NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:785
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25 Ada Apa sebenarnya?

Kalimat terakhir Aldo,"sesi pemanasan", menggantung di udara, beracun dan mematikan. Pria di hadapanku ini bukan lagi suamiku. Ia adalah predator yang matanya telah mengunci mangsanya, menikmati setiap getar ketakutan yang kupancarkan.

“Mas… jangan…” bisikku, suara itu nyaris hilang ditelan oleh detak jantungku sendiri yang menggila. “Aku mohon, jangan lakukan ini…”

Aldo hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya yang dingin. “Mohon? Kamu pikir setelah lima tahun kebohongan, kata ‘mohon’ masih punya arti untukku, Aerra?”

“Aku nggak bohong! Aku hanya… aku butuh waktu!” Aku mencoba mencari alasan, apa pun, untuk mengulur detik-detik yang terasa seperti neraka ini.

“Waktu?” Ia tertawa kecil, tawa yang membuat bulu kudukku meremang. “Aku sudah memberimu banyak waktu. Berapa banyak lagi waktu yang kamu butuhkan? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Sampai aku tua dan tidak bisa memberimu apa-apa lagi?”

“Bukan begitu, Mas! Sumpah!” Aku menggelengkan kepala dengan panik, air mata mengaburkan pandanganku. “Ini bukan tentang itu!”

“Lalu tentang apa?” desaknya, tangannya terulur dan mencengkeram daguku, memaksa wajahku untuk menatapnya. “Tentang dia? Hantu yang selalu ada di antara kita? Jawab, Aerra!”

“Nggak ada siapa-siapa!” elakku, meski aku tahu suaraku terdengar lemah dan tidak meyakinkan.

Cengkeramannya mengerat. “Jangan berbohong lagi padaku!” geramnya rendah. “Aku mungkin tidak tahu namanya, tapi aku merasakan kehadirannya setiap hari. Di tatapanmu yang kosong. Di helaan napasmu saat kau pikir aku sudah tidur. Aku merasakannya!”

Aku hanya bisa menangis dalam diam, tidak mampu menyangkal kebenaran yang ia utarakan dengan begitu brutal. Tangannya yang lain mulai bergerak, menyusuri lenganku, membuatku gemetar hebat.

“Hentikan, Mas! Tolong hentikan!” Aku meronta, mencoba melepaskan diri darinya. Tapi tenagaku tidak sebanding dengan amarahnya. Tubuhku terasa begitu ringkih di hadapannya.

“Kenapa aku harus berhenti?” bisiknya tepat di telingaku, napasnya yang hangat terasa seperti bara api di kulitku. “Kamu istriku. Ini hakku. Sesuatu yang seharusnya sudah aku dapatkan sejak malam pertama kita.”

“Ini bukan hak! Ini pemaksaan!” seruku dengan sisa keberanian yang kumiliki. “Cinta dan tubuhku bukan sesuatu yang bisa kamu klaim hanya karena kamu memberiku kemewahan!”

Tamparan keras mendarat di pipiku. Tidak, itu bukan tamparan. Ia menggunakan punggung tangannya, sebuah gerakan yang lebih menghina daripada menyakitkan. Kepalaku tertoleh ke samping, rasa perih dan panas langsung menjalar di pipi.

“Jangan pernah bicara soal cinta padaku,” desisnya, suaranya lebih berbahaya dari sebelumnya. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang cinta. Kamu hanya tahu cara menipu dan bersembunyi di balik topeng istri yang patuh.”

Isak tangisku pecah. Rasa sakit di pipi tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku. Monster ini telah menghancurkan semua ilusi yang kubangun selama lima tahun. Aldo yang baik hati, yang sabar, yang penuh pengertian, semua itu lenyap.

“Kamu sendiri yang membuatku seperti ini,” lanjutnya, seolah membaca pikiranku. “Kamu yang membunuh Aldo yang dulu kau kenal. Jangan salahkan aku jika sekarang yang tersisa hanyalah pria yang lelah dibodohi.”

Ia menarikku dengan kasar, mendorong tubuhku ke arah tempat tidur. Aku tersandung dan jatuh ke atas kasur empuk yang kini terasa api neraka. Sebelum aku sempat bereaksi, ia sudah menindihku, mengunci kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku dengan satu tangannya.

“Aldo, jangan!” teriakku histeris, kakiku menendang-nendang tanpa arah, mencoba mendorongnya menjauh.

“Berhenti melawan, Aerra. Ini hanya akan jadi lebih sulit untukmu,” katanya dengan nada datar yang mengerikan.

“Aku lebih baik mati!”

“Oh, aku tidak akan membiarkanmu mati semudah itu,” jawabnya. “Kamu akan memberiku seorang anak. Kamu akan terikat padaku selamanya. Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku atau kembali pada hantumu itu.”

Wajahnya mendekat, aku memalingkan muka sekuat tenaga, air mata dan keringat membasahi rambutku. Aku merasakan kancing gaun tidurku ditarik paksa. Satu. Dua. Kain itu robek, meninggalkan suara yang memekakkan di tengah keheningan yang mencekam. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada yang bisa menolongku.

Aku memejamkan mata, berdoa dalam hati agar semua ini cepat berakhir. Aku pasrah.

Dan saat itulah, di tengah kekalahanku, sebuah suara nyaring memecah di dalam kamar.

Ponsel Aldo. Ponselnya yang tergeletak di atas meja berdering dengan nada dering bisnisnya yang formal dan dingin. Suara itu begitu jelas dengan situasi brutal yang sedang terjadi.

Untuk sesaat, Aldo mengabaikannya. Ia terus melanjutkan aksinya, seolah dering itu hanyalah gangguan kecil. Tapi ponsel itu terus berdering tanpa henti. Keras kepala. Menuntut.

“Sialan!” umpat Aldo, gerakannya terhenti. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap ke arah sumber suara. Wajahnya menunjukkan perang batin antara amarah dan instingnya sebagai seorang direktur yang selalu siaga.

Getaran di tubuhku sedikit mereda. Jeda singkat ini memberiku kesempatan untuk menghirup napas yang tadi terasa begitu mahal. Aku tidak berani bergerak, takut memancing amarahnya lagi.

Dering itu akhirnya berhenti, lalu mulai lagi. Seseorang di seberang sana benar-benar butuh bicara dengannya.

“Siapa yang berani menggangguku selarut ini?!” geramnya lebih pada diri sendiri. Dengan satu gerakan enggan, ia melepaskan cengkeramannya di tanganku untuk meraih ponselnya.

Aku menggunakan kesempatan itu. Tanpa berpikir, aku langsung berguling menjauh ke sisi lain tempat tidur, menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang gemetar dan gaun tidurku yang robek. Aku merayap mundur hingga punggungku menyentuh kepala ranjang, memeluk lututku erat-erat.

Aldo melirikku, tatapannya seolah berkata, ‘Ini belum selesai.’ Ia lalu melihat layar ponselnya. Ekspresi marahnya perlahan memudar, digantikan oleh kebingungan.

“Lika?” gumamnya pelan.

Jantungku serasa jatuh ke perut. Lika? Adikku? Kenapa Lika menelepon Aldo tengah malam begini? Kenapa bukan aku?

Tanpa ragu, Aldo menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya. Raut wajahnya berubah total dalam hitungan detik. “Ya, Lika? Ada apa malam-malam begini?”

Aku menahan napas, mencoba mendengar percakapan mereka, tetapi aku hanya bisa mendengar suara Aldo yang kini terdengar tenang dan terkendali. Jabatan direkturnya telah mengambil alih sepenuhnya.

“Apa?! Tenang, tenang dulu. Kamu di mana sekarang?” Aldo bangkit dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir di kamar sambil terus mendengarkan. “Rumah sakit? Rumah sakit mana?”

Rumah sakit? Ya Tuhan, ada apa dengan Lika?

“Oke, jangan panik. Tetap di sana. Jangan ke mana-mana. Mas ke sana sekarang juga.”

Panggilan ‘Mas’ itu terdengar begitu aneh. Ia menggunakannya dengan mudah pada adikku, seolah baru saja ia tidak berubah menjadi monster di hadapanku.

Ia menutup telepon, wajahnya tampak tegang dan serius. Ia menatapku, tapi tatapannya seolah menembusku. Pikirannya sudah ada di tempat lain. Pria yang tadi hendak memperkosaku sudah lenyap, digantikan oleh seorang kakak ipar yang khawatir.

“Aku harus pergi,” katanya singkat, nadanya kembali datar dan dingin. Ia berbalik, menyambar kunci mobil dan dompetnya dari atas laci.

“Ada apa, Mas? Lika kenapa?” tanyaku dengan suara serak, campuran antara rasa takut dan khawatir yang tulus pada adikku.

Aldo berhenti di ambang pintu, menoleh padaku. Tatapannya kembali tajam, seolah mengingat apa yang baru saja terjadi. “Bukan urusanmu.”

Setelah itu, ia berjalan keluar, meninggalkan pintu kamar terbuka. Aku bisa mendengar langkah kakinya yang cepat menuruni tangga, lalu suara pintu depan yang dibanting menutup. Beberapa detik kemudian, deru mesin mobilnya membelah keheningan malam sebelum akhirnya menghilang di kejauhan.

Aku tetap terpaku di posisiku. Sendirian di dalam kamar yang berantakan, dengan gaun tidur yang robek dan pipi yang masih terasa panas. Aku selamat untuk malam ini. Tapi pertanyaan yang lebih menakutkan kini muncul, menggantikan rasa takutku sebelumnya. Kenapa adikku menelepon suamiku di tengah malam dalam keadaan panik? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!