Seorang wanita mendatangi klinik bersalin di tengah malam buta. Wanita itu meringis menahan rasa sakit. Sepertinya dia ingin melahirkan.
Setelah mendapatkan pertolongan dari Bidan, kini wanita itu menunggu jalan lahir terbuka sempurna. Namun, siapa sangka ia akan di pertemukan oleh lelaki yang sengaja ia hindari selama ini.
"Lepas, Dok! Aku tidak butuh rasa kasihan darimu, tolong jangan pernah menyakiti hatiku lagi. Sekarang aku tak butuh pria pengecut sepertimu!" sentak wanita itu dengan mata memerah menahan agar air mata tak jatuh dihadapannya.
"Alia, aku mohon tolong maafkan aku," lirih lelaki yang berprofesi sebagai seorang Dokter di sebuah klinik bersalin tempat Alia melahirkan. Lelaki itu menatap dengan penuh harap. Namun, sepertinya hati wanita itu telah mati rasa sehingga tak terusik sedikitpun oleh kata-kata menghibanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayi yang malang
Alia harap-harap cemas menanti kabar dari Dokter mengenai anaknya. Kondisinya yang masih lemah membuat dirinya tak bisa melakukan apapun selain menunggu dan berdo'a yang terbaik untuk putrinya.
Sementara itu Hanan dan Dokter anak yang lain sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa bayinya. Hanan tampak kacau saat Dokter mengatakan sudah tak ada harapan.
"Dok, ayo coba sekali lagi!" bentaknya pada Dokter anak yang menangani.
"Maaf Dok, harapan kita sudah tipis. Hanya menunggu keajaiban dari Tuhan," jawab sang Dokter tampak sudah pasrah.
Hanan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia keluar dari ruangan itu untuk menenangkan perasaannya yang sedang kacau. Hanan merogoh saku celananya, ia menghubungi sahabatnya Dokter Hendra.
Sepertinya Hanan tak mampu memendam segala masalah dan ujian yang sedang ia jalani saat ini. Setidaknya ia mempunyai teman untuk mendengarkan segala kesedihannya saat ini.
Hanan menghubungi Hendra, dan ia menceritakan segalanya pada Pria yang mempunyai profesi sama dengannya.
"Han, kamu tenang ya, aku akan segera kesana," jawab Hendra di ujung sambungan.
"Terimakasih Hen," jawab Hanan kembali memutuskan sambungannya.
Hanan masih duduk merenung seorang diri di depan ruang bayi. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Sungguh ia tak mempunyai keberanian untuk menemui Alia. Ia tak sanggup bila melihat gadis itu menangis dan menatapnya dalam kebencian.
Saat Hanan masih larut dalam lamunan, ia melihat perawat berlari keluar memanggil Dokter karena keadaan bayi Ny Alia, kritis.
Hanan yang mendengar percakapan perawat dan Dokter, ia segera melesat masuk kedalam ruangan itu. Kembali ia menghampiri bayi mungil yang sudah tampak pucat juga mulai memburu di sekujur tubuhnya.
"Dokter bagaimana keadaan anak saya?" tanya Hanan yang tak bisa lagi menyembunyikan dari para petugas RS.
"Apakah bayi ini milik anda, Dok?" tanya Dokter anak yang masih memberi tindakan.
"Ya, dia putri saya." Hanan menatap dengan mata berkaca-kaca saat melihat bayi malang itu menghembuskan nafas terakhir.
"Sabar Dok, ini semua sudah kehendak Tuhan," ucap Dokter itu sembari mengusap pundak Hanan.
"Tidak! Ini tidak mungkin!" Hanan jatuh merosot di bawah boks kaca dimana bayinya masih berada didalamnya.
"Ini bukan kehendak Tuhan, tapi aku yang menyebabkan semua ini terjadi...," lirih Pria itu dengan bahu terguncang.
"Hanan, ayo berdiri," ucap Hendra yang baru saja datang.
"Hen, aku telah menyebabkan anakku meninggal!" ujarnya dengan emosi membuncah.
"Jangan menyalahkan dirimu seperti ini. Ini semua sudah kehendak Allah, kamu dan Alia harus bisa menerima dan bersabar," jawab Hendra mencoba untuk memberi nasehat pada sahabatnya.
Hanan menghapus sisa air mata yang menetes di pelupuk matanya. Ia meraih bayi yang baru saja di lepas segala peralatan di tubuhnya. Pria itu memeluk dengan erat sembari mengecup berulang kali wajah tak berdosa itu.
"Sayang, maafkan Papa. Maaf sudah membuatmu menjadi seperti ini," cicitnya dengan isakan.
Hanan masih memeluk bayi itu dengan penuh kasih sayang untuk terakhir kalinya. Hanan menyimpan rasa bersalah dan penyesalan yang begitu dalam.
"Cukup Hanan, tolong tenangkan dirimu. Jangan mempersulit kepergian putrimu. Ingatlah, ada Alia yang sedang membutuhkan perhatian darimu," ucap Hendra mengambil alih jasad bayi itu dari gendongan ayahnya.
"Tidak Hen, hidupku akan tamat, dan Alia pasti akan semakin membenciku," jawab Hanan menangis dengan segala rasa takutnya. Ia tidak tahu bagaimana hancurnya hati Alia saat mengetahui bahwa bayinya telah meninggal dunia.
"Sudah, tenanglah." Hendra ikut mencium beberapa kali bayi tak berdosa itu sebelum menyerahkan pada petugas untuk mengurusnya.
Hendra membawa Hanan untuk duduk di kursi panjang yang ada di depan ruang bayi. Ia mencoba untuk menenangkan sahabatnya yang kini tampak begitu rapuh.
Sementara itu Alia yang sedari tadi masih tampak gelisah berbaring diatas bad pasien. Dari semalam ia tak bisa tidur barang sedetikpun. Ia tidak akan bisa tenang sebelum mengetahui keadaan bayinya.
Dokter Obgyn masuk untuk memeriksa kondisinya. Hanan sengaja meminta Dokter lain untuk menangani Alia, karena ia tak mau jika kondisi Alia semakin memburuk bila bertemu dengannya.
"Dokter, bagaimana dengan keadaan bayi saya?" tanya Alia dengan raut wajah cemas.
Dokter itu menatap dengan seksama. Ia merasa tidak tega melihat kondisi ibu muda itu. Tapi ia harus berkata jujur.
"Maaf Bu Alia, bayi ibu baru saja meninggal dunia."
DEG!
Jantung Alia seperti berhenti berdetak, dunianya berhenti berputar, tubuhnya membatu, lidahnya terasa kelu. Tak ada suara yang keluar, hanya air mata lolos begitu saja dari kedua pelupuk matanya.
"Hiks, itu tidak mungkin," lirihnya dengan deraian air mata.
"Sabar ya, Bu. Semoga bayinya tenang disisi-Nya."
"Tidak Dokter, itu tidak mungkin.... Hahaha... Itu tidak mungkin kan, Dok?" tanya Alia dengan tangis dan tawa.
"Bu, tenanglah!"
"Lepas, Dokter! Aku ingin melihat anakku!" Alia mencabut selang infus begitu saja sehingga d4r4h segar mengalir deras dari urat nadinya.
Alia tak bisa di cegah saat beberapa perawat dan Dokter menahan langkahnya. Alia tak menghiraukan nyeri bekas Caesarnya. Alia berjalan dengan terseok-seok menuju ruang bayi.
Seketika ia menangkap sosok lelaki yang telah menyulitkan hidupnya, dan bahkan lelaki itulah yang telah membuat bayinya meninggal dunia.
Alia menghapus air matanya dengan kasar. Ia berjalan mendekati lelaki itu. Kini ia sudah berdiri dihadapan Hanan.
"Alia, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melepaskan infus ditanganmu?" tanya Hanan sembari meraih tangan Alia yang banyak mengeluarkan d4r4h.
"Lepas!" sentaknya sembari menyorot begitu tajam sehingga membuat jantung Hanan merasa diiris. "Kamu senang sekarang Hanan? Kamu sudah berhasil membunuh anakku!" bentaknya dengan lelehan air mata.
"Alia, aku mohon jangan bicara seperti itu," ucap Hanan masih berusaha untuk memegang tangan Alia dengan lembut.
"Singkirkan tanganmu itu, Hanan!" sentaknya kembali. Baru kali ini ia memanggil nama pada lelaki itu. Sepertinya tingkat kemarahan Alia sudah di ubun-ubun, sehingga ia tak lagi menghormati lelaki yang ada di hadapannya.
"Alia, tolong maafkan aku, tapi sungguh aku tidak melakukan hal itu. Ini semua sudah kehendak Allah," ucap Hanan masih berusaha memberi pengertian pada Alia.
"Hahahaha... Ini bukan kehendak Tuhan, Hanan, tapi kehendakmu. Dari awal kamu menginginkan bayiku mati. Dan sekarang lihatlah, dia benar-benar telah pergi meninggalkan aku. Apakah kamu tidak tahu selama delapan bulan aku bersusah payah menjaganya, tapi kini dia pergi. Hiks Hiks... Kenapa kau harus datang lagi dalam kehidupan aku, Hanan," cicit Alia dengan tangisan pilu.
Hanan berusaha menahan air matanya agar tak jatuh, tapi segala yang diucapkan oleh Alia membuat pertahanannya runtuh sehingga air matanya jatuh.
"Alia, tenangkan dulu dirimu. Ingatlah, kamu baru saja menjalani Caesar," ucap Hendra mencoba membantu Hana untuk duduk.
"Lepas, Dokter!" Alia menyingkirkan tangan Hendra. "Aku ingin mati saja. Aku tidak ingin hidup lagi, aku ingin pergi bersama bayiku," ucap Alia membuat batin Hanan semakin sakit.
fix no debat