangga dan kasih sayang yang dalam. Meski Vincenzo tidak pernah menuntut banyak hal dari Zevian, untuk pernikahan ini, mungkin ia harus sedikit memberi tekanan. Karena jika Zevian menolak menikah, reputasi keluarga akan ikut taruhannya.

"Ini baru putraku... Bangkitlah, Ze. Wanita ular itu tak pantas untukmu. Kamu terlalu baik untuk seorang wanita seperti dia. Daddy yakin kau bisa membuat wanita ular itu menyesal selama-lamanya. Jangan lemah. Jadilah pria yang pintar dan bijaksana, mengerti?" ucap sang ayah dengan suara penuh harapan dan tegas, menatap putranya dengan tatapan yang memancarkan kekuatan sekaligus kepercayaan.

Seluruh keluarga Steel sama sekali tidak menyukai mantan kekasih Zevian karena sikapnya yang tidak sopan dan kurang beretika. Hal itu menjadi alasan kuat bagi Dira maupun Vincenzo untuk menolak keberadaan wanita tersebut dalam kehidupan putra mereka. Namun demi menjaga ketenangan hati Zevian, keduanya memilih diam dan menyimpan kebencian itu dalam-dalam.

Akhirnya, semua kebusukan hati sang mantan yang selama ini selalu dibela oleh Zevian terbongkar karena kebodohannya sendiri. Kebohongan demi kebohongan yang selama ini tersembunyi akhirnya terkuak, menghancurkan semua kepercayaan yang pernah Zevian berikan. Sejak hari itulah, kemarahan Zevian meledak, dan ia bersumpah untuk menutup hatinya dari wanita manapun.

"Ya, aku mengerti, Dad. Mulai hari ini, aku akan menjadi laki-laki yang kuat dan bijaksana," ucapnya dengan suara mantap, menatap sang ayah dengan penuh keyakinan.

"That my son," ujar Vincenzo sambil menepuk lembut pundak Zevian, ekspresinya penuh kebanggaan.

Dira yang sejak tadi mendengarkan percakapan antara suami dan putranya, tersenyum manis. Ada haru dan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia merasa bangga melihat Zevian yang akhirnya bisa berdiri tegak menghadapi kenyataan tanpa lagi dibutakan oleh cinta masa lalu.

Tak lama setelah itu, pandangan Dira beralih pada Nayara yang tengah terbaring di sofa. Gadis itu tampak tenang, meski wajahnya masih sedikit pucat. Dira melangkah pelan menuju bagian belakang rumah, lalu memanggil seorang pelayan. Dengan suara lembut namun tegas, ia memberikan instruksi untuk menyiapkan sebuah kamar terpisah bagi calon menantunya tersebut.

Beberapa menit kemudian, Dira kembali ke ruang tamu dengan langkah anggun, ditemani seorang wanita paruh baya yang berjalan lebih dulu dengan tenang. Wajah wanita itu tampak ramah namun berwibawa, menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pelayan biasa. Di belakang mereka, seorang pelayan lain berjalan sambil menunduk sopan, langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Dira berhenti sejenak di tengah ruangan, lalu menoleh pada putranya.

“Mom senang kamu memilih wanita yang tepat, walaupun Mom tidak sepenuhnya yakin dengan semua ini, Ze,” ucap Dira pelan namun penuh makna. Suaranya terdengar sedikit bergetar, menyiratkan campuran perasaan antara keraguan dan harapan. Matanya menatap Zevian sekilas, seolah ingin memastikan bahwa keputusan itu benar-benar datang dari hatinya. “Semoga kalian bahagia untuk selama-lamanya,” lanjutnya, mengembuskan napas panjang yang nyaris terdengar seperti pelepasan dari beban kekhawatiran.

Kemudian, Dira mengalihkan pandangannya kepada wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya—ketua pelayan kepercayaannya.

“Rani, siapkan kamar untuk menantuku. Dan ya, bereskan kamar Zevian, dia akan tidur di sini malam ini,” ucapnya tegas namun tetap dengan nada lembut yang khas seorang ibu rumah tangga penuh wibawa.

“Baiklah, Nyonya,” jawab Rani sopan sambil sedikit membungkukkan badan, lalu berlalu pergi dengan langkah sigap, meninggalkan Dira dan keluarganya.

Sambil menunggu kamar Zevian dan Nayara disiapkan, suasana ruang tamu terasa hangat. Vince, Dira, dan Zevian duduk santai di sofa, terlibat dalam percakapan ringan. Tawa kecil dan senyum tipis menghiasi wajah mereka, sesekali terdengar gumaman akrab di antara topik obrolan. Sementara itu, Nayara masih terbaring di sofa lain dengan posisi yang tidak berubah sejak tadi. Wajahnya tampak damai, tertidur pulas seolah tubuh dan pikirannya benar-benar kelelahan, tak terganggu oleh suara percakapan di sekelilingnya.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah oleh suara teriakan nyaring dari arah pintu.

“DADDY!!” Suara itu menggema, mengejutkan seluruh penghuni ruangan. Zevian, Dira, dan Vince serempak menoleh dengan wajah kaget.

Seorang wanita muda masuk dengan langkah cepat, nyaris berlari. Ia memiliki rambut cokelat tua bergelombang yang dibiarkan terurai, tubuhnya tinggi semampai, dan gaya busananya menunjukkan selera fashion kelas atas. Di kedua tangannya, ia menenteng banyak paper bag dari brand-brand ternama. Tanpa ragu, ia langsung menghambur ke arah sang ayah dan memeluknya erat seperti anak kecil yang baru pulang dari petualangan panjang.

“Jangan berisik, dia sedang tidur,” tegur Dira pelan sambil melirik Nayara, yang tampak sedikit terusik, meski tidak sepenuhnya terbangun.

Gadis cantik itu tak lain adalah Valentina Clarissa Steel, adik perempuan Zevian. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, Valen telah memiliki pesona alami yang mencuri perhatian—tubuhnya semampai, rambut cokelat tuanya terurai lembut dengan kilau yang memantul dari cahaya lampu kristal di langit-langit ruang tamu. Senyumnya lebar dan penuh semangat, menyiratkan aura muda yang bebas, seperti gadis dari sampul majalah fashion ternama.

Dia baru saja kembali dari Strasbourg, Prancis, tempatnya menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di Eropa. Kedatangannya malam itu bukan karena liburan biasa, melainkan karena masa libur semester yang mempertemukannya kembali dengan rumah dan keluarga.

Saat Valen masuk, derap langkah hak sepatunya menggema di lantai marmer. Tangannya penuh dengan paper bag dari butik ternama, mungkin oleh-oleh dari Paris atau belanjaan dadakan yang tak sempat ia urai. Tanpa ragu, ia langsung menghambur ke pelukan sang ayah.

"I miss you, Daddy," ucap Vallen lembut sambil mengecup pipi sang ayah dengan penuh kasih sayang. Vince membalas pelukan putri bungsunya dengan erat, lalu membalas kecupan di pipinya sambil tersenyum penuh kehangatan.

"Kenapa pulang diam diam?. Daddy bisa jemput kapan pun kamu mau," ujar Vince dengan tatapan lembut penuh perhatian pada Vallen. Ia paham betul bagaimana keras kepalanya, sifat yang tampaknya menurun dari dirinya sendiri. Sudah lama putrinya menempuh pendidikan jauh dari rumah, dan setiap kesempatan pulang selalu sulit didapat.

"Surprise! Kalian rindu padaku kan? Aku pulang karena dengar kakakku akan menikah," sahut Vallen dengan nada manja, senyum lebarnya mengembang di wajahnya yang bercahaya.

"Tentu saja, kamu betah sekali di sana sampai seperti tidak pernah merindukan kami," balas Dira dengan nada sedikit kecewa, matanya menatap Vallen penuh rindu sekaligus cemas. Ia berharap putrinya tak terlalu larut dengan kesibukan di luar sana.

"Bukan tidak rindu, Mom. Aku sudah ingin pulang sejak kemarin, tapi Rocky memintaku tetap di sana, jadi aku tidak bisa," jawab Vallen pelan sambil menunduk sejenak, menunjukkan beban yang ia bawa.

"Oh ya? Kenapa Rocky tidak mau kamu tinggalkan?" tanya Dira penasaran, ingin tahu lebih dalam.

"Bukannya dia tidak mau, tapi lebih tepatnya kami masih saling membutuhkan. Aku membutuhkan dia, dan dia juga membutuhkan aku. Jadi, aku tidak mungkin pulang sebelum semuanya selesai dengan baik," ujar Vallen sambil beranjak duduk di antara Vince dan Dira, mencari kehangatan dan rasa aman di antara keluarganya.

"Oh begitu, bagaimana dengan kuliahmu di sana? Apa semua baik-baik saja?" tanya Dira lembut sambil mengusap kepala Vallen dengan penuh kasih sayang. Sentuhan itu membuat Vallen tersenyum hangat, merasa nyaman dengan perhatian ibunya.

"Ya, Mom, semuanya baik-baik saja, dan itu semua berkat doa dari kalian," jawab Vallen sambil mengecup pipi sang ibu dengan penuh rasa terima kasih. Matanya berbinar, menunjukkan betapa ia menghargai dukungan keluarganya. Lalu, matanya melirik ke arah seorang perempuan yang tertidur lelap di pangkuan sang kakak. Vallen menatap Zevian dengan ekspresi menggoda, seolah menyampaikan tantangan yang sudah biasa mereka lakukan. Mereka memang jarang akur saat bertemu, tapi kalau jauh, rindu itu datang menyusul.

"Oh, siapa ini? Cantik sekali," ucap Vallen dengan nada nyinyir namun jujur, matanya mengamati wanita di pangkuan kakaknya dengan penuh rasa penasaran dan sedikit cemburu terselubung.

"Apa urusannya denganmu?" balas Zevian dengan nada julid yang tidak kalah menyebalkan, alisnya berkerut menunjukkan rasa kesal.

"Tentu saja banyak! Selama ini kakakku ini mana mau membawa wanita di sampingnya, dan lihat sekarang dia membawa wanita cantik ini," kata Vallen dengan senyum nakal, membuat orang tua mereka terkekeh mendengar kenyataan itu.

"Terserah aku," jawab Zevian dengan nada kesal, matanya sekilas menatap Nayara yang masih terlelap tanpa terganggu oleh percakapan itu.

"Oh, kakakku tercinta, aku hanya bertanya siapa dia. Apakah dia wanita yang akan menjadi istrimu itu, atau mungkin kamu hanya akan menjadikannya istri kontrak?" tanya Vallen sambil menatap Zevian tanpa rasa takut, tantangan di matanya semakin terlihat jelas.

"Huuuuuuuhhhhhh!" desis Zevian kesal, sambil mengangkat tangan hendak mencubit Vallen. Namun usahanya gagal karena Vallen sigap bersembunyi di belakang sang ibu.

"Walaupun dia akan kujadikan istri kontrak, apa urusannya denganmu? Bukankah ini urusanku? Bocah kecil sepertimu tahu apa?!" jawab Zevian dengan nada pedas dan emosi yang mulai meninggi, frustrasi karena tak bisa menyentuh Vallen yang sudah terlindungi ibunya.

“Yah, sebenarnya aku merasa kasihan saja jika harus melihat seorang wanita menikah dengan beruang kutub sepertimu. Sayang sekali, wanita cantik seperti dia harus hidup denganmu yang sangat dingin itu, hahaha!” tawa Vallen menggelegar memenuhi ruang tamu rumah mewah itu, suaranya ceria namun penuh sindiran.

Zevian menatap nyalang adiknya dengan mata yang penuh amarah tersembunyi. Ia hendak bangkit berdiri untuk memberikan pelajaran kecil pada Vallen, tapi saat ia mulai bergerak, tiba-tiba ingat bahwa kepala Nayara masih ada di pangkuannya. Sesaat kemudian, hal yang tidak diinginkan pun terjadi — Nayara terbangun.

“Akh... ya ampun!” seru Dira spontan, matanya membesar karena kaget melihat Nayara terjatuh dari sofa dengan posisi yang kurang nyaman.

“Eummmmmhhhhhhh...” lenguh Nayara sambil bangun dan menggeliat pelan, tubuhnya masih terasa kaku. Ia duduk perlahan, menatap sekeliling dengan pandangan bingung.

Nayara belum mengenal siapa pun di ruangan itu, wajah-wajah asing yang tiba-tiba hadir di depan matanya. Sementara ketiga orang di sekitarnya sudah tahu persis siapa Nayara, karena Zevian sebelumnya sudah menceritakan bahwa ia adalah putri keluarga Harrison. Namun Nayara sendiri belum pernah mengenal keluarga Steel yang terpandang dan berpengaruh itu.

Melihat calon menantunya terbangun dan tampak kebingungan, Dira segera berpindah tempat duduk, menatap Nayara dengan lembut, lalu berkata...

“Sudahlah, kalian ini kenapa? Sudah dewasa masih saja ribut. Dan kamu, Vallen, jangan terus-menerus menggoda kakakmu... lihat, ini dia sampai terbangun,” ujar Dira dengan nada suara yang naik satu oktaf, tatapannya tegas namun penuh keibuan. Vallen mendengus, wajahnya memerah karena merasa disudutkan.

“Dia yang memulai, Mom! Kenapa Mommy menyalahkanku?” sahutnya tak terima, sambil melipat tangan di dada, ekspresinya kesal.

“Kamu yang memulai! Kenapa kamu mengataiku ‘beruang kutub’, hah?” balas Zevian tak mau kalah, nada suaranya ketus dan nada julidnya tak bisa disembunyikan. Vallen langsung menoleh ke arah Vince dan berkata dengan nada tinggi seperti anak kecil yang minta perlindungan.

“Daddy! Zevian snapped at me! (Daddy! Kak Zevian membentakku!)” ucapnya sambil berpindah duduk ke sisi Vince, bersandar manja di bahu sang ayah dengan bibir mengerucut kesal. Vince menarik napas panjang dan mengelus kepala putri bungsunya, berusaha meredam kekacauan kecil itu.

“Sudahlah itu. Kamu tidak malu pada dia?” katanya tenang, meskipun dalam hatinya geli sendiri melihat kelakuan anak-anaknya.

Sementara itu, Nayara hanya bisa diam di tempat, memandangi perdebatan keluarga Steel itu dengan tatapan canggung dan bingung. Ia tak tahu harus berkata apa atau bagaimana bersikap. Situasi ini sangat asing baginya—ia bahkan belum benar-benar mengenal siapa pun di ruangan itu.

Melihat raut wajah Nayara yang semakin bingung dan cemas, Dira bangkit dan menghampirinya. Ia menatap Zevian dengan ekspresi mengingatkan, lalu berkata.

“Sudahlah, Ze... lihat calon istrimu itu, kebingungan melihatmu bertengkar dengan adikmu. Cepatlah bawa dia ke kamar, mungkin dia masih mengantuk.” ujar nya yang membuat Nayara menatap Zevian dengan tatapan penuh tanya, seolah meminta penjelasan atas semua ini. Ia masih berusaha memproses semuanya—bahwa yang harusnya ia datangi adalah penthouse, bukan rumah besar yang sekarang jelas merupakan rumah keluarga Zevian.

“Calon istri?” gumam Nayara dengan suara pelan saat ia perlahan berdiri, meskipun tubuhnya sedikit terhuyung karena masih setengah sadar, kepalanya terasa berat baru saja bangun dari tidur yang tidak sempurna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!