NovelToon NovelToon
Obsesi Cinta Tuan Gumiho

Obsesi Cinta Tuan Gumiho

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Beda Usia / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:9.6k
Nilai: 5
Nama Author: Heryy Heryy

Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.

Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.

Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.

Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.

apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

༿BAB༌༚8

Malam itu, setelah meninggalkan Park Sung-ah di taman dan menunggu Yoo In-a menjemputnya dengan hati-hati, Kim Min-seok berjalan pulang ke apartemennya yang terletak di lantai paling atas gedung pencakar langit di pusat kota.

Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang bersinar lembut, tapi cahaya neon dari gedung-gedung tinggi dan lampu jalan yang terang membuat sebagian besar bintang itu tertutup, seperti dunia modern yang ingin menyembunyikan keindahan alam.

Udara malam terasa dingin dan segar, menyentuh kulitnya yang sudah terbiasa dengan kesendirian, membawa rasa nostalgia yang tiba-tiba menyelimuti dirinya.

Ia membuka pintu apartemennya dengan kunci yang sudah dipakai selama puluhan tahun, lalu memasuki ruangan yang luas dan sunyi.

Apartemennya dihiasi dengan barang-barang kuno yang dia bawa dari masa lalu—sepasang vas keramik biru dari dinasti Joseon yang memiliki motif bunga melati, peta kertas lama yang menggambarkan kota Hanyang (sekarang Seoul) pada abad ke-17, dan meja kayu tua yang dia gunakan untuk menulis selama berabad-abad.

Ia berjalan melintasi lantai marmer yang terang, lalu berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke luar, memandang ke arah pemandangan kota yang sibuk dan penuh cahaya.

Lampu-lampu dari gedung perkantoran, toko, dan rumah penduduk menyala seperti ribuan bintang yang jatuh ke bumi, dan bunyi suara kota yang jauh—suara mobil, orang berbicara, musik dari kafe—terdengar seperti deru ombak yang terus-menerus mengalir.

Ia terdiam begitu lama di depan jendela, matanya tetap menatap keadaan kota yang terus bergerak tanpa henti. Pikirannya tergeser jauh ke masa lalu, melintasi ribuan tahun yang dia lalui sebagai gumiho—masa-masa di mana dunia masih jauh lebih sederhana, di mana hutan masih lebat dan manusia hidup dengan lebih dekat dengan alam.

Dan tiba-tiba, seperti tertekan oleh sesuatu yang tidak terlihat, ia teringat dengan seorang gadis kecil yang pernah mengubah hari-harinya di tengah dinasti Joseon, beratus-ratus tahun yang lalu.

[ Flash Back On ]

Pada waktu itu, Kim Min-seok telah hidup lebih dari 500 tahun. Ia telah melihat banyak perubahan di dunia—kerajaan yang muncul dan lenyap, perang yang melanda, dan manusia yang lahir dan mati.

Selalu, ia hidup sendirian. Ia menghindari berinteraksi dengan manusia karena takut akan kekuatan yang ia miliki—kemampuan untuk menyerap energi, mata yang bisa menyinari, dan sembilan ekor yang menjadikan dia berbeda dari semua makhluk lain.

Ia merasa bahwa kesendirian adalah jalan terbaik untuk menghindari penderitaan—baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Suatu musim semi yang hangat, ia memutuskan untuk pergi ke gunung Bukhan, yang terletak beberapa puluh mil di luar kota Hanyang. Gunung itu terkenal dengan hutan yang rimbun dan air terjun yang jernih, tempat yang sempurna untuk mencari ketenangan dan melarikan diri dari keramaian dunia manusia.

Ia berjalan ke puncak gunung, yang terbentang luas dan sepi, lalu menemukan pohon beringin yang besar dan tua—seolah-olah telah ada di sana selama ribuan tahun. Dedaunan yang lebat menciptakan naungan yang sejuk, dan akarnya yang tebal menjadikannya tempat yang nyaman untuk tidur.

Ia mendirikan tempat tidur dengan dedaunan dan ranting yang kering, lalu tidur dengan nyenyak. Ia tidur selama berhari-hari, menghabiskan waktu dengan mimpi-mimpi tentang masa lalu—tentang keluarga yang dia tinggalkan, tentang teman-teman yang sudah tiada, tentang semua hal yang ia hilangkan karena keabadian yang dia miliki.

Pada hari keempat, ia terbangun oleh suara yang lemah dan ceria—suara tawa seorang anak kecil. Ia membuka mata dengan lambat, matanya masih kabur karena tidur yang panjang.

Di depannya, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun, mengenakan hanbok berwarna merah muda yang dipenuhi dengan motif bunga .

Rambutnya yang hitam panjang terikat dengan ikatan rambut yang dibuat dari benang sutra berwarna emas, dan di rambutnya terpasang sebatang bunga mawar putih yang segar.

Wajahnya cerah seperti matahari pagi, dan matanya yang besar dan hitam penuh dengan keheranan saat melihatnya.

Tanpa ia sadari, gadis kecil itu membungkuk perlahan, mengambil bunga mawar putih lain dari tanah di dekat pohon, lalu dengan hati-hati menaruhnya di telinganya yang panjang—salah satu ciri khas gumiho yang ia sembunyikan dengan kekuatan ilusi.

Ia merasa sedikit terkejut—bagaimana gadis kecil itu bisa menemukan dia di tempat yang begitu jauh dan sulit dijangkau? Dan mengapa dia tidak takut melihat seorang pria yang tidur di tengah hutan sendirian?

Ia segera bangkit dari tempat tidurnya, tubuhnya penuh dengan waspada. Tanpa berpikir dua kali, ia menghilangkan ilusinya dan menunjukkan sosok aslinya sebagai gumiho.

Matanya berubah warna menjadi emas yang menyilaukan, memancarkan cahaya terang yang menyinari sekitarnya. sembilan ekornya yang panjang dan lebat muncul dari belakang tubuhnya, bergoyang-goyang lembut di angin.

Ia ingin membuat gadis kecil itu takut—sangat takut—agar dia tidak berani datang lagi dan mengganggu ketenangannya yang berharga.

"Takut kan? Pergi dari sini! Jangan pernah kembali ke tempat ini lagi!" teriaknya dengan suara yang keras dan mengerikan, seolah-olah ingin mengeluarkan semua kemarahan dan kesendirian yang ada di dalam hatinya selama berabad-abad.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya dari yang ia harapkan. Gadis kecil itu tidak menangis, tidak berlari, dan tidak menunjukkan tanda-tanda takut sama sekali.

Sebaliknya, wajahnya memerah karena kegembiraan yang luar biasa, dan dia tertawa dengan suara yang ceria dan jernih.

"Wah! Kamu cantik banget! Seperti makhluk dongeng yang nenekku ceritakan padaku! Kamu punya ekor yang panjang dan mata yang menyinari seperti matahari! Aku suka banget!" ucapnya dengan senyum lebar yang menutupi sebagian wajahnya, lalu berjalan lebih dekat ke dia dengan langkah yang yakin dan tidak takut.

Kim Min-seok tercengang sepenuhnya. Ini adalah pertama kalinya dalam seluruh hidupnya, seseorang melihat sosok aslinya sebagai gumiho dan tidak merasa takut—bahkan malah senang.

Ia berdiam diri sebentar, mulutnya terbuka sedikit tapi tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Pikirannya menjadi kacau—bagaimana bisa seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa tidak takut pada makhluk yang dikutuk oleh manusia selama berabad-abad?

Setelah beberapa saat yang terasa seperti abadi, ia akhirnya bisa berbicara dengan suara yang lebih lemah dan tenang. "Siapa namamu, anak kecil? Dari mana kamu datang?" tanya dia, matanya tetap menatap wajah gadis kecil itu yang ceria.

Gadis kecil itu tersenyum lagi, dan matanya bersinar lebih terang. "Nama aku Song Hye-yoon! Aku tinggal di desa kecil yang ada di bawah gunung ini—desa Songak. Aku melihat kamu tidur di bawah pohon ini kemarin sore, dan aku ingin bertemu denganmu! Kamu tampak sendirian, jadi aku mau bawa kamu makanan! Lihat!" katanya, lalu membuka selendang yang terikat di pinggangnya, menunjukkan isi dari dalamnya: sepotong nasi hangat, beberapa buah pepaya matang, dan sebotol air jernih dari air terjun.

Ia melihat makanan itu dengan mata yang terkejut. Tidak ada seorang pun yang pernah memberikan dia makanan dengan sukarela—selalu, manusia hanya ingin membunuhnya atau menghindarinya.

Ia merasa sesuatu yang aneh muncul di hatinya—sesuatu yang dia tidak rasakan selama berabad-abad: rasa terima kasih.

"Aku... aku tidak butuh makanan, Hye-yoon. Tapi terima kasih," katanya dengan suara yang lemah.

Tapi Hye-yoon tidak mau mengalah. Dia mendekati lebih jauh, lalu meletakkan sepotong nasi di atas daun yang bersih di tanah di depan dia. "Tapi kamu pasti lapar kan? Kamu tidur selama begitu lama! Silakan makan, ya! Ini enak banget—ibuku yang masak!" ucapnya dengan semangat.

Ia melihat wajah Hye-yoon yang penuh harapan, dan tidak bisa menolak. Ia mengambil sepotong nasi dan memakannya. Rasanya enak—lebih enak dari makanan apa pun yang dia makan selama bertahun-tahun.

Ia melihat Hye-yoon yang tersenyum senang, dan untuk pertama kalinya dalam seabad, ia juga merasa ingin tersenyum.

"Baiklah, Hye-yoon. Kita bisa berteman," katanya dengan senyum yang lemah.

Sejak hari itu, Hye-yoon datang ke atas gunung setiap hari. Setiap pagi, dia akan meninggalkan desa sebelum matahari terbit, membawa makanan yang dibuat oleh ibunya, dan berjalan ke puncak gunung untuk bertemu dengannya.

Mereka akan duduk di bawah pohon beringin yang besar, makan bersama, dan berbicara tentang banyak hal. Hye-yoon akan menceritakan cerita yang dia dengar dari neneknya—tentang makhluk dongeng, tentang cinta, tentang keajaiban alam. Dia akan menceritakan tentang kehidupannya di desa, tentang teman-temannya, tentang hal-hal kecil yang membuatnya senang.

Min-seok hanya mendengar, kadang-kadang memberikan tanggapan yang singkat. Ia tidak pernah menceritakan tentang dirinya sendiri, tentang siapa dia atau bagaimana dia bisa hidup selama begitu lama. Tapi Hye-yoon tidak pernah tanya. Dia hanya menerima dia apa adanya, tanpa meminta lebih banyak.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Musim semi berubah menjadi musim panas, musim panas menjadi musim gugur, dan musim gugur menjadi musim dingin.

Setiap musim, Hye-yoon tetap datang—bahkan ketika hujan turun lebat atau salju menutupi gunung. Dia selalu membawa makanan, selalu membawa cerita, dan selalu membawa senyum yang ceria.

Tahun demi tahun berlalu, dan Hye-yoon tumbuh menjadi seorang gadis muda. Rambutnya yang panjang semakin indah, tergeletak lembut di pundaknya. Wajahnya yang cerah semakin memukau, dengan pipi yang memerah dan mata yang penuh kebijaksanaan.

Tubuhnya tumbuh tinggi dan ramping, dan hanbok yang dia kenakan semakin cocok dan cantik. Tetapi satu hal yang tidak berubah: dia masih datang ke atas gunung setiap hari untuk bertemu dengannya, membawa makanan dan cerita, dan membuatnya merasa tidak sendirian.

Pada hari ulang tahun Hye-yoon yang ke-18, dia datang ke atas gunung dengan bunga mawar putih yang banyak—lebih banyak dari yang dia bawa sebelumnya. Dia memakai hanbok berwarna biru laut yang indah, dengan motif bunga teratai yang dipahat dengan rapi. Wajahnya cerah dan penuh kebahagiaan, dan matanya bersinar ketika melihatnya.

"Malam ini, matahari tenggelam akan sangat indah, Min-seok. Ayo kita ke tempat yang aku temukan kemarin—tempat di mana kita bisa melihat seluruh kota Hanyang dari atas," katanya dengan suara yang lemah dan merdu.

Ia mengikuti dia ke bukit kecil di dekat puncak gunung, tempat di mana pemandangan sangat luas. Mereka duduk di atas batu yang besar, menunggu matahari tenggelam.

Saat matahari mulai turun, langit berubah warna menjadi oranye, merah, dan ungu—seperti lukisan yang indah. Cahaya matahari menyinari kota Hanyang di bawah mereka, membuat semua bangunan terlihat seperti emas.

Hye-yoon memutar tubuhnya menghadap dia, dan ia melihat bahwa wajahnya sekarang penuh dengan kedewasaan. Dia telah tumbuh dari seorang anak kecil yang ceria menjadi seorang gadis muda yang cantik dan cerdas.

Dan dalam matanya, ia melihat sesuatu yang dia kenal tapi tidak pernah berani harapkan: kebahagiaan yang tulus, dan rasa sayang yang dalam.

"Aku senang bisa bertemu denganmu, Min-seok. Kamu membuat kehidupanku lebih berwarna," katanya dengan suara yang lemah.

Ia melihatnya, hati yang telah dingin selama berabad-abad mulai merasa hangat. Dia tahu bahwa dia telah membentuk hubungan yang spesial dengan gadis muda ini—hubungan yang dia tidak pernah pikirkan akan miliki.

Dan pada saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu melindunginya, selalu ada untuknya, selama dia hidup.

[ Flash Back Of ]

1
𝓪𝓻𝓽𝓾𝓻 𝚝𝚎𝚖
crezy up thr
Almahira
🤭🤭🤭 kisss lagi🤭
𝓪𝓻𝓽𝓾𝓻 𝚝𝚎𝚖: ko kamu gak ada novel?
total 1 replies
Almahira
gue juga pengen 😭
Almahira
wah nafsunya memuncak, nih dosen 🤭
Almahira
wah udah Kiss kissan aja
Almahira
kaya adegan sinetron aja🤣
Almahira
pasti nangis lah jadi cewek kalo di kasih harapan palsu 😭😭
Almahira
wah di kasih harapan palsu,😭😭😭
Almahira
seneng banget tuh 🤭🤭
Almahira
kalau kaya gitu visualnya saya juga mau
Han Sejin: haaa🤣
total 1 replies
🐌KANG MAGERAN🐌
semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!