Sharmila, seorang wanita cantik, sedang bersiap untuk hari pernikahannya dengan Devan, bos perusahaan entertainment yang telah dipacarinya selama tiga tahun.
Namun, tiba-tiba Sharmila menerima serangkaian pesan foto dari Vivian, adik sepupunya. Foto kebersamaan Vivian dengan Devan. Hati Sharmila hancur menyadari pengkhianatan itu.
Di tengah kekalutan itu, Devan menghubungi Sharmila, meminta pernikahan diundur keesokan harinya.
Dengan tegas meskipun hatinya hancur, Sharmila membatalkan pernikahan dan mengakhiri hubungan mereka.
Tak ingin Vivian merasa menang, dan untuk menjaga kesehatan kakeknya, Sharmila mencari seorang pria untuk menjadi pengantin pengganti.
Lantas, bagaimana perjalanan pernikahan mereka selanjutnya? Apakah pernikahan karena kesepakatan itu akan berakhir bahagia? Ataukah justru sebaliknya?
Ikuti kisah selengkapnya dalam
KETIKA MUSUH MENJADI PENGANTIN PENGGANTI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Kedatangan ayah Vivian.
.
Selesai sudah pesta pernikahan yang meriah, saatnya kembali ke rutinitas sehari-hari. Hari masih pagi ketika Sharmila duduk sendirian di ruang tengah rumah mewahnya. Masih di rumah sendiri, karena dia menolak ajakan Zayden untuk tinggal di istana pria itu.
Wanita yang tengah bersantai menyandarkan punggung di sofa empuk. Ditemani secangkir teh hangat yang telah disiapkan oleh pelayan, jemarinya dengan lincah menggulir layar ponsel, memeriksa grafik saham perusahaan yang melonjak drastis usai dirinya resmi menjadi istri zayden..
Baru saja hendak menyesap tehnya, Sharmila mengangkat wajahnya, alisnya sedikit terangkat mendengar bel pintu depan berdering nyaring. Karena tidak ada pelayan di sekitarnya, Sharmila beranjak dari sofa untuk membuka pintu.
"Wah, Paman David, kejutan sekali melihat Paman datang ke sini," sapa Sharmila saat melihat siapa yang datang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, namun matanya tak memancarkan kehangatan.
"Apa ingin mengucapkan selamat pernikahan? Bukankah ini sudah terlambat?" Tanpa menunggu jawaban, dengan santainya, Sharmila membalikkan badan dan kembali duduk di sofa semula, bahkan tanpa mempersilakan pamannya untuk duduk.
David menghela napas panjang, geram melihat tingkah laku Sharmila yang kian angkuh. Ia masuk dan duduk tanpa dipersilakan, pandangannya menyapu setiap sudut ruangan yang kini berhiaskan kemewahan. Sangat jauh dari rumah yang ia tinggali bersama Vivian.
"Kamu tidak senang Paman datang?" David bertanya, suaranya sedikit menuntut.
Sharmila yang fokus pada ponselnya, mengangkat kepala. Memandang David dengan tatapan menyelidik. "Aku? Kenapa aku harus tidak suka?"
"Paman minta maaf karena tidak sempat datang di pernikahanmu kemarin," David memulai, mencoba melunakkan suasana. "Tapi kamu pasti sudah mendengar kabar kalau Vivian sedang terluka."
"Ya, ya, aku sudah mendengarnya," Sharmila mengangguk acuh tak acuh. "Beritanya sangat viral."
"Ya, begitulah seorang publik figur. Sedikit masalah saja sudah jadi berita heboh," David terkekeh, mencoba membuat banyolan. Namun, Sharmila hanya memutar bola matanya, merasa muak dengan basa-basi pamannya.
"Jadi, apa yang membuat Paman datang ke sini sepagi ini?" Sharmila bertanya langsung, sorot matanya tajam. "Apakah ini tentang Vivian atau ada urusan lain? Tidak mungkin hanya berkunjung. Ini terlalu tidak biasa."
David menggeser duduknya, ekspresinya berubah serius. "Sharmila, kenapa kamu mengganti pengantin pria tanpa diskusi dulu dengan keluarga?"
Sharmila tertawa renyah mendengar pertanyaan itu. Dengan santainya, wanita itu duduk tenang, bahkan menumpangkan satu kaki di atas kaki yang lain, kedua tangannya bersedekap menunjukkan dominasinya.
"Paman ini bicara apa sih?" Sharmila menatap datar. "Jangan bilang Paman tidak tahu alasan kenapa aku ganti pengantin. Atau, jangan-jangan Paman berpikir, aku tidak boleh menikah dengan putra Adinata, lalu tidak boleh juga menikah dengan putra Pertama?"
"Kamu ini bicara apa?" David mencoba menyangkal. "Mana mungkin Paman berpikir seperti itu. Paman ini pamanmu, kamu keponakan Paman satu-satunya." Suaranya sedikit meninggi.
"Aku kan hanya bertanya," Sharmila membalas santai, "kenapa Paman marah?"
"Apa kamu pikir aku percaya kalau Zayden membantumu dengan tulus?" David menatapnya curiga.
"Memang tidak," Sharmila mengakui tanpa ragu. "Jadi aku memberikan proyek di Kota B ke perusahaan milik Zayden, Pratama Group."
"Kamu gila ya?" Tanpa sadar David berteriak. "Kamu kan tahu proyek ini penting sekali untuk keluarga Natakusuma. Hanya karena Devan tidak jadi menikah denganmu, kamu malah berikan itu kepada Zayden. Kamu mau membuat keadaan perusahaan kita semakin parah?”
Mendengar teriakan David yang begitu murka, Sharmila hanya tersenyum miring.
"Memangnya kenapa?" tanyanya acuh. "Zayden adalah suamiku. Wajar saja kalau aku menyerahkan proyek itu padanya. Lagi pula, kalau bukan kepada Zayden, apa Paman berpikir proyek itu harus kuserahkan pada Paman?"
Dua tangan David terkepal, dan Sharmila tahu itu. Namun, wanita itu seakan tak peduli, bahkan dengan santai menuang kembali teh dari teko kaca, menyesap perlahan tanpa mempedulikan kemarahan David.
"Sebelum tender, Paman sudah tahu kalau dana Grup Natakusuma tidak cukup untuk proyek ini. Lalu Paman menyuruh aku untuk memimpin tim tender. Menjanjikan kalau aku berhasil, proyek ini akan menjadi milikku. Sebenarnya, paman cuma nunggu dana habis agar bisa mempermalukan aku, kan?" Sharmila menatap David dengan sorot mata dingin.
"Kamu ini bicara apa?" David berdiri, wajahnya memerah. "Aku ini pamanmu, seniormu. Beraninya kamu bicara seperti itu. Mana mungkin aku berbuat seperti itu padamu."
"Paman? Senior?" Sharmila terkekeh sinis. "Kalau memang Paman menganggap Paman itu seniorku, tidak mungkin Paman menjebak aku."
Mendengar ucapan Sharmila, David menjadi gugup. Wajahnya merah padam, malu sekaligus marah. Ia mengarahkan jari telunjuk ke wajah Sharmila. "Kamu! Aku mau kamu pegang proyek ini biar kamu bisa latihan." David mencari alasan yang tepat.
Sharmila tergelak. Namun suara tawa itu terdengar meremehkan. "Biar aku bisa latihan? Wah, wah... Paman benar-benar orang yang baik.” wanita yang berbicara sambil bertepuk tangan ringan.
“Kalau proyek ini gagal, Paman bisa bersikap sok baik, membuatku terpaksa menyerahkan kekuasaan di depan kakek, memaksaku mengaku gagal. Dan semua orang akan menganggap aku tidak mampu, aku harus tunduk pada Paman, lalu aku akan diusir dari kursi manajemen perusahaan."
“Kemudian Paman akan menarik orang luar untuk masuk, mengambil alih proyek Kota B. Maka Paman bisa mendapatkan tiga ekor burung dengan satu lemparan batu. Skenario ini yang Paman susun. Apa tebakanku benar?"
David terdiam tak mampu lagi berkata-kata. Apa yang ada dalam otaknya seakan telah terbaca semua oleh Sharmila.
Sharmila menyilangkan tangannya di dada. "Tetapi karena proyek ini sudah di tanganku, jadi seharusnya aku yang memutuskan pada siapa proyek ini akan aku serahkan. Lagi pula, Zayden juga suamiku, apapun keputusanku, Kakek juga pasti setuju."
"Kamu tidak takut aku adukan ke kakek kalau Zayden ini sebenarnya adalah orang jahat?" David mengancam, mencoba mencari celah.
Sharmila tertawa terbahak-bahak, suaranya memenuhi ruangan, menatap ke arah David begitu tawanya reda.
"Kalau begitu, cepat adukan pada Kakek. Siapa tahu kalau Kakek tahu, Kakek akan merasa kasihan, lalu memberikan semua saham Natakusuma Grup padaku. Lagipula, perjodohan antara keluarga Kakek Julian dengan keluarga Kakek Aditama disabotase oleh Vivian, putrimu. Di sini statusku korban.” Sharmila benar-benar tak memberi kesempatan pada David untuk melakukan pembelaan.
“Tapi tidak masalah. Kalau Vivian mau, aku bisa minta Kakek melanjutkan perjodohan antara keluarga Aditama dan Natakusuma dengan Vivian sebagai mempelai wanita.”
“Benarkah? Kamu mau bilang begitu pada kakek?" Wajah David berbinar. Jika Sharmila yang minta, maka Kakek Julian tidak akan pernah menolak.
Sharmila mengangguk singkat. "Tapi,,, yang diinginkan Kakek Aditama untuk menikah dengan Devan kan aku?” Sharmila menampilkan raut iba nya.
Wajah David merah padam. Sharmila benar-benar sukses mempermainkan dirinya.
Seakan belum puas bermain, Sharmila melanjutkan. "Lagi pula, kalau aku tidak salah ingat, Vivian itu sepertinya dia bukan dari keluarga Natakusuma, deh."
"Sharmila!" bentak David, suranya menggelegar di dalam ruang tertutup itu. Dua tangannya terkepal dan wajahnya semakin memerah. "Lancang sekali kamu berbicara seperti itu! Kamu sama sekali tidak memandangku!"
"Kenapa Paman emosi?" Sharmila bertanya tanpa dosa, namun matanya berkilat tajam. "Yang aku ucapkan benar kan? Vivian tidak memiliki setetes pun darah Natakusuma."
David melipat kedua tangan, menyandarkan diri di sofa, menatap Sharmila dengan kesal. Ia tidak memiliki bantahan sama sekali dan sama sekali tidak menyangka keponakannya yang dianggap bodoh benar-benar telah berubah.
Merasa tidak lagi bisa mengendalikan Sharmila dengan kata-kata, dengan terpaksa David mengakui kekalahannya. Mungkin ia harus mundur sementara untuk menyerang kemudian dikala Sharmila lengah.
"Baiklah, Paman akui ternyata kamu benar-benar hebat," ucap David sambil mengacungkan jempolnya. "Maafkan kesalahan Paman."
"Kesalahan Paman yang lain masih banyak," Sharmila membalas datar.
Enggan bicara lagi dengan pamannya, wanita itu berdiri dari tempat duduknya, melangkah anggun menuju pintu. "Aku masih ada urusan," ucapnya sambil mengarahkan telapak tangan ke arah luar. "Hati-hati di jalan ya, Paman."
David berdiri dari duduknya dengan menggeram kesal, mengambil jas yang tadi ia letakkan di atas sofa, lalu keluar tanpa permisi.
Keren Thor novelnya 👍😍
tul nggak Mama 😄😄😄
kira2 berapa derajat ya suhu ruangan di butik itu....
aku rela ko bang bantuin isi dalma kartu hitam mu itu...
karna banyak yang mau saya beli... 🤣🤣🤣🤣🙏
dari motor, renov rumah biaya sekolah 3 anak...
boleh ya bang... boleh lah... boleh lah...
Zayden berkata....
Apa aku mengenalmu...
kita ta se akrab itu ya... 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣