Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Dimulai! Dukungan Tak Terduga
...1 Oktober 1982....
Hari yang ditunggu seluruh pendekar dari Sabang sampai Merauke akhirnya tiba-Ujian Nasional Naik Sabuk resmi dimulai.
Sejak subuh, Padepokan Suryajenggala sudah ramai. Tim Sapta bersiap bersama Mbah Kunto, ditemani tiga tim perwakilan lain:
Tim Asta dengan Tubagus Tansil,
Tim Nawa dengan Mawar Sunda,
Tim Dasa dengan Cipta Kaisiepo.
Mereka mengenakan setelan silat hitam khas Suryajenggala, tampak gagah sekaligus tegang.
Dalam perjalanan menuju Padepokan Sarasvati, Cindeloka beberapa kali mencuri pandang ke arah Mawar Sunda, guru Tim Nawa. Tatapannya penuh tanya.
Lisna yang duduk di sebelahnya akhirnya menyenggol bahunya.
"Kenapa sih nengok terus?"
Cindeloka mendesah pelan.
"Aku cuma... penasaran. Gimana guru Mawar bisa selamat dari kejadian dua belas tahun lalu? Itu... hampir musnahin seluruh klannya, Lis."
Lisna terdiam. Ia pun tak punya jawabannya.
Sesampainya di gerbang Padepokan Sarasvati, Cindeloka ternganga.
Peserta ujian membludak di lapangan utama-ratusan pendekar muda dari berbagai klan, aliran, dan padepokan. Warna-warna seragam silat mereka memenuhi tempat itu seperti lautan yang bergolak.
Padepokan Sarasvati, bangunan batu raksasa yang bentuknya menyerupai Candi Borobudur namun dengan aura yang jauh lebih kelam daripada monumen apa pun yang dikenal manusia. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti gunung batu bertingkat-sembilan lapis dunia yang semakin menyempit ke atas, seakan ingin menelan langit.
Batu-batunya gelap, hampir hitam, memantulkan kilau kebiruan jika terkena cahaya bulan. Pada setiap dinding terukir ribuan relief misterius, bukan kisah Buddha seperti Borobudur, melainkan gambaran arwah, makhluk bersayap patah, prajurit tanpa kepala, dan roda mandala yang berputar mengeluarkan asap. Relief-relief itu tampak bergerak pelan ketika kabut malam sedang pekat-seolah hidup oleh energi kuno yang tak pernah dimurnikan.
Di bagian puncak terdapat stupa utama yang tampak retak-retak. Dari celah retaknya kadang keluar asap putih seperti napas makhluk besar yang tertidur di dalamnya. Murid-murid percaya bahwa di bawah stupa itu, tersegel kekuatan kuno yang hanya akan bangkit ketika dunia berada di ambang kehancuran.
Namun di tengah keramaian itu, satu figur membuat tubuhnya menegang.
Seorang pemuda dari Padepokan Pinrang, bersetelan hijau dengan sabuk putih.
Aswin dari Klan Sombaya, ditemani dua saudaranya, Seruni dan Unyil.
Cindeloka melihatnya sekali-dan instingnya langsung bereaksi.
Mata merah danaraksa miliknya berkedip sepersekian detik.
Dalam pandangan itu, ia melihat sesuatu yang tidak asing:
kutukan.
Kutukan yang sama seperti dirinya.
Kutukan Parakang dari Klan Sombaya.
Aura Aswin gelap, mencekam, menyimpan kebuasan yang nyaris tak bisa disembunyikan. Tatapan matanya seperti mata pemburu yang haus darah.
Aswin menyadari tatapan itu. Ia memalingkan wajah dengan dingin.
Cindeloka buru-buru menunduk, tenggorokannya mengering.
Mbah Kunto mendekat dan menepuk bahu mereka semua.
"Ingat, anak-anak. Tenang adalah senjata pertama kalian."
Mereka berjalan menuju gedung ujian. Tapi suara-suara miring segera mengikuti langkah Cindeloka.
"Eh itu... anak klan Leak Sunda kan?"
"Katanya bawa sial..."
"Jangan dekat-dekat, nanti Maung Bodas keluar."
"Tragedi Suryadwipa itu, 'kan gara-gara mereka?"
Cindeloka mengepalkan tangan. Nafasnya berat.
Shiva menahan bahunya sebelum ia meledak.
Namun bantuan datang dari arah yang tak terduga.
Tim Asta menghampiri.
Hana Hosang, dengan insting mistisnya, menatapnya dalam-dalam.
"Kamu tidak bersalah, Cin. Kegelapan tidak membuatmu jahat."
Yoyo-yang biasanya pemalas-mengangguk sambil menepuk pundaknya.
"Bahkan bayangan pun cuma ada karena cahaya, kawan."
Kiki pun ikut berseru.
"Semangat, Cin! Kamu nggak sendirian kok!"
Lalu Tim Dasa dan Tim Nawa ikut merapat, mengelilinginya seperti perisai hidup.
Beben Tabuni, dengan jiwa pejuang Timurannya, berteriak lantang:
"Tidak ada pendekar besar yang lahir tanpa ujian berat! Kau wakil Suryajenggala, berdirilah tegak!"
Cindeloka terdiam-hangat untuk pertama kalinya menggantikan rasa takutnya.
Setibanya di ruang ujian, mereka langsung disambut tatapan tajam dari peserta lain.
Ada yang sinis. Ada yang meremehkan. Ada pula yang hanya menatap dengan rasa ingin tahu.
Keempat tim dari Suryajenggala mengambil kursi masing-masing.
Panitia berjalan ke depan ruangan.
Suara gong dipukul sekali.
"UJIAN NASIONAL NAIK SABUK DIMULAI!"
Tahap pertama:
Ujian Tertulis.
Tes yang menguji kemampuan kritis, filosofi, sejarah silat, dan kecerdasan seorang calon pendekar.
Kertas ujian dibagikan.
Ruangan tenggelam dalam keheningan.
Ujian telah dimulai.
Dan tidak ada jalan untuk mundur.
*
Di ujung barat daya Suryadwipa, di mana garis pantai patah dan berubah menjadi jurang-jurang karang yang mencabik ombak, terdapat sebuah tempat yang tidak pernah dicantumkan di peta resmi mana pun: Desa Jimbaran. Desa itu berdiri seperti luka tua di atas dinding tebing hitam, dihantam angin asin yang membawa suara-suara yang jarang dianggap berasal dari dunia manusia.
Pada saat fajar, sinar matahari seakan enggan menyentuh tanah Jimbaran. Kabut kehijauan menggantung rendah, seperti napas makhluk purba yang terperangkap antara dunia yang terlihat dan yang tak kasat mata. Pepohonan kelapa berdiri bengkok, seolah selalu menunduk pada sesuatu yang lebih tua, lebih kelam, lebih lapar dari manusia.
Di tengah desa itulah berdiri rumah milik Nyi Rangdageni-perempuan yang namanya digambarkan dalam catatan tua sebagai "ratunya angin malam yang memilih berjalan di antara karang, bukan di antara manusia."
Rumahnya bukan rumah biasa.
Atapnya berbentuk segitiga patah, menjulang bagai sisik raksasa.
Dindingnya terbuat dari kayu akik kelabu yang memantulkan cahaya dengan cara yang tidak masuk akal-cahaya itu tidak terang, tetapi tampak seperti gerakan halus dari sesuatu yang mengamati balik.
Di depan rumah tergantung ratusan lonceng dari tulang ikan, digantung dengan tali serat palma yang diputihkan oleh bulan. Ketika angin malam bertiup, lonceng itu tidak berbunyi-melainkan berbisik, seperti doa yang dipaksakan keluar.
Nyi Rangdageni tidak pernah terlihat berjalan seperti manusia lain. Ia lebih seperti bayangan yang meluncur, berputar di balik kabut, sesekali menampakkan wajahnya yang pucat laksana bulan purnama yang belum penuh. Matanya selalu kosong namun penuh sesuatu yang tak bisa dinamai-campuran nostalgia dan dendam yang belum selesai sejak zaman kerajaan runtuh.
Jimbaran bukan desa mati, Ia adalah desa yang sedang menunggu.
Warga desa jarang terlihat pada siang hari. Mereka lebih suka berkumpul saat malam, saat laut memantulkan cahaya kehijauan dari dalam kedalamannya, seperti ada sesuatu yang menyala di dasar samudra. Majelis malam itu disebut Bale Maleman, tempat rakyat Jimbaran melantunkan mantra-mantra leluhur yang diyakini mampu memanggil roh-roh penuntun.
Namun malam itu berbeda.
Malam ketika Nyi Rangdageni kembali dari perjalanannya ke utara.
Ia kembali dengan tatapan yang lebih gelap daripada biasanya-tatapan seperti seseorang yang telah melihat masa depan dan memutuskan untuk merusaknya.
Di balik rumahnya, terdapat sebuah pendapa tua yang disebut orang sebagai Paseban Karang Wisesa-tempat ia menyusun rencana. Pendapa itu selalu dipenuhi cahaya lilin merah yang tidak pernah padam, seakan setiap api itu adalah lidah kecil dari iblis-iblis penunggu karang.
Di atas meja batu itu terhampar peta pulau Suryadwipa, dengan garis-garis hitam yang ditarik seperti akar pohon mati, menghubungkan titik-titik penting:
Aula Agung Padepokan, Menara Sarasvati, Asrama Putri, Asrama Putra, dan Lembah Bayusi.
Di tengah peta terpancang sebuah jarum besi hitam. Tepat di atas tulisan:
"Ujian Nasional Sabuk Madya - Hari Pertama."
Nyi Rangdageni tersenyum pelan-senyum yang tidak benar-benar milik manusia.
Dalam keheningan angin malam, bibirnya bergerak membisikkan kalimat yang menetes seperti racun:
"Pandega Indra Oktovian membuka pintu ketika Sabuk Madya diuji... dan aku akan masuk tanpa mengetuk."
Suryadwipa adalah pusat Cahaya Nusantara.
Jimbaran adalah pusat bayangan.
Dan ketika cahaya sedang sibuk menguji murid-muridnya, bayangan selalu mencari jalan untuk merebut panggung.
Pagi itu, laut di bawah tebing Jimbaran bergolak, memercikkan buih kehijauan ke langit seperti tanda bahwa sesuatu telah dibangunkan. Para warga desa menyalakan lilin-lilin di puncak karang, dan angin yang membawa bisikan tulang mulai berputar naik, menuju arah utara.
Nyi Rangdageni berdiri di ambang jendela rumahnya, menatap Suryadwipa yang jauh seperti seorang ibu menatap anak hilang-dengan cinta, dengan benci, dengan rindu, dengan dendam.
"Sudah waktunya," katanya.
*
Menara Sarasvati berdiri anggun di kaki gunung Suryajenggala, menjulang tinggi dengan arsitektur Majapahit yang megah: dinding bata merah yang disusun tanpa semen, relief para dewa yang seakan bergerak ketika cahaya matahari berubah, serta pintu paduraksa berukir naga kembar yang menjaga jalur masuk.
Namun pagi itu, meski cahaya matahari terbit memantulkan warna keemasan pada permukaan bata, suasana di dalam menara terasa suram, berat, dan penuh desis yang tidak seharusnya terdengar di tempat sakral.
Di lantai tertinggi, di kantor Dewan Sarasvati yang hanya diterangi lampu minyak damar, Pandega Bumi Nusantara Indra Oktovian berjalan mondar-mandir seperti bayangan gelisah.
Langkahnya bergaung pelan di lantai batu hijau.
Bajunya-kain hitam bersulam benang emas berbentuk garuda Majapahit-terus berkibar oleh hembusan angin dari jendela tinggi yang terbuka.
Indra berhenti sejenak di depan jendela itu.
Dari sana ia melihat hamparan Suryadwipa:
Padepokan Sarasvati berarsitektur Borobudur,
taman luas yang berlapis kabut lembut, halaman Padepokan yang bersiap menyambut hari keenam Ujian Sabuk Madya. Semuanya tampak tenang, terlalu tenang untuk hati seorang Pandega.
Indra menyipitkan mata.
Udara membawa sesuatu-desahan samar yang seperti berasal dari jauh. Bukan angin, bukan binatang malam, bukan pula suara murid yang berlatih.
Ini... lebih tua.
Lebih gelap.
Ia mengusap dada, mencoba menenangkan napasnya.
"Nyi Rangdageni bergerak... aku bisa merasakannya."
Ia melangkah lagi, kali ini menuju meja Dewan: sebuah meja batu hitam yang dipahat dari satu bongkah besar, penuh ukiran kala-makara. Di atasnya terbentang gulungan-gulungan naskah, rekaman energi, dan laporan pengintai dari segitiga barat Nusantara-termasuk Jimbaran.
Satu gulungan terbuka, digoreskan tinta merah:
"...kabut hijau mulai naik tiga malam terakhir."
"...lonceng-boneka bergerak tanpa angin."
"...bayangan perempuan terlihat di tebing barat."
Indra menutup mata. Tangannya mengepal.
"Kenapa saat Ujian Sabuk Madya? Kenapa sekarang?"
Ia tahu jawabannya.
Ujian itu adalah saat murid-murid terfokus pada diri, bukan pada ancaman luar.
Suryadwipa paling rentan pada masa ujian-itulah mengapa awal pendirian padepokan menetapkan penjaga energi ganda. Tetapi kini, penjaga itu sedang dipulangkan sementara ke Loka Arga.
Seakan dunia bersekongkol dengan bayangan dari Jimbaran.
Indra menunduk, jari-jarinya mengetuk relief singa Majapahit di meja itu.
Ketukan itu terdengar seperti detak waktu yang semakin cepat.
"Rangdageni tidak akan menyerbu dengan pasukan... dia akan datang sebagai badai."
Tiba-tiba, lampu damar berkedip-kedip.
Angin dingin menyusup masuk, merayap di sepanjang dinding bata merah, meniupkan bisikan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Indra sontak menoleh ke pintu paduraksa yang menghubungkan kantor Dewan dengan ruang rapat.
Relief kepala naga di atasnya tampak bergerak satu garis halus-seakan membuka mata.
Indra memijit pelipisnya.
Matanya merah, bukan karena lelah, melainkan karena tekanan energi yang terus menghantam kesadarannya.
Ia sadar:
Ini bukan sekadar firasat.
Ini peringatan.
Ia mengambil tongkat rotan hitam-simbol Pandega-yang sejak tadi bersandar di pinggir kursi kayu jati. Begitu tongkat itu disentuh, permukaannya berdenyut pelan, seperti bambu hidup yang sedang menahan napas.
"Jika Jimbaran ingin datang... biar aku yang menyambutnya."
Suaranya rendah, namun tegas.
Ia berdiri tegak, sama tegaknya relief arca Majapahit di dinding menara.
Sorot matanya kini berubah.
Kecemasan masih ada, tetapi terkunci di balik lapisan tekad seorang pemimpin yang tahu bahwa bayangan tidak boleh dibiarkan melangkah lebih jauh.
Ia melangkah keluar dari kantor Dewan.
Setiap langkahnya bergetar di lantai batu, memanggil penjaga-penjaga energi yang belum lama tidur.
Di luar, angin membawa kabar baru dari selatan.
Kabar gelap.
Kabar yang akan mengguncang Suryadwipa dalam hitungan jam.
Dan sementara itu di kejauhan...
Di Jimbaran...
Nyi Rangdageni tersenyum.