Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Benih cinta Erza.
Di dalam kabin mobil mewah yang kedap suara, Erza duduk membisu. Tangannya mantap di kemudi, matanya lurus menatap jalanan yang padat, seolah tak tergoyahkan oleh hiruk-pikuk kota Makassar yang mulai tenggelam dalam semburat senja keemasan. Namun di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bergemuruh. Ia sendiri tak paham mengapa refleksnya tadi begitu impulsif—menarik tangan Sellina dan membawanya masuk ke mobil tanpa penjelasan.
Sellina duduk di sampingnya, tubuhnya kaku, matanya menyapu interior mobil yang serba elegan namun terasa asing. Ia berusaha tetap tenang, meski jantungnya berdetak tak beraturan. Ketakutan dan rasa penasaran bercampur menjadi satu. Ia menatap Erza dengan sorot mata yang bergetar.
"Pak Erza mau bawa saya ke mana?" tanyanya, suaranya pelan namun tegas. "Kerjaan yang mana sih yang Bapak maksud?"
Ia mencoba mengingat-ingat, memastikan bahwa semua tugas hari ini sudah ia selesaikan. "Perasaan kerjaan hari ini sudah beres. Dan saya sudah kirim ke email Bapak loh."
Namun Erza tetap bergeming. Hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya. "Udah, nanti kau juga akan tau."
Sellina menoleh, menatap wajah pria itu yang tampak lebih gelap dari biasanya, bukan karena cahaya senja, tapi karena sesuatu yang tak bisa ia baca.
Di dalam hati, Erza bertanya-tanya, ‘Lagian ngapain aku bawa dia sih? Ada apa sih denganku ini?’'akkhh ... entahlah aku bingung.'
Tadi saat Erza yang tengah bersiap pulang, tak sengaja melihat pemandangan yang membuatnya berhenti.
Di depan lobi, Sellina tampak di hampiri seorang pria—Tristan. Meski ia tahu betul bahwa Tristan adalah suami sah Sellina, ada sesuatu yang mengusik dadanya. Rasa tak nyaman itu tumbuh cepat. Tanpa pikir panjang, Erza menghampiri mereka, menarik tangan Sellina, dan membawanya pergi. Spontan. Tanpa penjelasan.
Perjalanan mereka sunyi. Mobil mewah itu melaju membelah jalanan. Di dalam kabin, hanya suara mesin dan detak jantung yang terasa. Sellina duduk diam, sesekali melirik Erza yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka tiba di depan sebuah restoran berbintang. Erza memarkirkan mobilnya dengan cekatan, lalu turun tanpa berkata apa-apa. Sebelum melangkah lebih jauh, ia menoleh ke arah Sellina yang masih duduk terpaku.
"Kau mau di situ aja, gak mau turun?" ucapnya singkat.
Sellina menghela napas pelan, lalu turun dengan enggan. Ia menyusul Erza yang sudah berjalan jauh di depan.
Pelayan menyambut mereka dan mengantar ke sudut restoran yang tenang, dengan jendela kaca besar menghadap langit senja yang memukau. Cahaya keemasan menari di permukaan meja.
Sellina duduk, masih bingung. Ia menatap Erza yang kini tampak lebih tenang, namun tetap misterius.
"Kita mau makan, Pak?" tanyanya ragu.
Erza hanya mengangguk pelan, matanya menatap ke luar jendela.
Sellina menggeleng pelan, mencoba memahami. "Bukannya Bapak bilang ada kerjaan yang belum kelar?"
"Bisa diam gak? Bentar lagi kau juga tau," ucap Erza datar, tanpa menoleh.
Sellina terdiam, sedikit tersinggung. Tapi sebelum sempat membalas, Erza menambahkan dengan nada kesal, "Dan juga jangan panggil 'Pak', pak deh. Emang aku bapakmu!"
Ia mendengus, lalu melanjutkan, "Kalau di luar jam kantor jangan panggil itu. Panggil Mas kek, Kak juga boleh."
Sellina hanya bisa membatin, 'Ihh... dia kenapa sih? Aneh banget.'
Tak lama, beberapa pelayan datang membawa hidangan demi hidangan. Dari bruschetta yang harum, pasta dengan saus creamy, hingga tiramisu yang tampak menggoda. Meja mereka kini penuh, seperti jamuan makan malam keluarga kerajaan.
Sellina menelan ludah, matanya membesar. "Kok banyak banget. Apa kita bisa abisin semuanya?"
Erza menghela napas panjang, seperti sedang menahan kesal yang tak sepenuhnya serius. "Kau kan tau sendiri aku baru aja pecat koki kita. Restoran kita seharusnya ngeluarin menu baru. Jadi ... aku bawa kau kemari buat ngerasain makanan di sini dan lihat apakah kita bisa buat menu baru dari hasil surve ini. Ini buat referensi, Sellina."
Ia menatap Sellina sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tau kau pernah belajar masakan Italia, kan?"
Sellina terdiam sejenak, lalu mulai melahap satu per satu hidangan di meja dengan semangat yang tak biasa. Aroma masakan Italia memenuhi udara, menggoda selera dan menghangatkan suasana.
Di seberangnya, Erza hanya duduk tenang, sesekali menyesap air mineral, matanya tak lepas dari gerak-gerik Sellina. Ada senyum samar yang tak sempat muncul di bibirnya, tertahan oleh gengsi dan kebingungan dalam hati.
Ia tak bicara banyak, hanya menikmati momen itu.
Setelah makan malam selesai, Erza mengantar Sellina pulang. Waktu menunjukkan pukul enam sore. Di tengah perjalanan, Sellina meminta berhenti di sebuah masjid kecil di pinggir jalan untuk menunaikan kewajibannya. Erza menunggu di mobil, menatap langit yang mulai gelap, pikirannya melayang entah ke mana.
Tepat pukul tujuh tiga puluh malam, mereka tiba di kompleks perumahan Sellina. Erza tak berkata banyak, hanya mengangguk pelan saat Sellina turun dari mobil. Ia menatap punggung wanita itu yang perlahan menjauh, lalu melajukan mobilnya pergi.
Sementara itu, di dalam rumah, suasana jauh berbeda. Tristan duduk di ruang keluarga, gelisah. Di pangkuannya, Reykha tertidur dengan posisi miring, namun Tristan tak bisa tenang. Matanya sesekali melirik jam dinding, hatinya dipenuhi tanya dan amarah yang ia coba redam.
Reykha tiba-tiba bangun, duduk, dan menatap jam. "Ke mana sih dia, Mas? Jam segini belum pulang. Apa pantas seorang wanita bersuami kelayapan sampai malam kayak gini?"
Nada suaranya tajam, penuh sindiran. Ia tahu betul kata-katanya bisa menggores hati Tristan, dan itulah tujuannya. Ia ingin Tristan marah, kecewa, dan perlahan menjauh dari Sellina. Reykha tersenyum dalam hati, merasa semakin dekat dengan tujuannya.
Tristan terdiam. Ia tak langsung menjawab. Tapi sorot matanya berubah—dari gelisah menjadi curiga. Ia mencoba tetap tenang, namun benih keraguan mulai tumbuh.
Sellina melangkah masuk ke rumah dengan langkah lelah. Tangannya memutar knop pintu, dan seketika aroma rumah menyambutnya, tempat yang seharusnya menjadi pelipur lara setelah hari yang panjang.
Namun, langkahnya terhenti saat suara langkah Reykha terdengar dari arah ruang keluarga. Wajah Reykha tampak tegang, matanya menyorot tajam.
"Bagus. Jam berapa ini kau baru pulang? Gak sadar diri kau itu seorang istri, Sellina."
Sellina menatap Reykha tanpa berkata-kata. Tubuhnya mungkin berdiri tegak, tapi jiwanya sudah nyaris runtuh. Masalah di hotel tadi menguras habis energinya. Ia hanya ingin pulang, mandi air hangat, dan tidur tanpa mimpi buruk.
Belum sempat ia menjawab, Tristan muncul dari balik lorong, suaranya dingin dan menusuk.
"Apa sekarang kau senang udah jadi mainannya bos kau itu?"
Kata-kata itu menghantam seperti tamparan. Kedua alis Sellina terangkat, matanya membelalak. Ia tak menyangka akan dituduh sekejam itu.
ditunggu kelanjutannya❤❤