Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Merayap di Lambung Iblis
Tengah malam tiba. Kota Terlarang tetap gelap, namun udara di sekitarnya terasa berdenyut oleh energi Yin yang dingin. Zilong, Xiao Bai, dan Jian Chen bergerak seperti tiga helai bayangan yang menyatu dengan dinding obsidian kota.
Mereka tidak melewati gerbang utama yang dijaga oleh patung raksasa. Alih-alih, mereka mengikuti saluran pembuangan udara yang terletak di sisi tebing terjal—sebuah celah sempit yang hanya diketahui oleh sedikit orang.
"Tahan napas kalian," bisik Xiao Bai. "Udara di dalam sini bercampur dengan gas pelumpuh saraf."
Xiao Bai mengeluarkan sebotol kecil cairan bening dari balik bajunya. Ia mengoleskan sedikit di bawah hidung Zilong dan Jian Chen. Aroma mint yang tajam segera menetralkan rasa mual yang mulai menyerang mereka.
Setelah merayap melalui lorong sempit selama hampir satu jam, mereka tiba di sebuah balkon besi yang menggantung tinggi di atas sebuah ruangan luas. Di bawah mereka, terlihat aktivitas yang mengerikan.
Ratusan tahanan dengan rantai di kaki mereka dipaksa menambal batu-batu kristal hitam. Di antara para penjaga yang mengenakan topeng perunggu, Zilong melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih.
Beberapa penjaga membawa cambuk yang ujungnya terbuat dari mata tombak yang dipatahkan—simbol penghinaan terhadap para pendekar tombak yang tertangkap.
"Lihat di sana!" Jian Chen menunjuk ke arah sudut ruangan yang lebih gelap. Ada sebuah sel isolasi yang dikelilingi oleh air raksa. "Itu pasti tempat mereka menahan pendekar tingkat tinggi. Penjagaannya tiga kali lebih ketat."
Zilong mengamati pola pergerakan penjaga. Setiap sepuluh menit, ada jeda selama lima detik saat tim patroli berbelok di tikungan lorong.
"Kita harus turun ke sana." ucap Zilong dengan suara yang nyaris tak terdengar "Jian Chen, kau tetap di sini sebagai pengawas. Jika ada tanda-tanda kami ketahuan, jatuhkan lampu minyak itu sebagai pengalih perhatian."
"Hati-hati, Zilong. Jika kau tertangkap di bawah sana, aku tidak akan bisa menarikmu keluar dengan cepat," peringat Jian Chen.
Zilong dan Xiao Bai melompat turun tanpa suara, mendarat dengan ujung kaki di balik pilar besar. Mereka bergerak merapat ke dinding, menghindari sorotan lampu kristal yang dipasang di langit-langit.
Tiba-tiba, seorang penjaga berhenti tepat di depan pilar tempat mereka bersembunyi. Penjaga itu tampak mencium sesuatu di udara—insting pemburu mereka sangat tajam.
Sret...
Tangan Zilong sudah berada di gagang tombaknya, siap untuk serangan mematikan yang sunyi. Namun, Xiao Bai lebih cepat. Ia menjentikkan jarinya ke arah berlawanan. Sebuah suara tikus kecil yang mencicit terdengar dari balik tumpukan kotak kayu.
Penjaga itu menoleh sejenak, lalu mendengus dan melanjutkan langkahnya. Zilong mengembuskan napas perlahan. Ketegangan ini lebih menguras energi daripada bertarung melawan seratus orang sekaligus.
Mereka berhasil mencapai sel isolasi di tengah genangan air raksa. Di dalam sel yang dingin dan lembap itu, seorang pria tua dengan rambut putih yang acak-acakkan duduk bersila. Kedua tangannya dipaku ke dinding dengan pasak logam yang mengalirkan energi penekan Qi.
Zilong mendekat ke jeruji besi. Matanya membelalak saat melihat tato naga kecil di punggung tangan pria tua itu.
"Paman... Paman Lin?" bisik Zilong, suaranya bergetar karena emosi.
Pria tua itu perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang kuyu mencoba memfokuskan pandangan pada sosok Zilong. "Z-Zilong? Anak dari Naga Langit? Tidak mungkin... pergilah! Ini jebakan!"
Tepat saat kata-kata itu keluar, suara tawa yang kering dan tajam bergema di seluruh ruangan bawah tanah.
Clap... Clap... Clap...
Lampu-lampu kristal di ruangan itu mendadak menyala terang benderang. Dari balik kegelapan lorong, muncul seorang pria dengan jubah merah darah dan topeng emas yang menutupi setengah wajahnya.
"Sangat mengesankan," ucap pria berjubah merah itu. "Aku sudah menunggu kedatangan naga kecil yang membawa bendera putih itu. Selamat datang di akhir perjalananmu, Zilong."
Zilong berdiri tegak, menghunus Tombak Naga Langitnya yang mulai bersinar biru terang. Kehati-hatian sudah tidak berguna lagi. Kini, hanya ada satu jalan: bertarung keluar dari neraka ini.
"Xiao Bai, bersiaplah!" ucap Zilong dingin. "Malam ini, Kota Terlarang akan melihat warna darah yang sebenarnya."