Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Dunia seolah berhenti berputar. Ancaman BEM hanyalah pengalih perhatian. Musuh yang sebenarnya Serena, sang Antagonis Utama dan penjaga sistem telah melihatku, dan dia tahu ada yang salah.
Nama itu. Serena. Aku mengingat sekilas gambaran memori kabur Amara: tawa manis yang terasa palsu, pelukan hangat yang tidak pernah mencapai mata. Saudara angkat Amara, yang selama ini Kinara kira hanyalah sosok pendukung yang dibanggakan oleh orang tua angkat mereka.
Rendra berdiri begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma mahal pakaian formal BEM-nya. Raut tegangnya tidak seperti kemarahan politisi yang kalah, melainkan ketakutan seseorang yang baru menyadari adanya pergeseran gempa di bawah kakinya.
“Kamu tidak mengerti, Nasywa. Bukan BEM yang berbahaya,” bisik Rendra, pandangannya menyapu koridor yang kini kosong.
Kelas-kelas lain sudah usai, dan keheningan di luar ruang Sosiologi terasa menekan. “Bahayanya ada pada koneksi. Serena adalah Penjaga Data di SPU.”
“Penjaga Data? Apa itu?” tanyaku, mencoba menjaga nada bicaraku tetap datar, padahal di dalam, Kinara sedang menganalisis setiap detil ucapan Rendra. Persuasi Logis mulai bekerja, mengidentifikasi bahwa Rendra berbicara jujur, didorong oleh rasa takut yang otentik, bukan gertakan politik.
“SPU bukan hanya tentang mengelola nilai,” jelas Rendra.
“Itu adalah komite bayangan, dikelola oleh orang-orang terpilih, di atas administrasi.
Mereka yang menentukan kurva kelulusan, tingkat beasiswa, dan… sistem ranking. Mereka menyimpan semua informasi akademik mahasiswa dari nol hingga lulus. Mereka juga yang memutuskan siapa yang pantas ‘dibesarkan’ dan siapa yang ‘dibuang’ dari ekosistem kampus.”
“Jadi, sistem ini punya mata dan telinga, dan nama Serena adalah nama yang disebut oleh Mastermind kita,” simpulku, mengacu pada Mantan Dekan yang traumatis yang dibahas Pak Arka.
Rendra mengangguk berat. “Aku Ketua BEM. Aku punya akses ke hampir semua informasi, tapi SPU itu kotak hitam. Hanya mahasiswa tertentu yang diberi hak akses istimewa. Dan Serena—dia yang termuda dan yang paling dipercaya.”
Rendra tiba-tiba menyandarkan bahunya di dinding, ekspresi wajahnya berubah sedikit lebih personal, lebih manusiawi. Ini adalah sisi yang belum pernah kulihat dari Target 2, sang Ketua BEM yang arogan.
“Serena adalah representasi dari kesempurnaan sistem, Nasywa. IPK 4.0 mutlak, organisasi sempurna, sopan santun yang luar biasa. Dia adalah model yang diciptakan SPU untuk mahasiswa,” lanjutnya, menatapku yang saat ini berdiri sebagai antitesis sempurna Serena.
“Baginya, kamu—Amara Nasywa, debitur judi dengan IPK 0.9, tiba-tiba memaparkan kritik yang berbobot filsafat tinggi dan menantang otoritas… itu adalah anomali yang tidak bisa dimaafkan.”
Aku memahami ini secara filosofis. Serena, di mataku, bukan hanya musuh personal Amara; dia adalah arsitek fasad yang Kinara benci. Serena adalah produk dari sistem yang sama yang telah menghancurkan Kinara di kehidupan lamanya, sistem yang hanya memuji kepatuhan yang cantik.
“Kenapa kamu memberitahuku ini, Rendra? Bukankah kamu seharusnya melindunginya, sebagai bagian dari hierarki yang sama?” tantangku.
Rendra menyilangkan tangannya. “Tugas BEM adalah menjaga ketertiban, Nasywa. Tapi setelah mendengar seluruh presentasimu yang aku tonton dari siaran tertutup aku harus akui, kamu membuat argumen yang logis.
BEM, di mata Serena dan Mastermind, adalah garis pertahanan pertama yang harus dipertahankan. Jika BEM tidak mampu membungkammu, mereka akan datang sendiri.”
“Dan kamu takut dengan Serena,” tudingku.
“Aku tidak takut padamu, Amara. Aku takut pada kekuatan Serena di dalam sistem. Dia bisa menghilangkan jejakmu, atau membuatmu dikeluarkan tanpa jejak,” Rendra mengakui dengan gigi terkatup.
“Dia tidak bermain politik mahasiswa. Dia bermain politik eksistensial.”
Rendra mendekat, nadanya merayu sekaligus memperingatkan.
“Amara, jika kamu benar-benar pintar atau Kinara, atau siapa pun kamu hentikan ini. Hentikan kritikanmu. Masuk ke BEM. Aku bisa memberimu posisi penting.
Kita bisa mereformasi dari dalam. Aku butuh kecerdasanmu untuk menyeimbangkan orang-orang seperti Guntur. Itu adalah satu-satunya cara untuk selamat dari Serena dan mencapai perubahan.”
Itu adalah tawaran yang menarik, tawaran kekuasaan yang sesungguhnya. Jika Kinara menerima, dia akan menjadi sekutu politik Rendra (Target 2) dan mulai membongkar dari atas, langkah yang jauh lebih aman daripada konfrontasi langsung.
Aku menggeleng. “Tidak, Rendra. Itu adalah strategi Hegemoni yang sama yang dijelaskan Pak Arka. Kamu ingin aku masuk, lalu kamu ingin sistem melenyapkanku secara perlahan, menjinakkan argumenku sampai menjadi omong kosong yang sopan. Reformasi dari dalam? Itu berarti tunduk pada aturan permainan yang dirancang untuk membuangku sejak awal.”
“Jadi kamu memilih kehancuran diri?” tanyanya, suaranya naik satu oktaf karena frustrasi.
“Aku memilih kehancuran sistem,” jawabku mantap.
“Dan terima kasih atas peringatanmu, tapi aku tidak membutuhkan posisimu. Jika Serena ingin memburuku, aku akan mempersiapkan tempat terbaik di kampus untuk panggung kami. Aku tidak akan disingkirkan. Aku akan menyiarkan pertarungan kami.”
Aku merasakan adrenalin membakar tubuh Amara, campuran dari kelegaan (karena misi akademik selesai) dan kegembiraan strategis (karena musuh sesungguhnya muncul).
Rendra terdiam. Dia memandangku, dan di matanya, keraguan berganti dengan ketertarikan. Ini bukan lagi rivalitas kekuasaan, ini adalah pertarungan ideologi, dan aku baru saja menjajarkan diriku sebagai ekstremis yang berbahaya.
“Pak Arka akan dipanggil ke administrasi, kamu tahu itu?” Rendra mencoba menyerang celah terlemahku.
“Itu risiko yang Pak Arka sendiri terima. Dia adalah mentor sosiologi, dan sosiologi kritis memang dirancang untuk memprovokasi.
Sekarang, jika kamu ingin benar-benar berguna, Rendra, daripada membuang waktuku dengan tawaran yang tidak tulus ini, fokuskan energimu untuk melihat celah-celah SPU yang dikendalikan oleh Serena. Jika dia bermain di sana, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya, di luar nilai sempurna Amara.”
Rendra menyeringai kecil. Itu bukan senyum sarkastiknya yang biasa, melainkan pengakuan seorang lawan terhadap keunggulan strategis.
“Aku mulai mengerti mengapa kamu berhasil meraih nilai A dari Arka. Kamu berpikir seperti musuh,” kata Rendra, berbalik menjauh.
“Aku akan memberimu waktu. Tapi jangan anggap aku tidak melakukan apa-apa. BEM punya jaringan mata-mata. Aku akan mengawasimu, Nasywa. Demi ketertiban, tentu saja.”
“Lakukan,” balasku. “Aku menyambutnya.”
Rendra menghilang menuruni tangga. Aku berdiri sendirian, merasakan bayangan Serena kini membentang melampaui pintu ruang kuliah. Target 2, Rendra, kini berada dalam fase 'keragu-raguan' yang berbahaya, tidak sepenuhnya sekutu, tetapi juga bukan lagi musuh frontal.
Kembali ke kontrakan sewa, suasana hati Kinara berubah dari euforia kemenangan menjadi fokus yang tegang. Serena, si 'Penjaga Data Kelas S', Antagonis Utama Amara. Ini lebih dari sekadar persaingan IPK; ini adalah inti dari mengapa Amara 'dibuang'.
Aku duduk di meja kecil, membuka diary Amara yang pernah kutemukan (Bab 7). Sebelum ini, Kinara hanya fokus pada utang dan nilai. Sekarang, Kinara membaca ulang semua keluhan Amara, semua catatan rasa sakit yang dideritanya.
Ada beberapa halaman yang ditujukan untuk Serena. Catatan itu dipenuhi campuran kekaguman dan kecemburuan yang merusak.
“Serena selalu sempurna. Orang tua bangga padanya. Dia bahkan tidak berusaha keras, tapi dia selalu unggul. Dia tahu cara bicara yang benar, cara berpakaian yang benar, cara menghancurkanku tanpa menyentuhku.
Dia melihatku jatuh dan dia hanya tersenyum. Aku harus kabur dari rumah, kalau tidak aku akan gila melihatnya setiap hari. Dia… dia malaikat iblis.”
Jadi, bukan hanya sistem yang merusak Amara. Serena adalah agen manusia dari sistem itu, yang bekerja di tingkat personal untuk memastikan Amara dihancurkan. Logika Mastermind (membuang yang lemah) bertemu dengan kecemburuan personal (Serena) untuk menciptakan ‘Antagonis Terbuang’.
Misi Seri 1 telah selesai. Kinara telah membersihkan nama akademik dan utang, membuktikan bahwa Kinara bisa sukses di tubuh Amara. Tapi Misi Seri 2, seperti yang ditunjukkan oleh Rendra, akan fokus pada ‘Pemberontakan Senyap’ melawan struktur elit kampus—struktur yang dipimpin oleh Serena.
Aku membuka Sistem Koreksi.
[Misi Seri 1 telah mencapai kesimpulan 100%. Kredit Pembersihan Nama Akademik: TERCAPAI. Utang Terbayar: 20%. Status Targets: T1 (Arka) – Sekutu Intelektual; T2 (Rendra) – Antagonis Politik (Potensial Sekutu).]
Aku menatap ke jendela. Tugas pertama Kinara kini harus bergeser dari buku Sosiologi Kritis menuju dinamika kekuasaan BEM dan SPU.
[KINARA! Anda telah mencapai titik strategis untuk Misi Seri 2: PEMBERONTAKAN SENYAP. Fokus Anda selanjutnya adalah: Menarik Target 2 (Rendra) ke sisi reformasi, dan membongkar Jaringan Perundungan Kampus, yang kemungkinan dioperasikan oleh SPU di bawah arahan Serena.]
[Status Darurat: Serena, Penjaga Data SPU, telah mengidentifikasi keberadaan Kinara. Risiko Eliminasi Diri Meningkat.]
[Membuka Kunci Randomizer Skill Baru untuk Seri 2: Diperlukan untuk bertahan dalam konflik organisasi dan politik.]
Sekali lagi, gelombang energi itu menyentuhku, lebih cepat dan lebih dingin dari sebelumnya. Ini bukan hanya insight persuasif, ini adalah peningkatan pemrosesan data sosial secara total.
[RANDOMIZER SKILL BARU: Deteksi Pola Sosial]
[Deskripsi: Skill ini memungkinkan Anda untuk secara instan memvisualisasikan jaringan informal di antara individu (Siapa yang merundung siapa? Siapa yang berutang budi kepada siapa? Struktur kekuatan non-formal). Skill ini berfungsi seperti peta sosiometrik, sangat berguna dalam membongkar struktur perundungan dan faksi elit yang tersembunyi.]
Sempurna. Pak Arka memberiku kerangka filsafat; Sistem memberiku perangkat mata-mata. Dengan Deteksi Pola Sosial, aku bisa melihat persis bagaimana Serena mengoperasikan jejaringnya di balik tirai BEM yang dikontrol Rendra.
Aku mengaktifkan Deteksi Pola Sosial secara coba-coba. Ruangan kontrakan itu tiba-tiba terisi oleh jaring-jaring cahaya tipis. Itu tidak menampilkan data nyata karena aku sendirian, tetapi otak Kinara memproses bagaimana jaringan itu akan terlihat jika diterapkan pada sebuah ruangan penuh orang.
Jika BEM menindas mahasiswa, pasti ada korban, dan pasti ada pelaku. Serena akan melindungi para pelaku itu karena mereka menjaga sistem rankingnya tetap bersih.
Target 2 (Rendra) baru saja mencoba merekrutku ke dalam hegemoni. Target 1 (Pak Arka) memberiku panduan untuk membongkarnya. Kini, aku punya perangkat untuk melihat hegemoni itu secara visual.
Kinara berdiri, mengenakan jaketnya. Reformasi bukan lagi hanya tugas akademis. Ini adalah perburuan Antagonis, perburuan kebenaran di dalam jejaring sosial yang kotor.
Aku harus segera menemukan korban Serena yang paling dekat, untuk memvalidasi skill baruku.
Pikiranku melayang ke masa lalu, mencari mahasiswa mana yang belakangan ini ‘dibuang’ dari pergaulan atau dibungkam oleh BEM. Siapa korban terbaru dari mekanisme ‘pembuangan’ SPU?
Aku teringat akan sebuah gosip di koridor minggu lalu: Seorang mahasiswi tahun pertama di jurusan Desain Grafis, Nila, yang dituduh mencuri konsep logo BEM. Mahasiswi itu menghilang dari kampus sejak dituduh secara terbuka di depan umum oleh anggota BEM Guntur—si Drone yang tadi terekspos dalam presentasiku.
Kasus itu terlalu sepele, tetapi terlalu sempurna untuk dijadikan batu loncatan. Jika Guntur yang menuduh, dan Guntur adalah bawahan Rendra, dan Rendra diawasi Serena… maka Nila adalah benang merah yang Kinara butuhkan untuk memulai pembongkaran.
Membantu Nila bukan hanya misi kemanusiaan; itu adalah cara paling aman untuk menyerang SPU tanpa berkonfrontasi langsung dengan Serena.
Aku harus kembali ke kampus. Malam ini juga.
Aku keluar dari kontrakan. Malam itu, lampu kampus terlihat remang-remang, tetapi jaring-jaring kekuasaan yang tidak terlihat mulai berkedip-kedip dalam pandangan baruku.
Aku tiba di depan fakultas Desain, berharap bisa melacak Nila. Pintu utama sudah terkunci, tetapi ada celah kecil di sisi gudang belakang.
Kinara merangkak masuk, tidak peduli dengan lumpur di jaketnya. Sekarang aku berada di ruang belakang gedung, gelap dan pengap. Kinara berjalan menyusuri koridor kosong. Tiba-tiba, Deteksi Pola Sosial memicu dirinya sendiri.
Meskipun koridor itu kosong, mataku melihat jaring-jaring imajiner berpusat pada sebuah ruangan: Ruang Studio Tahun Pertama. Aku melihat benang merah emosional yang kuat—keterpurukan, ketakutan, dan yang paling mengejutkan, sebuah koneksi ke ruangan Ketua BEM, kantor Rendra.
Di belakang pintu studio yang setengah terbuka, terdengar suara isak tangis tertahan.
Aku mengintip. Di dalam, Nila, mahasiswi tahun pertama itu, sedang mengemasi barang-barangnya ke dalam kardus. Wajahnya bengkak karena menangis.
Nila bukan sekadar korban perundungan. Dia tampak seperti sedang melarikan diri.
“Siapa di sana?” Nila berbisik ketakutan, matanya yang merah tertuju padaku, sosok yang berdiri dalam bayangan.
“Amara Nasywa,” kataku pelan, melangkah maju. Cahaya lampu lorong yang redup menyorot wajahku. Aku tahu statusku akan membuatnya takut.
“Kak Amara?” Nila tampak terkejut, sekaligus ketakutan ganda. Mahasiswi Antagonis Terbuang berdiri di hadapannya.
“Aku dengar kau sedang dalam masalah, Nila,” kataku, mencoba memasukkan sedikit empati ke dalam nada Amara yang kasar.
“Mencuri logo BEM. Sebuah skandal yang disiarkan Guntur. Benar?”
Nila memeluk kardusnya erat-erat. “Aku… aku hanya ingin cepat selesai dan pergi. Aku sudah menandatangani surat pengunduran diri. Mereka mengancamku. Katanya, kalau aku tidak mundur, aku akan didenda dan dituduh pencurian data.”
“Siapa yang mengancammu? Guntur? Atau Rendra?” tanyaku, menggunakan Deteksi Pola Sosial untuk mencari simpul mana yang paling kuat di dalam dirinya.
“Bukan Rendra,” Nila menggeleng panik. “Seorang kakak senior yang datang bersamanya, namanya Serena. Dia sangat sopan, tapi matanya dingin. Dia bilang kalau aku tidak keluar, masa depanku akan hancur total karena dia punya akses ke seluruh dataku. Dia… dia seperti tahu semua kelemahanku.”
Bingo. Serena tidak membuang waktu. Serena menggunakan kasus perundungan sepele ini untuk menunjukkan kekuatan datanya. Dia adalah Antagonis Utama yang Kinara cari.
Aku mengambil langkah lebih dekat, tatapanku fokus. “Jangan mundur, Nila. Aku tidak peduli dengan logomu, tapi aku benci bagaimana mereka menggunakan ketakutanmu untuk membersihkan nama mereka sendiri.”
Nila hanya menatapku, penuh air mata. “Aku hanya ingin hidupku kembali, Kak Amara.”
“Maka kita harus menyerang balik. Kau akan menjadi misi pertamaku di Seri 2. Jangan khawatir,” kataku, menyeringai sedikit. “Antagonis Terbuang ini kini berada di pihakmu.”
Aku berbalik menuju pintu studio. Tepat ketika aku ingin menutup pintu, aku merasakan bayangan bergerak cepat dari ujung lorong. Seseorang sedang berlari, mengendap-endap.
Itu bukan Rendra. Itu bukan Pak Arka. Itu adalah langkah kaki yang tergesa-gesa, tersembunyi. SPU punya mata di mana-mana, dan Serena telah mengirim mata-mata untuk mengawasi Nila, atau mungkin, untuk mengawasiku.
Kinara langsung menarik Nila ke balik meja kerja terdekat, tubuh Amara kini sepenuhnya diaktifkan dalam mode siaga tinggi.
Siapa yang mengawasi? Apakah ini anggota BEM lain, atau antek Serena yang tidak aku kenal?
Bayangan itu bergerak semakin dekat. Jantungku berdebar kencang, memicu alarm di dalam Sistem Koreksi. Ini adalah konfrontasi fisik pertama Kinara dalam kegelapan.
[PERINGATAN! Pengejaran! Anda dideteksi oleh anggota SPU Junior (Karyawan Tingkat Rendah Serena).]
Pintu studio didorong terbuka dengan cepat. Aku bisa mendengar napas yang memburu dan lampu senter menyala. Aku memeluk Nila erat-erat di balik kegelapan. Konfrontasi tak terhindarkan. Kinara harus memilih: Kabur dengan Nila, atau mengalahkan mata-mata ini di tempatnya.
Senter itu mengarah lurus ke persembunyian kami, dan seorang pria bertubuh besar dengan seragam sekuriti kampus yang sudah dimodifikasi berteriak.
“Di mana kalian? Aku tahu ada orang di sini! Serahkan surat pengunduran diri itu sekarang juga!”
Serena sudah selangkah lebih maju. Dia mengirim paksaan fisik. Aku harus melindungi Nila, yang kini gemetar ketakutan di lenganku. Jika aku menggunakan kekerasan, citra Amara akan rusak lagi, dan Pak Arka akan kecewa.
Kinara mengambil keputusan. Aku melepaskan Nila, mendorongnya untuk diam di bawah meja, dan melangkah keluar dari kegelapan. Aku berdiri di bawah sorot senter itu.
“Aku yang di sini,” kataku, mengangkat tangan Amara. “Bukan dia. Cari aku. Dan ini akan jadi pertarungan politik, bukan fisik. Kau ingin membuatku gagal, SPU? Kau harus bekerja lebih keras dari ini.”
Mata-mata itu terkejut melihat Amara Nasywa. Sebelum dia sempat bereaksi, Kinara melayangkan tendangan lurus, tepat di pangkal lengannya yang memegang senter, membuatnya tersentak kesakitan dan menjatuhkan senter ke lantai, memecahkan cahaya di dalam kegelapan yang mendominasi ruangan.
Konflik fisik telah dimulai.