 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 5
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya merekah, namun Aprilia sudah sibuk di dapur. Aroma rempah dan bawang putih beradu, menciptakan simfoni yang menggugah selera.
Tangannya cekatan memotong sayuran, sesekali menyeka peluh di dahi. Pemandangan ini sontak membuat Mbok Ratmi, terkejut bukan main.
"Non April? Ya ampun, Non! Kenapa sudah di dapur? Kan Non baru keluar dari rumah sakit semalam. Badan Non itu belum kuat, istirahat saja, biar Mbok yang masak," ujar Mbok Ratmi dengan nada khawatir yang kentara.
Aprilia tersenyum lembut, mencoba menenangkan wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu.
"Mbok, Aku baik-baik saja kok. Lagipula, kalau Aku cuma tiduran, malah badan ini terasa remuk semua. Lebih baik bergerak, biar peredaran darah lancar," jawabnya sembari terus mengaduk tumisan di atas kompor.
Aroma sedap semakin menyeruak, membuat perut Mbok Ratmi berkeroncongan tanpa izin.
"Tapi, Non..." Mbok Ratmi masih ragu. Ia tahu betul bagaimana keras kepalanya Aprilia jika sudah mengambil keputusan, apalagi untuk kebaikan Vernando.
"Sudah, Mbok. aku cuma mau masak sarapan sederhana untuk Mas Nando. Mbok bantu siapkan piring saja ya?" Aprilia mengedipkan sebelah mata, mencoba mencairkan suasana.
Mbok Ratmi menghela napas panjang. Ia tahu, percuma saja berdebat dengan Aprilia. Akhirnya, ia mengangguk pasrah dan mulai menyiapkan peralatan makan di meja.
Dalam hati, ia berdoa agar Non mudanya itu benar-benar baik-baik saja dan tidak memaksakan diri.
Pemandangan Aprilia yang kembali beraktivitas di dapur, meski baru sembuh dari sakit, membuatnya terharu sekaligus kagum.
Ia tahu betul, di balik tubuh mungil itu, tersimpan semangat dan cinta yang begitu besar untuk keluarganya.
Vernando memasuki ruang makan tepat saat Aprilia meletakkan hidangan terakhir di meja.
Aroma masakan yang menggugah selera sama sekali tak mampu melunturkan ekspresi dingin di wajahnya.
Matanya menatap Aprilia dengan tatapan merendahkan, sebelum akhirnya cibiran pedas meluncur dari bibirnya.
"Manja sekali kamu ini, April. Baru demam sedikit saja sudah pingsan segala. Lihat, kan? Buktinya hari ini kamu sudah sehat-sehat saja, bisa masak dan beraktivitas seperti biasa," ucap Vernando dengan nada sinis yang menusuk hati.
Kata-katanya bagai anak panah yang menghujam jantung Aprilia, membuatnya tertegun dan membeku di tempatnya.
Senyum yang tadinya menghiasi wajah Aprilia perlahan memudar, digantikan oleh raut terluka yang mendalam.
Tangannya yang tadi cekatan menata makanan, kini terasa lemas dan gemetar. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata.
Kata-kata Vernando begitu merendahkan, seolah menganggap remeh rasa sakit dan kekhawatiran yang baru saja ia alami.
Mbok Ratmi yang menyaksikan kejadian itu dari sudut ruangan, hanya bisa menggelengkan kepala dengan prihatin.
Ia tahu betul betapa besar cinta Aprilia pada Vernando, namun pria itu seolah buta dan tuli akan pengorbanan dan perhatian yang diberikan istrinya.
Hatinya miris melihat Aprilia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, namun selalu saja mendapatkan balasan yang menyakitkan.
Meskipun hatinya dipenuhi rasa kesal dan jijik melihat wajah Aprilia yang menurutnya tak menarik, Vernando tetap melahap makanan yang tersaji di hadapannya dengan rakus.
Setiap suapan seolah menghapus sementara kekesalan yang menggerogoti hatinya. Lidahnya dimanjakan oleh cita rasa masakan Aprilia yang begitu lezat, membuatnya tak mampu menahan diri untuk terus menambah.
Anehnya, nafsu makannya justru meningkat drastis saat menyantap hidangan buatan istrinya itu.
Di balik kesedihan dan luka yang mendalam, Aprilia diam-diam tersenyum tipis.
Meski hinaan dan kata-kata merendahkan sudah menjadi makanan sehari-harinya, momen saat Vernando menikmati masakannya selalu berhasil menghadirkan secercah kebahagiaan di hatinya yang pilu.
Ia merasa dihargai, setidaknya untuk keahliannya dalam meracik bumbu dan menyajikan hidangan lezat.
Baginya, melihat Vernando makan dengan lahap adalah sebuah pengakuan tak terucap atas cintanya yang tulus dan pengabdiannya sebagai seorang istri.
Usai menyantap habis hidangan di hadapannya, Vernando beranjak dari kursi tanpa sepatah kata pun.
Bahkan, ia tak sudi melirik sedikit pun ke arah Aprilia yang masih berdiri mematung di dekat meja makan.
Dengan langkah lebar, ia meninggalkan ruang makan, seolah Aprilia hanyalah seonggok perabot yang tak perlu diperhatikan.
Sikapnya yang dingin dan acuh tak acuh semakin menegaskan bahwa bagi Vernando, Aprilia tak lebih dari seorang pembantu yang bertugas menyiapkan makanan dan mengurus keperluan rumah tangganya.
Aprilia hanya bisa terpaku, menatap nanar punggung Vernando yang semakin menjauh.
Hatinya terasa perih dan sesak. Ia merasa begitu kecil dan tak berarti di mata suaminya. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya.
Ia tak ingin terlihat lemah dan menyedihkan di hadapan Mbok Ratmi yang selalu setia menemaninya.
Dalam diam, ia meratapi nasibnya yang begitu malang. Cinta dan pengabdiannya seolah tak pernah dihargai, bahkan tak dianggap sama sekali.
Ia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan luka dan kepahitan ini.
Dering ponsel yang tiba-tiba memecah kesunyian membuat Aprilia tersentak kaget dari lamunannya.
Jantungnya berdegup kencang saat melihat nama "Ayah" tertera di layar. Dengan ragu, ia menggeser ikon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Ayah," sapa Aprilia dengan nada sopan, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Ada apa Ayah menelepon pagi-pagi begini?"
Namun, alih-alih jawaban lembut, yang terdengar justru suara amarah yang menggelegar dari seberang sana.
"Aprilia! Kamu ini bagaimana, sih?! Kenapa Vini dari kemarin menangis?! Sekarang juga kamu pulang! Ayah tunggu di rumah!"
Aprilia terkejut bukan main mendengar bentakan ayahnya. Jantungnya semakin berdebar tak karuan. "A-Ayah? Ada apa ini? Kenapa Ayah marah-marah? aku tidak mengerti..."
"Tidak mengerti bagaimana?! Pokoknya Ayah tidak mau tahu! Sekarang kamu pulang! Jangan sampai Ayah menyeret kamu pulang paksa!" Suara ayahnya semakin meninggi, membuat Aprilia semakin ketakutan. Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon pun diputus secara sepihak.
Aprilia terdiam membeku. Tubuhnya gemetar hebat. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang membuat ayahnya begitu marah.
Perasaan cemas dan takut bercampur aduk menjadi satu. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas bersiap-siap.
Ia harus segera pulang dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Firasat buruk tiba-tiba menyeruak di benaknya, membuatnya semakin gelisah dan tak tenang.
 
                     
                     
                    