Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raka Masak Mie
Malam itu, hujan mengguyur kota kecil mereka dengan suara lembut yang menenangkan. Toko Kita Jaya sudah tutup sejak satu jam lalu, tapi lampu di bagian belakang, tepatnya di pantry kecil dekat gudang, masih menyala redup. Aroma mie rebus kembali memenuhi ruangan seperti deja vu yang manis.
Intan duduk di kursi plastik hijau dengan jaket yang digulung jadi bantal, bersandar di tembok. Kakinya diangkat ke bangku lain, sambil memeluk bantal jaket itu dengan ekspresi santai, rilex, wajah imut. Raka berdiri di depannya, serius mengaduk mie dalam panci kecil yang dipanaskan dengan kompor portable.
"Mas, jangan lupa kasih cabai rawit ya, 10 Biji. Aku suka yang pedesnya sampai nyetrum!" kata Intan, ceria.dengan wajah imutnya.
"Nyetrum? Kamu yakin mau perutmu konslet malam-malam begini? Kalau kenapa-napa nanti bisa-bisa di Opname." goda Raka sambil membuka bungkus sambal tambahan dan menaburkannya perlahan.
"Nyetrum dikit nggak apa-apa. Yang penting hangat. Nggak bakalan di opname."
"Kamu ngeyel bangat yah di bilangin.yah udah, nanti kalau kamu kenapa-napa karena makan mie yang cabenya 10 biji, Sakitnya di pindahin ke aku aja. Lagian kamu tau nggak filosofi mie itu apa?" Ucap Raka
"Emang Mie ada filosofinya?, bukannya Kopi aja yah Mas yang ada filosofinya gitu?" tanya Intan.
"Kamu kayak nggak tahu aja, mie rebus itu bukan cuma buat dimakan." Jawab Raka
Intan mengangkat alis. "Maksudnya?"
Raka tersenyum. "Mie itu simbol. Simbol dari kesederhanaan yang bisa bikin orang bahagia. Kamu tahu nggak, ada orang yang makan lobster tapi nggak bahagia. Tapi ada juga yang makan mie instan di emperan, tapi hatinya penuh rasa syukur."
Intan menatap Raka lama. Matanya yang bening berkedip-kedip seperti menyimpan sesuatu yang ingin diucapkan, tapi tertahan.
"Aku suka cara kamu masak mie," katanya akhirnya.
"Kenapa? enak yah? Juga yang masak Ganteng. Jadi rasah mienya double enak."
"Iya Karena yang Masak Ganteng. Tapi juga... karena Mas Raka selalu masakin buat Intan duluan, bukan buat Mas."
Raka terdiam. Tangannya berhenti mengaduk. Ia menoleh perlahan dan menatap Intan dengan pandangan yang lebih dari sekadar teman kerja.
"Kalau kamu lapar, bilang aja, ntar aku yang masakin mid buat kamu, Tan."
Kalimat itu membuat udara mendadak berubah. Hening sesaat menyelimuti mereka berdua, hanya disela suara hujan yang turun semakin deras di luar sana.
Intan menunduk, menyembunyikan pipi yang mulai memerah.
"Mas, kamu serius ngomong gitu?"
"Serius. Karena... entah kenapa, aku ngerasa kamu kayak hobi makan mie tiap hari."
Intan tertawa kecil, menutupi rasa gugupnya.
Raka mendekat, membawa dua mangkuk mie rebus yang mengepul harum. Ia duduk di samping Intan, menyerahkan satu mangkuk.
"Nggak. Lebih penting dari itu. Kayak air panasnya. Tanpa itu, mie nggak bisa jadi apa-apa."
Intan memegang mangkuknya pelan, matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena sedih, melainkan karena ada sesuatu yang mulai tumbuh perlahan tapi pasti. Sesuatu yang hangat dan mengenyangkan, seperti mie rebus di malam hujan.
"Aku... nggak biasa diperlakukan kayak gini, Mas."
"Kayak gimana?"
"Kayak orang penting, spesial. Biasanya orang cuma butuh aku kalau mereka nggak ada yang lain. Aku itu... plan Z. Atau Mas bilang gitu karna mau minjem duit ke Intan?. Uang Mas habis?" Ucap Intan dengan wajah polosnya.
Raka menggeleng. "Kamu bukan plan Z. Kamu justru alasan kenapa semua rencana hidupku jadi lebih berarti. Dan juga uang aku masih ada. Nggak perlu minjem ke kamu" Ucap Raka sambil tersenyum lebar.
Intan menatap Raka lama. Hujan masih turun. Mie masih panas. Tapi yang paling membara malam itu adalah perasaan yang makin sulit disangkal.
"Kalau gitu... boleh nggak aku minta satu hal, Mas?"
"Jangankan satu hal. Dua hal, tiga hal sampe sepuluh hal juga bisa. Sebutin aja."
"Masak mie ini lagi nanti. Tapi pas aku lagi sedih. Biar aku ingat kalau aku nggak sendiri." Minta Intan.
Raka tersenyum, menatap gadis mungil di hadapannya seolah ia adalah harta karun yang tak ternilai.
"Ok. Aku Raka Dirgantara janji bakalan buatin Intan mie kalau lagu sedih." Ucap Raka deng pose seperti super hero.
"He,,,Raka Dirgantara?, bukannya nama Mas itu Raka Purnama?" Tanya Intan dengan wajah bingung.
"Eh...Iya Raka Purnama. Terlalu semangat." jawab Raka dengan wajah gugup.
...*****...
Keesokan harinya, suasana toko tetap sibuk. Tapi ada aura berbeda yang menggelayuti Raka dan Intan. Mereka mulai saling lempar senyum tanpa alasan. Kadang saling diam, tapi diam yang nyaman. Kadang saling sapa, tapi sapaan yang punya makna.
"Mas, mau nggak aku buatin kamu makan malam nanti?" tanya Intan tiba-tiba saat sedang menyusun tumpukan sabun cuci.
"Loh, bukannya biasanya kamu yang minta dimasakin?"
"Kali ini gantian dong. Masa Intan terus yang dimanja?"
"Wah, boleh banget. Tapi aku agak khawatir. Aku nggak perna lihat kamu masak?"
Intan memonyongkan bibir. "Masak mie bisa dong."
"Lah, balik lagi ke mie?"
"Tapi kali ini... yang masak bukan kamu. Jadi rasanya beda. Siap-siap ya, Mas. Intan bakalan buat mie terenak sejagat raya yang belum Mas makan dimanapun. Rasahnya pasti bedah." Ucap Intan meyakinkan Raka.
Dan malam harinya, untuk pertama kalinya, Raka duduk santai di pantry sambil menyilangkan kakinya. sementara Intan sibuk memegang panci dan bumbu. Wajahnya serius, tapi juga gemas.
"Kalau rasa mie-nya aneh, itu karena hatiku masih belajar," ucapnya Intan sambil mengaduk.
Raka tertawa. "Kalau rasa hati masih belajar, berpengaruh ke rasa mie juga yah?" Tanya Raka.
Setelah mie matang, mereka makan berdua seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini, mie itu punya rasa berbeda. Bukan cuma asin, manis, atau pedas. Tapi juga rasa nyaman. Rasa damai. Dan rasa cinta yang perlahan-lahan, tanpa mereka sadari, mulai tumbuh subur tak terbendung.
Malam itu, sebelum pulang, Raka berjalan pelan ke rak mie dan menempelkan sebuah catatan kecil.
"Bukan soal kadaluarsa atau mereknya. Tapi siapa yang masak dan siapa yang makan bareng."
Intan menemukan catatan itu besok paginya. Ia membacanya berulang kali, lalu menyelipkannya ke dalam dompetnya, di samping foto neneknya yang sudah lusuh.
Hatinya bahagia.
Dan ia tahu, mie instan bukan lagi sekadar penyelamat akhir bulan. Tapi juga benih-benih cinta yang perlahan tumbuh dari dapur kecil di gudang Toko Kita Jaya, tawa lepas, dan hujan yang turun diam-diam.
Bersambung.