Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
It Takes Two To Tango
Keluar dari banda Soekarno-Hatta langkah Vanya terburu-buru, penerbangan paling cepat yang dia dapatkan adalah pagi ini dan ia harus menempuh waktu dua jam lebih. Hingga ia sampai hampir di jam dua belas siang. Perasaan Vanya tak karu-karuan, sejak mendapatkan pesan dari Alessia ia tak bisa bersikap tenang. Sebisa mungkin ia terus menerus menghubungi Alessia, selalu nihil. Ia menghubungi Miranda, ibu angkatnya. Hasilnya pun sama.
"Ada apa dengan semua orang, kenapa tak ada yang mengangkat telfonku." Vanya terus berusaha menghubungi salah satu dari anggota keluarganya. Karena sampai detik ini tak ada yang menjawab panggilannya, Vanya terpaksa menghubungi orang lain yang jelas tahu situasi mereka dengan pasti.
Vanya mengetik nama Mahesa di pencarian kontak dan langsung menghubunginya. Saat ini hanya Mahesa yang bisa memberikan informasi, Mahesa adalah asisten pribadi ayah angkatnya. Jika tidak dalam kondisi seperti ini dia tidak perlu repot-repot menghubungi Mahesa. Sayangnya semua anggota keluarganya sama sekali mengabaikan semua panggilannya kali ini.
Sambil melemparkan pantatnya ke jok penumpang taxi, Vanya menunggu panggilannya akan dijawab oleh Mahesa. Butuh sampai dengan enam deringan dan taxinya sudah meluncur keluar bandara hingga akhirnya panggilan tersebut dijawab oleh Mahesa.
"Hallo, Mahesa."
"Selamat siang, Nona."
"Sa, aku kok nggak bisa hubungi Alessia dan Ibu ya. Ada apa?" tanya Vanya, terlihat jelas di wajahnya kecemasan yang luar biasa. Setelah pesan yang dikirimkan oleh Alessia dan tak ada lagi balasan ataupun konfirmasi dari pihak keluarganya, Vanya tentu kelabakan.
"Maaf, Nona. Saat ini Nona Alessia dan Nyonya tidak bisa diganggu. Mungkin saya bisa sampaikan kepada mereka nanti."
"Jawab aku ya atau tidak, Sa."
"Apa maksudnya, Nona? Saya tidak mengerti."
Vanya menghela nafasnya, menyimpan rasa cemas di dadanya sungguh menyesakkan. "Kamu hanya perlu menjawab aku dengan kata ya atau tidak, apa kamu mengerti?"
Ada jeda dari Mahesa, tampaknya asisten itu sedang menimbang perkataan Vanya dan apa yang harus ia lakukan.
"Ya, saya mengerti."
"Apakah hari ini Alessia menikah?"
Lagi, sebuah jeda dan kali ini cukup lama sehingga menimbulkan asumsi liar di pikiran Vanya. Sebagai seorang pengacara meski ia baru bekerja selama setahun, dia merasa tahu jika seseorang yang memberi jeda saat percakapan biasanya orang tersebut sedang mencerna perkataan lawan bicaranya atau sedang membuat skenario jawaban yang akan dia lontarkan.
"Mahesa, jawab! Ya atau tidak?"
"Maaf, Nona, tapi-"
"Saya anggap ucapan kamu sebagai pembenaran, aku tanya sekali lagi apakah acaranya sudah di mulai?"
"Maaf, Nona, saya tidak bisa memberitahukan detailnya." Mahesa terdengar tegas, seperti dia biasanya. Asisten pribadi ayah angkat Vanya itu mantan pasukan khusus Tentara Nasional Indonesia, yang memutuskan untuk keluar dari militer setelah penugasannya di Afganistan. Vanya tidak pernah mendapati Mahesa lembek, pria itu selalu tegas dan susah diajak negosiasi.
"Tidak ada yang memintamu untuk menjelaskan detailnya." Vanya memutar matanya kesal. "Aku hanya bertanya apakah acaranya sudah dimulai atau belu-" kali ini ucapan Vanya terpaksa tak bisa ia selesaikan karena Mahesa tiba-tiba memutus sambungan. Dan sebelum sambungan terputus ia mendengar ada yang berbicara dengan nada panik.
Vanya berusaha untuk menghubungi Mahesa lagi, tapi kali ini tak ada jawaban dari pria itu. Kepanikan kini mulai menyerang Vanya, debaran jantungnya mulai dua kali lebih kencang dari biasanya. Dia berusaha menghubungi lagi dan lagi tapi tak ada jawaban.
"Pak, tolong lebih cepat ya. Boleh lewat jalan mana aja yang penting cepat ya pak." Vanya menegaskan, dia tidak bisa begini, seperti orang bodoh tak tahu apa-apa.
Mungkin hubungannya dengan Alessia belumlah lama, awalnya hubungan mereka berawal dari pertemanan di bangku SMA. Karena Vanya seorang siswa yang sangat berprestasi di sekolahnya, Alessia sering meminta Vanya untuk membantunya belajar. Hal ini diketahui oleh orang tua Alessia yang merupakan seorang konglomerat ternama-Harun Murya.
Bujukan Alessia lah yang akhirnya membuat orang tuanya mengadopsi Vanya sebagai anak mereka, Vanya pun diberikan fasilitas layaknya Alessia, ia diberi beasiswa kuliah dari yayasan yang dimiliki oleh orang tua Alessia.
Begitu masuk ke dalam keluarga Murya, Alessia sudah menganggap Vanya seperti saudaranya sendiri. Semua hal selalu ia utarakan pada Vanya, bahkan hal sekecil apapun ia selalu berbagi dengan Vanya. Bahkan sebelum orang tuanya, Alessia selalu mengenalkan pria-pria yang dekat dengannya kepada Vanya terlebih dahulu.
Menjadi bagian keluarga dari Harun Murya tentu bukan sesuatu hal yang mudah, Vanya harus membuktikan bahwa dirinya memang pantas mendapatkan apa yang dia miliki saat itu. Dengan kecerdasannya dia bisa menyelesaikan studinya hanya tiga tahun, lalu bertekad untuk membalas kebaikan keluarga sahabatnya itu. Salah satunya dengan melindungi saudarinya, Alessia.
Dan mendapatkan kabar pernikahan ini dari mulut Alessia secara tiba-tiba, bukanlah hal baik. Vanya tahu jika pria itu jelas-jelas bukan pilihan Alessia sendiri, jika memang pilihannya sendiri tentu pernikahan tidak akan dilaksanakan begitu cepat dan mendadak. Vanya mencium ada sesuatu yang busuk dari pernikahan dadakan ini.
"Nona, kita sudah sampai." Sopir taxi memanggil Vanya yang masih berkutat dengan ponselnya sampai dia tidak menyadari jika kini sudah berada di depan rumah orang tua angkatnya.
Setelah membayar taxi, Vanya langsung keluar dan disambut oleh dua bodyguard yang berdiri di depan pagar rumah tersebut. Lagi, ini merupakan sesuatu yang baru. Meski keluarga konglomerat, tak biasanya keluarga mereka menggunakan bodyguard untuk menjaga pintu rumah.
Vanya melangkah untuk masuk, tapi kedua bodyguard bertubuh besar dan terlihat seperti raksasa di depan Vanya itu menghalanginya.
"Serius?"
"Maaf, orang luar dilarang masuk tanpa ijin." Salah seorang bodyguard itu menjawab.
"Saya bukan orang asing, saya adalah putri ke-dua Bapak Harun Murya." Vanya mengaku tentang identitasnya, karena hanya itu satu-satunya cara agar dirinya bisa masuk ke dalam.
Tapi, dua orang itu menatapnya dari atas hingga ke bawah menilai penampilannya. Memang jika dibandingkan dengan Alessia yang selalu berpenampilan modis, pakaiannya selalu feminim, dengan warna-warna yang cerah, jauh berbanding terbalik dengan Vanya yang lebih suka berpakaian formal dengan warna-warna yang lebih gelap tapi tetap saja tak ada satu barang murah yang melekat padanya.
"Kalian bisa konfirmasi ke Mahesa atau langsung ke ayah saya." Vanya memelototi kedua bodyguard yang berani-beraninya menilai penampilan luarnya.
"Kami tidak bisa melakukan itu sekarang, silakan pergi!"
"Apa?"
"Silakan pergi." Salah seorang bodyguard tersebut mempersilakan Vanya untuk pergi dengan isyarat tangannya.
Vanya mendengus kesal, kenapa dia tidak bisa masuk ke rumah keluarganya sendiri. Benar dirinya memang bukan keluarga kandung, tapi secara hukum Pak Harun Murya adalah ayahnya. Vanya berusaha untuk menghubungi Mahesa, tapi lagi-lagi tak ada jawaban.
Dalam kebingungan itu, Vanya menoleh kembali ke para bodyguard itu, memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Vanya ide gila.
"Yes! Kalian tidak akan bisa menghentikanku." Vanya menyeringai penuh kemenangan lalu bergegas pergi dari tempat tersebut. Menuju ke bagian samping rumah tersebut. Vanya masih ingat bahwa ada bagian pagar di samping rumah yang bisa dijadikannya untuk masuk ke dalam rumah.
Bagian pagar itu dulu sering digunakan Alessia untuk diam-diam keluar saat malam jika tidak ingin pergi tanpa pengawasan, dan Vanya selalu menjadi saksi akan hal itu. Kini ia akan memanfaatkan tempat itu untuk masuk ke dalam rumah.
...***...
Jari-jari Rendra begitu erat memegang ponselnya, sedikit lagi dengan kekuatannya ia sudah bisa dipastikan meremukkan ponselnya. Mata Rendra jelas menyorot apapun yang tampil di layar ponselnya. Nafasnya menjadi lebih cepat, jelas sekali ada amarah yang timbul dan mulai menguasai dirinya.
Saat ini ia sedang membaca pesan dari calon istrinya untuk yang ke sepuluh kali. Sebuah pesan dengan foto yang membuktikan pesan tersebut tidak dibuat-buat.
Alessia
Bye! Mau menikah denganku? Bermimpilah!
Photo
...
...
"Dimana pengantinku, Harun?" Jengah dengan situasinya saat ini, Rendra pun mempertanyakan keberadaan Alessia.
Rupanya semua orang pun merasa gelisah, karena sang pengantin yang tak muncul lebih dari setengah jam.
"Saya akan panggilkan dia, saya mohon anda untuk bersabar." Harun pun gelisah, dia juga sudah menunggu lebih dari setengah jam tapi anaknya itu tak juga muncul. Bahkan istrinya mendadak hilang entah kemana.
"Apa kamu pikir bisa membodohiku?" Rendra menunjukkan pesan dan foto yang dikirimkan oleh Alessia kepada sang ayah. Tepat saat itu juga, Harun langsung berdiri terkejut.
Bukan hanya Harun yang terkejut, bahkan penghulu, saksi-saksi yang tak lain adalah para asisten-Souta dan Mahesa-kini terkejut setengah mati. Mahesa langsung berdiri, menggunakan earpiecenya ia menghubungi pengawal yang sudah disiagakan untuk menjaga rumah ini.
"Tunggu, anda salah paham. Biar saya cari Alessia." Harun ketakutan setengah mati, ia menoleh ke kanan dan ke kiri berusaha mencari keberadaan istri atau anaknya itu. Harun panik, ia tidak tahu harus berbuat apa, sementara nasibnya tergantung pada akad putrinya hari ini.
"Setengah jam," ucap Rendra penuh penekanan.
"Saya tidak mengerti," ujar Harun yang memang sama sekali tidak mengerti apa maksud ucapan Rendra.
"Kuberi waktu setengah jam atau pernikahan ini batal."
Tidak boleh. Pernikahan ini tidak boleh batal. Harun mengepalkan tangannya, dia tidak bisa menghancurkan semuanya, ia harus segera menemukan putrinya.
"Baik, baik, saya pasti akan segera membawa putri saya kemari."
Rendra menghiraukan ucapan Harun, ia berdiri dan beranjak pergi tapi Harun menahan lengannya sehingga Rendra terhenti. Pria itu menurunkan pandangannya pada lengannya, melihat tangan Harun dengan tajam.
"Anda sudah memberikan setengah jam, kenapa anda pergi?" Harun benar-benar panik.
"Aku butuh udara segar, lepaskan."
Seperti seekor anjing yang menurut pada majikannya, begitupula dengan Harun. Dia benar-benar menuruti ucapan Rendra dan melepaskan tangannya dari lengan pemuda itu.
"Bang, mau kemana?" tanya Souta yang mengekor di belakang Rendra.
"Diam di sana dan pastikan Harun tidak mati kena serangan jantung sebelum putrinya kembali," titah Rendra.
"Baik Bang."
Rendra tak lagi memedulikan betapa kacaunya ruangan yang akan digunakan sebagai akad nikah itu. Harun panik yang terus berusaha menghubungi entah siapa, mungkin istri atau putrinya. Lalu ada Mahesa yang bolak balik memeriksa setiap ruangan, penghulu yang tidak tahu harus berbuat apa, dan hanya Souta yang tenang dan bermain ponsel, membuka aplikasi tiktok untuk menonton video yang lucu, kapan lagi dia bisa bersantai kalau bukan saat ini.
Langkah Rendra lebar, ia keluar dari ruangan dan menuju ke salah satu sudut rumah ini. tujuannya adalah gazebo yang terletak di samping kolam renang, sampai di sana ia merogoh saku celana setelan putihnya dan mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik api besi, ia mengeluarkan satu batang dari bungkusnya, lalu membakar ujungnya hingga menyala jingga. Rendra mengisapnya perlahan, menikmati rasa rokok menghangatkan tenggorokannya sembari memerhatikan kekacauan di dalam rumah.
Tiba-tiba saja Rendra mendengar suara aneh, seperti seseorang sedang menginjak besi. Rendra memerhatikan sekitar untuk mencari sumber suaranya. Lantas ia menemukan sesuatu yang sangat tidak terduga.
Ada kaki yang berusaha untuk masuk ke dalam pagar, Rendra langsung menghampirinya. Mungkin saja itu adalah pengantinnya yang kabur dan memutuskan untuk kembali. Dengan sabar dan masih menikmati tiap hisapan rokoknya, Rendra menunggu di bawah pagar sambil mengamatinya sampai pemilik tubuh ramping itu menginjakkan kakinya ke tanah.
"Wuarghh!" gadis itu menjerit keras sambil menutup matanya ketakutan saat ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Rendra menjulang tinggi tepat di belakangnya.
Rendra terkejut karena teriakan gadis itu, sedikit tidak menyangka jika ada seseorang yang bisa berteriak dengan keras lebih dari Galih. Ia memasang wajah datarnya, menekan batang rokok ke tempat sampah di sampingnya dan menatap lekat-lekat gadis yang kini sedang memandanginya tanpa ada perasaan terkejut lagi di wajahnya.
"Kamu! Apa yang kamu lakukan sampai-" Ucapan Vanya menggantung begitu saja di udara saat tangannya mendadak ditarik oleh telapak tangan besar Rendra dan mereka berjalan pergi.
"Hentikan! Berhenti!" Vanya menghentakkan tangan Rendra hingga akhirnya langkah mereka berhenti tepat di area yang menghubungkan antara ruangan untuk akad dan kolam renang.
"Jelaskan padaku, Mas Rendra! Apa maksud semua ini? Kenapa tiba-tiba kamu menikah dengan Alessia?" suara Vanya yang keras itu menarik perhatian seluruh umat manusia yang ada di ruang tengah, kekacauan mereka terhenti sejenak, teralihkan oleh keberadaan Vanya dan Rendra yang bersampingan.
"Alessia kabur," ungkap Rendra. Seketika itu juga Vanya mendongak untuk menatap Rendra.
"Hah! Syukurlah kalau begitu! kamu memang tidak pantas bersanding dengannya." Vanya merasa bersyukur karena Alessia kabur dari pernikahannya.
"Kalau begitu kamu saja yang gantikan." Tepat setelah mengatakannya, Rendra kembali menggandeng tangan Vanya dan mulai melangkah.
"Apa?" Vanya belum mencerna perkataan Rendra tapi ia sudah diseret oleh tubuh tinggi kekar itu melangkah mendekati ruangan akad. Semua orang melihat mereka bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.
"Mas! Hentikan! Jangan Gila!" untuk yang kedua kalinya, Vanya menyentakkan tangan Rendra.
"Aku tidak sudi menikah denganmu!" penolakan keras itu terlontar dengan keras dari bibir ranum Vanya.
Ada kilatan amarah dalam mata Rendra karena penolakan itu, ia mendekatkan dirinya pada Vanya. Mensejajarkan kepalanya dengan kepala Vanya, meletakkan telapak tangannya yang besar di bahu Vanya dan membuat gadis itu merasa tak nyaman tapi Rendra menekankan telapak tangannya pada bahu Vanya.
"Kamu tidak punya pilihan lain, Vanya Anantari. Menikah dengan saya atau kamu akan melihat kehancuran keluarga Murya," bisik pemilik telapak tangan hangat yang kini mencengkram bahu Vanya.
...*Bersambung*...
...Object Of Desires | TIGA - It Takes Two To Tango | 2025...
semangat nulisnyaa yaaaa