NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Dunia yang Sudah Cukup Gelap

"Tuan Arfan, jangan mendekati wanita itu! Dia adalah buronan yang sangat berbahaya bagi keselamatan kita semua!" teriak Haikal dengan suara yang menggelegar ke seluruh penjuru teras panti asuhan yang sepi itu.

Fatimah tersentak hingga tubuhnya hampir limbung menabrak pot bunga besar di sudut teras jika Arfan tidak segera mengulurkan lengannya untuk menahan beban tubuh gadis itu. Tatapan tajam Haikal menusuk tepat ke arah mata Fatimah yang bersembunyi di balik kain hitam, seolah-olah ingin menembus lapisan kain itu dan menyeret paksa identitas aslinya keluar. Arfan merasakan getaran hebat dari pundak Fatimah, sebuah ketakutan murni yang hanya dimiliki oleh mereka yang nyawanya sedang berada di ujung tanduk.

"Buronan? Berbahaya bagi siapa, Haikal? Sejak kapan seorang pembela hukum seperti aku harus tunduk pada perintah seorang pesuruh keluarga konglomerat?" balas Arfan dengan nada dingin yang tidak menyembunyikan rasa jijiknya sama sekali.

"Tuan Arfan, Anda tidak mengerti masalah yang sebenarnya. Wanita ini terlibat dalam hilangnya aset-aset berharga milik majikan saya dan dia harus dibawa sekarang juga!" Haikal melangkah maju dengan tangan yang siap meraih gagang senjata di balik pinggangnya.

"Jangan berani melangkah lebih jauh lagi atau aku akan memastikan karirmu berakhir di balik jeruji besi atas tuduhan penyerangan dan intimidasi di rumah anak-anak yatim!" ancam Arfan sambil memposisikan dirinya tepat di depan Fatimah sebagai tameng pelindung.

Fatimah meremas ujung jas Arfan dengan jari-jari yang gemetar, merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya benar-benar sudah cukup gelap untuk menelannya bulat-bulat. Ia bisa mencium aroma sisa hujan dari kain jas pria di depannya, sebuah aroma yang anehnya memberikan sedikit rasa aman di tengah badai ancaman yang sedang berkecamuk. Di kejauhan, ia melihat beberapa anak panti melongok dari jendela kayu dengan wajah-wajah mungil yang dipenuhi ketakutan luar biasa melihat ketegangan tersebut.

Ibu Sarah muncul dari balik pintu dengan wajah yang sangat pucat namun tetap berusaha menjaga sisa-sisa wibawanya sebagai pemimpin rumah panti asuhan tersebut. Tangannya memegang sebuah sapu lidi yang digenggam erat, sebuah pertahanan sederhana yang nampak sangat menyedihkan jika dibandingkan dengan sosok berotot seperti Haikal. Namun, sorot mata Ibu Sarah tidak sedikit pun menunjukkan keinginan untuk menyerah kepada pria berwajah bengis yang terus mendekat itu.

"Tolong hentikan semua ini, Tuan-tuan! Ini adalah rumah Tuhan, tempat bagi anak-anak yang kehilangan segalanya untuk mencari ketenangan!" seru Ibu Sarah dengan suara yang sedikit bergetar namun tetap terdengar jelas.

"Diam saja kau wanita tua! Serahkan wanita bercadar itu atau aku akan meratakan tempat kumuh ini dengan tanah dalam waktu satu malam saja!" teriak Haikal tanpa mempedulikan kesopanan sama sekali.

"Haikal, kau sudah melampaui batas kewenanganmu. Jika kau ingin membawanya, mana surat perintah penangkapan yang resmi dari pihak kepolisian?" tanya Arfan sambil menyilangkan tangan di depan dada dengan sikap menantang.

Haikal terdiam sejenak, rahangnya mengeras hingga otot-otot di lehernya nampak menonjol dengan sangat jelas akibat amarah yang tertahan di dalam dadanya. Ia tahu bahwa Arfan bukanlah lawan yang mudah karena pengacara muda itu memiliki jaringan yang sangat luas di kalangan penegak hukum yang jujur. Namun, perintah dari majikannya jauh lebih menakutkan daripada sekadar ancaman hukum dari seorang pembela publik yang idealis seperti Arfan.

Sinar matahari pagi yang mulai meninggi membuat bayangan mereka memanjang di lantai teras yang retak-retak, menambah kesan dramatis pada pertemuan yang tidak diinginkan itu. Fatimah merasa napasnya semakin sesak di balik kain cadar, seakan-akan oksigen di sekitarnya telah habis dihirup oleh kebencian yang terpancar dari sosok Haikal. Ia ingin bicara, ingin membela diri, namun lidahnya terasa kelu seolah-olah telah terkunci oleh sumpah bisu yang ia buat saat melarikan diri semalam.

"Aku tidak butuh surat perintah untuk menangkap seorang pencuri yang sedang bersembunyi di balik jubah kesucian!" bentak Haikal sambil meludah ke samping dengan penuh kebencian.

"Tuduhanmu itu tidak berdasar dan sangat kejam, Tuan. Wanita ini adalah bagian dari panti ini sekarang dan dia berada di bawah perlindungan saya!" tegas Ibu Sarah sambil berdiri di samping Arfan.

"Perlindungan? Kita lihat saja berapa lama panti asuhan ini bisa bertahan saat seluruh donatur setianya menarik diri karena kalian melindungi seorang penjahat!" balas Haikal dengan senyum licik yang menyakitkan hati.

Arfan melirik ke arah Fatimah, mencoba mencari sebuah kejujuran di balik sepasang mata yang nampak sangat lelah dan penuh dengan beban rahasia itu. Ada sesuatu yang sangat akrab dari sorot mata itu, sebuah kilatan semangat yang pernah ia lihat pada sosok Luna sebelum kecelakaan maut itu merenggut segalanya. Ia merasa bahwa membela wanita ini bukan sekadar tugas profesional, melainkan sebuah hutang rasa yang harus ia lunasi kepada masa lalunya yang kelam.

Tiba-tiba, suara deru mesin mobil yang sangat keras terdengar mendekat ke arah gerbang panti asuhan, memecah keheningan pagi yang mencekam itu dengan sangat paksa. Sebuah mobil hitam mewah berhenti dengan mendadak, menimbulkan suara decitan ban yang sangat memekakkan telinga di atas tanah panti yang kering dan berdebu. Pintu mobil terbuka dan munculah seorang pria paruh baya dengan pakaian yang sangat rapi namun memiliki sorot mata yang jauh lebih dingin daripada milik Haikal.

"Cukup Haikal! Kau terlalu banyak membuang-buang waktu hanya untuk menghadapi seorang pengacara kecil dan wanita tua yang tidak berdaya ini!" seru pria paruh baya itu sambil berjalan mendekat dengan langkah yang penuh percaya diri.

Fatimah membeku seketika saat melihat sosok pria itu, tangannya yang semula memegang jas Arfan kini jatuh terkulai lemas di samping tubuhnya yang menggigil. Pria itu adalah Pratama, ayahnya sendiri, orang yang seharusnya memberikan kasih sayang namun justru menjadi alasan utama mengapa ia harus memakai cadar dan bersembunyi. Ketakutan Fatimah kini berubah menjadi sebuah keputusasaan yang sangat mendalam, seolah-olah lubang hitam telah terbuka tepat di bawah telapak kakinya yang tanpa alas.

"Ayah..." bisik Fatimah sangat pelan, hampir tidak terdengar, namun Arfan yang berdiri sangat dekat bisa menangkap getaran suara yang penuh dengan luka tersebut.

"Zahra, lepaskan kain hitam yang bodoh itu dan kembalilah ke rumah sebelum kesabaranku benar-benar habis menguap!" perintah Pratama dengan nada bicara yang sangat datar namun mengandung ancaman yang nyata.

"Dia bukan Zahra, Tuan Pratama. Dia adalah Fatimah, seorang relawan panti yang sedang berusaha mencari jalan hidup yang benar di bawah bimbingan kami!" Arfan menyela dengan keberanian yang membuat Pratama menghentikan langkahnya sejenak.

Pratama menatap Arfan dengan pandangan merendahkan, seolah-olah Arfan hanyalah sebutir debu yang mengganggu pemandangan matanya yang sudah terbiasa melihat kemewahan duniawi. Ia memberikan isyarat kepada beberapa anak buahnya yang lain untuk turun dari mobil dan mulai mengepung area teras panti asuhan itu dari berbagai penjuru mata angin. Ketegangan kini berubah menjadi sebuah kepungan yang sangat mematikan bagi siapa pun yang berani menghalangi jalan sang penguasa bisnis tersebut.

Anak-anak panti mulai menangis di dalam ruangan, suara isak tangis mereka menyayat hati siapapun yang mendengarnya, termasuk Fatimah yang merasa sangat berdosa telah membawa badai ini ke tempat mereka. Ia melihat Ibu Sarah yang mulai menangis dalam diam sambil memeluk beberapa anak yang berlari keluar karena merasa sangat ketakutan melihat pria-pria besar bersenjata itu. Fatimah menyadari bahwa persembunyiannya telah berakhir, namun ia belum siap untuk kembali ke dalam penjara emas yang penuh dengan kepalsuan milik ayahnya.

"Arfan, minggirlah. Ini adalah masalah keluarga Al-Fahri dan kau tidak berhak ikut campur kecuali kau ingin melihat karirmu hancur dalam hitungan detik!" ancam Pratama lagi.

"Saya lebih memilih kehilangan karir daripada kehilangan nurani dengan membiarkan seorang wanita diseret paksa tanpa dasar hukum yang jelas!" jawab Arfan dengan lantang, suaranya menggema di tengah kerumunan pria-pria bersenjata itu.

"Kau sangat idealis, persis seperti Luna. Dan kau tahu sendiri kan bagaimana akhir dari perjalanan hidup gadis yang keras kepala seperti dia?" Pratama tersenyum tipis yang nampak sangat keji.

Wajah Arfan memerah seketika mendengar nama Luna dilecehkan seperti itu oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu di masa lalu. Genggaman tangannya mengeras, dan untuk sesaat, ia hampir saja kehilangan kendali atas emosinya jika ia tidak merasakan sebuah sentuhan lembut di punggung tangannya yang sedang terkepal. Fatimah menggelengkan kepala pelan di balik cadarnya, memberikan isyarat agar Arfan tidak melakukan tindakan ceroboh yang bisa membahayakan nyawa semua orang di sana.

Fatimah kemudian melangkah maju, melewati posisi Arfan dan berdiri tepat di hadapan ayahnya dengan punggung yang tegak meski seluruh tubuhnya masih terasa sangat lemas. Ia menatap lurus ke arah mata Pratama, sepasang mata yang tidak lagi memancarkan rasa hormat, melainkan sebuah kekecewaan yang sudah membatu selama bertahun-tahun lamanya. Suasana menjadi sangat sunyi, bahkan deru angin pun seolah-olah berhenti bertiup untuk menyaksikan konfrontasi antara anak dan ayah yang sudah hancur hubungannya itu.

"Jika aku kembali, apakah kau akan melepaskan panti asuhan ini dan membiarkan mereka hidup dalam ketenangan tanpa gangguan dari anak-buahmu lagi?" tanya Fatimah dengan suara yang kini terdengar sangat mantap.

"Kau tidak punya hak untuk melakukan tawar-menawar denganku, Zahra! Kau adalah milikku dan kau harus mematuhi setiap perintah yang keluar dari mulutku!" balas Pratama dengan nada yang meninggi.

"Saya bukan milik Anda lagi sejak malam di mana Anda membiarkan kakak saya tewas di aspal berdarah hanya demi menutupi skandal kotor perusahaan Anda!" seru Fatimah dengan keberanian yang meledak secara tiba-tiba.

Tamparan keras mendarat di pipi Fatimah hingga cadarnya sedikit bergeser, membuat Ibu Sarah berteriak histeris dan Arfan langsung menarik Pratama menjauh dengan kemarahan yang sudah tidak terbendung lagi. Kekacauan pecah di teras panti asuhan itu saat anak-buah Pratama mulai merangsek maju untuk meringkus Arfan dan Fatimah secara paksa. Namun, di tengah keributan itu, Fatimah melihat sebuah peluang kecil untuk berlari ke arah pintu samping yang menuju ke gudang belakang panti yang sangat gelap.

Ia berlari sekuat tenaga, mengabaikan rasa perih di pipinya dan rasa sakit di hatinya yang terus membara, menuju ke arah kegelapan yang selama ini ia hindari dengan segenap kemampuannya. Arfan yang melihat Fatimah berlari segera melakukan perlawanan sengit untuk menahan langkah Haikal yang mencoba mengejar gadis itu dengan kecepatan penuh. Di tengah kekalutan itu, Fatimah mencapai pintu gudang dan menguncinya dari dalam, membiarkan dirinya ditelan oleh keheningan dan kegelapan total bangunan tua tersebut.

Namun, kegembiraannya hanya bertahan sekejap saja saat ia menyadari bahwa di dalam gudang itu, ia tidaklah sendirian. Ada sepasang mata yang berkilat di sudut gudang yang paling tersembunyi, menatapnya dengan tatapan yang sangat asing namun terasa sangat berbahaya bagi keselamatannya. Fatimah mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menyentuh dinding yang dingin, sementara sosok misterius itu mulai melangkah mendekat dengan perlahan-lahan dari balik bayang-bayang.

Teriakan di halaman depan panti asuhan semakin kencang terdengar, namun suara langkah kaki di dalam gudang yang gelap ini jauh lebih menakutkan bagi Fatimah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!