NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akad di Bawah Atap Sederhana

Pagi itu datang tanpa kemeriahan.

Tidak ada tenda, tidak ada kursi berjajar, hanya rumah kayu Pak Wiryo yang dibersihkan lebih rapi dari biasanya. Tikar digelar di ruang tengah, jendela dibuka agar cahaya pagi masuk bersama udara segar dari sawah.

Lia duduk di kamar, mengenakan kebaya sederhana berwarna gading. Rambutnya disanggul rapi oleh Bu Surti, tanpa perhiasan berlebihan. Wajahnya pucat, bukan karena takut, melainkan karena beratnya keputusan yang baru saja ia ambil.

“Kalau ragu, kamu masih bisa bilang tidak,” ucap Bu Surti pelan.

Lia menatap pantulan dirinya di cermin kecil. “Aku tidak ragu, Bu. Aku hanya sedang belajar berani.”

Bu Surti tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Di ruang depan, Wijaya duduk bersila menghadap Pak Wiryo.

Ia mengenakan kemeja putih pinjaman, ukurannya sedikit kebesaran. Tangannya berkeringat, tapi punggungnya tegak. Wajahnya terlihat tenang, meski di dalam kepalanya ada ruang kosong yang tak bisa ia isi.

“Nama lengkapmu?” tanya penghulu yang didatangkan dari desa sebelah.

Wijaya terdiam sejenak.

Lia menahan napas di balik pintu.

“Wijaya,” jawabnya akhirnya. “Saya dikenal dengan nama itu.”

Penghulu mengangguk, seolah memahami lebih dari yang diucapkan.

Akad dimulai.

Suara Pak Wiryo terdengar mantap, meski sesekali tercekat. Saat tiba giliran Wijaya, ruang kecil itu mendadak terasa sunyi.

“Saya terima nikahnya Lia binti Wiryo dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Tidak ada yang menyangka suaranya akan setegas itu.

Satu tarikan napas.

Satu kalimat.

Sah.

Bu Surti menutup mulutnya, menahan haru. Beberapa warga yang menjadi saksi mengangguk pelan.

Lia merasakan air matanya jatuh sebelum ia sempat menahannya.

Setelah doa dipanjatkan, Lia keluar dari kamar.

Wijaya berdiri. Mata mereka bertemu.

“Mas Wijaya,” ucap Lia untuk pertama kalinya sebagai istri.

Panggilan itu membuat dada Wijaya bergetar. Ia mengangguk pelan. “Lia.”

Tidak ada janji panjang. Tidak ada kata manis berlebihan. Namun genggaman tangan mereka cukup menjelaskan segalanya.

Siang menjelang, para saksi pulang satu per satu.

Rumah kembali sepi.

Lia duduk di beranda, memandangi halaman. Wijaya berdiri di sampingnya, ragu sejenak sebelum akhirnya duduk juga.

“Aku masih takut,” katanya jujur.

“Aku juga,” jawab Lia.

Wijaya menoleh. “Kalau suatu hari aku mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan… kamu akan tetap di sini?”

Lia menatapnya lama. “Aku menikah bukan dengan ingatanmu, Mas Wijaya. Tapi dengan pilihanmu hari ini.”

Kata-kata itu membuat kepala Wijaya kembali berdenyut ringan. Namun kali ini, rasa sakit itu disertai kehangatan.

Sore itu, angin berembus pelan.

Di kejauhan, seseorang berdiri di balik pagar desa, memperhatikan rumah kecil itu dari jauh.

Natan.

Ia melihat beberapa warga keluar dengan wajah tenang. Tidak ada kegaduhan, tidak ada kamera. Hanya perubahan status yang sunyi.

Natan menarik napas panjang.

Dia menikah, pikirnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia mulai mencari, Natan merasa ragu, bukan pada identitas lelaki itu, melainkan pada haknya untuk membawa masa lalu kembali.

Malam turun perlahan.

Di dalam rumah, lampu menyala redup. Lia dan Wijaya duduk berhadapan, canggung tapi hangat.

Tidak ada kata-kata lagi.

Hanya dua orang yang baru saja mengikatkan hidup, tanpa tahu badai apa yang menunggu di depan, tanpa tahu bahwa akad hari ini bukan akhir konflik, melainkan awal ujian paling berat dalam pernikahan mereka.

.

Bagi Lia, pernikahan itu bukan tentang kemeriahan, melainkan keputusan. Keputusan untuk percaya, untuk bertahan, dan untuk menerima seseorang apa adanya. Ia tidak tahu siapa Wijaya sebelum kehilangan ingatan, tapi ia tahu siapa lelaki itu setelah memilih menjadi suaminya.

.

Jono berdiri di tepi halaman sejak pagi, tidak terlalu dekat, tidak pula benar-benar pergi.

Ia datang bukan sebagai tamu. Datang pun tanpa diundang. Kemeja yang dikenakannya masih berbau tanah sawah, seperti dirinya yang tak pernah jauh dari desa itu dan dari Lia.

Sejak kabar akad itu tersebar, dada Jono terasa sesak. Ia tahu hari ini akan datang. Ia hanya tidak menyangka akan setenang ini pelaksanaannya. Tanpa suara rebana. Tanpa tawa. Tanpa perayaan. Seolah-olah pernikahan itu hanya urusan dua orang, bukan urusan seluruh desa.

Dari tempatnya berdiri, Jono melihat Wijaya duduk bersila di ruang tengah.

Pria asing itu.

Pria yang datang tanpa masa lalu, tanpa cerita, tanpa asal-usul yang jelas, namun bisa berdiri di hadapan Pak Wiryo dan mengucap ijab kabul seolah semua hak itu memang miliknya sejak awal.

Kenapa bukan aku? pikir Jono.

Pertanyaan itu berputar di kepala Jono, berulang, tanpa jawaban. Hatinya teramat sakit untuk melihat itu semua.

Ia mengenal Lia sejak kecil. Bahkan sering bersama setiap hari. Mengetahui caranya tertawa, caranya menunduk saat malu, caranya menyibakkan rambut tebalnya saat kepanasan di ladang. Ia ada di sana saat Lia menimba air, saat ayahnya sakit, saat ibunya kelelahan.

Tapi ketika pria itu datang, semuanya berubah.

Saat akad dinyatakan sah, Jono menunduk.

Bukan karena hormat. Melainkan karena kalah. Ia menggenggam tangannya sendiri, menahan sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Amarah bercampur kecewa. Bukan pada Lia, tak pernah pada Lia, melainkan pada nasib yang terasa terlalu ringan memberi semua itu pada orang lain.

Dia bahkan tidak ingat siapa dirinya, pikir Jono getir.

Lalu bagaimana dia bisa pantas mendapatkan Lia?

Namun Jono juga melihat sesuatu yang tidak ingin ia akui.

Wijaya tidak tersenyum berlebihan. Tidak terlihat menang. Tidak pula angkuh. Ia hanya duduk tegak, seperti seseorang yang sedang memegang sesuatu yang rapuh dengan kedua tangan.

Dan itu membuat Jono semakin kesal. Saat para saksi pulang, Jono masih di sana. Ia melihat Lia keluar dari kamar, mengenakan kebaya sederhana. Wajahnya tidak bersinar seperti pengantin di kota, tapi matanya… matanya tenang. Teguh. Seolah ia sudah siap menerima apa pun yang datang setelah hari ini.

“Mas Wijaya.”

Panggilan itu terdengar pelan, tapi cukup untuk menghantam dada Jono.

Ia berpaling. Tidak ingin melihat lebih lama.

.

Waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa.

Sore menjelang, Jono melangkah pergi menyusuri pematang sawah. Angin membawa bau tanah basah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah di desa ini, kecuali satu hal.

Lia kini bukan lagi seseorang yang bisa ia jaga dari jauh.

Ia adalah istri orang lain. Langkah Jono terhenti. Ia menoleh sekali lagi ke arah rumah Pak Wiryo, dari kejauhan.

“Aku tidak akan mengganggu,” gumamnya.

“Tapi aku juga tidak akan berhenti memperhatikan.”

Di dalam dadanya, sesuatu mengeras, bukan sekadar perasaan kalah, melainkan awal dari kebencian yang pelan-pelan tumbuh.

Dan Jono tidak tahu, apakah suatu hari perasaan itu akan melukai orang lain, atau justru dirinya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!