menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Lilia berlari ke kamarnya, dan membanting pintu dengan keras. Saat itu Aldebaran tahu ia telah melakukan kesalahan fatal sebagai seorang ayah. Tangan Aldebaran masih menggantung di udara, ia ingin menghentikan Lilia, namun Aldebaran tahu untuk saat ini ia tak bisa berbuat apa-apa.
"CIH! SIAL!!" teriak Aldebaran, ia mengacak rambutnya dengan frustasi. "Apa yang sudah aku lakukan?" Geramnya, penuh amarah yang lebih ia tunjukan pada dirinya.
"Aku... Aku benar-benar monster." Aldebaran mengeram Aldebaran, penuh kebencian lebih pada dirinya sendiri.
Pikirannya berputar liar, membawa gambaran Lilia—gadis kecil yang dulu selalu tersenyum cerah dan selalu menganggapnya sebagai pelindungnya kini memandangnya dengan mata kebencian dan takut yang tak bisa gadis itu ungkapkan dengan kata-kata. Jantungnya berdebar kencang seolah dadanya di hantam oleh palu godam rasa bersalah.
Aldebaran mencengkram rambutnya. "Ini bukan salahnya... Ini salahku. Aku yang seharusnya melindunginya, bukan... Bukan—" kata Aldebaran, penuh dengan rasa bersalah hingga ia tak mampu menyelesaikan kata-katanya.
Aldebaran memandangi tangannya yang sempat menyentuh tubuh Lilia—putri angkatnya dengan tak semestinya. Ia masih bisa merasakan daging lembut itu di ujung jarinya.
Aldebaran mengeratkan tinjunya sampai kukunya menghujam telapak tangannya. Rasa skit fisik itu tidak ada artinya di banding kegelapan yang merayap di hatinya. Ia membenci dirinya sendiri, tapi lebih dari itu, ia takut—takut Lilia akan menjauh, ia takut menghancurkan satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
Dan di tengah kegelisahannya, ada bisikan jahat yang mengusik pikirannya: "Tapi... Kau menginginkannya, bukan?" kata-kata itu terus merayap di kepalanya, ia tak menyangkal bahwa ia memang menginginkan Lilia lebih dari sekedar putrinya. Namun ia tahu itu tidak mungkin terjadi.
Aldebaran menggeleng keras, mencoba mengusir pikiran binatangnya. "TIDAK! Aku tidak mungkin mengingatkannya seperti ini." Teriakan Aldebaran tertahan di tenggorokannya.
Sementara itu di dalam kamar, tangan mungil Lilia gemetar memegangi ujung handuk yang menjadi satu-satunya tameng untuk tubuhnya yang kini terbuka, punggung mungilnya yang gemetar bersandar pada pintu kayu di belakangnya.
Aldebaran adalah sosok yang selalu ia percaya—satu-satunya orang yang memberinya rasa aman setelah ia kehilangan segalanya. Tapi sekarang... Sentuhannya berbeda. Bukan lagi belaian seorang ayah, tapi sesuatu yang asing.
Punggungnya menekan pintu kayu seolah takut Aldebaran akan membukanya paksa. tangannya gemetar memegangi ujung handuk, mencoba menutupi tubuhnya yang tiba-tiba terasa kotor.
air mata masih menetes di sudut matanya mengingat bagaimana Aldebaran—ayah angkatnya telah menyentuhnya lebih dari yang seharusnya.
"Apa yang salah? Apakah Lilia memberi Papa harapan yang salah?" pikirnya, mencoba menebak kesalahannya. Apa mungkin ini salahnya.
Pikiran tu menyiksanya. Lilia mencoba mengingat apakah ia terlalu dekat? Terlalu manja? Tapi tidak, ia hanya ingin membuat Aldebaran bahagia. Ia tidak mengira... Tidak pernah mengira bahwa Aldebaran akan memperlakukannya seperti itu. Pria itu menyentuh tubuhnya seolah ia sedang menyentuh seorang wanita dan bukan putrinya.
"Tidak... Tidak, tidak, tidak—"
Ia menekan kedua tangannya di mulut, menekan isak yang ingin meledak. Ia ingin lari, tapi ke mana? Ia tahu dunia luar itu lebih kejam. Aldebaran adalah segalanya baginya, tapi sekarang, segalanya itu retak.
Aldebaran yang sedari tadi masih berdiri di tangga kini melangkah dengan langkah gontai Aldebaran menaiki tangga, ia berjalan menuju kamar Lilia, ia berdiri di depan pintu kamar Lilia. Di depan pintu itu, Aldebaran berdiri kepalanya tertunduk dalam kekalahan.
Ia ingin mengetuk, ingin memohon maaf, tapi kata-kata itu macet di tenggorokannya. Apa gunanya? Bahkan andai Lilia memaafkannya, ia tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Apa yang harus aku katakan? Maaf? Apa itu cukup?" gumam Aldebaran, di depan pintu kamar Lilia yang tertutup. Ia tahu apa yang telah ia lakukan tidak bisa di maafkan lagi.
Di dalam kamar, Lilia menarik lututnya ke dada, berusaha menjadi sekecil mungkin. Ia ingin berharap ini adalah mimpi buruk—bahwa besok Aldebaran akan tersenyum lagi seperti biasa, dan semua ini adalah kesalahpahaman.
...~o0o~...
Aldebaran duduk di sofa di ruang tengah, kedua sikunya bertumpu pada lututnya, kepalanya tertunduk pandangannya jatuh kelantai. Ia masih tak bisa melupakan bagaimana cara Lilia memandangnya. Tamparan itu masih terasa panas di pipinya.
"Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya dalam hati.
Tak lama Lilia turun dari lantai dua, ia sudah mengenakan seragam sekolahnya. Aldebaran segera berdiri saat ia melihat Lilia.
"Lilia..." Panggilnya, Aldebaran ingin menghampiri Lilia, namun langkahnya tertahan. Aldebaran mematung menatap Lilia yang keluar dari apartemennya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mata gadis itu masih sembab karena menangis.
Aldebaran, hanya berdiri menatap punggung Lilia, sebelum gadis itu menutup pintu. Ia berangkat ke sekolah sendirian, dimana biasanya gadis itu akan meminta Aldebaran mengantarnya ke sekolah.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumamnya. "Aku sudah melakukan kesalahan besar..." Lanjutnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Rasa bersalah itu terus menghantuinya, bagaimana ia menyentuh tubuh mungil itu dan bagai mana Lilia menatapnya dengan mata penuh air mata. Aldebaran terus berusaha mengusir pikiran itu namun seolah telah menghantuinya.
Sementara itu di dalam sebuah bis angkutan umum. Lilia yang berangkat ke sekolah sendirian tampak duduk sendirian tubuh mungilnya membungkuk dan kepalanya menunduk dalam hingga rambut panjangnya menutupi wajah mungilnya. Tangan-tangannya yang kecil dan ramping memeluk erat tas sekolahnya.
Tanpa ia sadari dari tadi, seorang pemuda yang juga mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya berdiri di antara penumpang lainnya, penampilannya yang sedikit berantakan dengan beberapa tindikan di telinga, seragam yang terbuka memperlihatkan kaos hitam yang ia kenakan di dalamnya.
Pemuda itu menyipitkan matanya menatap Lilia yang sedang menunduk. Lalu mendekati gadis itu dan berdiri di depannya.
"Hei!" Panggil pemuda itu saat ia sudah berdiri di hadapan Lilia.
Dengan gerakan pelan Lilia mengangkat kepalanya menatap pemuda itu.
"Ternyata benar kau! Imut." Kata pemuda itu. Lilia menatap pemuda itu dengan mata yang masih sembab. "Tidak kusangka anak konglomerat sepertimu akan dengan senang hati naik bis umum." kata pemuda itu setengah mengejek. "Eh?! Ada apa denganmu, imut? Apa kau menangis?" Tanya heran, setelah melihat mata Lilia yang bengkak jelas ia habis menangis.
"Lilia tidak menangis kok." Jawab Lilia.
"Pembohong."
"...lalu senior sendiri? Kenapa naik bis umum? Biasanya juga kebut-kebutan di jalan."
"Eh?! itu..." jawabnya gugup, ia mengusap tengkuknya dengan gugup. "Itu... Em... Aku jatuh...ya... Mungkin begitu." Katanya gugup sambil tersenyum kaku.
"Jadi senior, kau kecelakaan?" tanya Lilia.
"Tidak, Eehh... Maksudku, iya." Katanya sambil mengalihkan pandangannya dengan buru-buru. "Ya, aku jatuh tapi, bukan kecelakaan serius." Katanya sambil berkacak pinggang seolah sok cool.
"Aku jatuh dengan gaya, seperti pahlawan di film action, membuat orang-orang di sana kagum saat aku jatuh dan berguling-guling di aspal berdebu dengan gaya." Katanya sambil melipat kedua tangannya di dadanya.
Lilia tersenyum kecil saat mendengar cerita Tommy yang dibuat dramatis.
Tommy adalah anak kelas tiga dan kakak kelas Lilia, mungkin penampilannya yang berantakan dan dia memang preman sekolah. Namun Tommy selalu baik pada Lilia. Meskipun Tommy terlihat kasar di luar tapi ia termasuk siswa yang baik.
Tommy juga di kenal sebagai preman sekolah yang di takuti karena ia sering bermasalah dan berkelahi dengan siswa lain. Meski begitu ia termasuk ke jajaran siswa yang berprestasi dan masuk kedalam ekskul berlari yang selalu memenangkan setiap pertandingan antar sekolah dan nasional dalam kejuaraan beladiri.
Tubuh tinggi dan atletisnya mendominasi dan wajah yang garang namun menawan dengan rambut yang di warnai dengan warna biru tua hampir hitam yang berantakan seperti sengaja di buat seperti itu, beberapa tindikan di telinga semakin memperkuat penampilannya sebagai preman sekolah.
Bersambung.....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️