Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 14
Restoran itu tenang dengan cahaya remang yang hangat. Aroma rempah dan panggangan memenuhi udara, menemani Aruna dan Bagas yang duduk berhadapan di meja pojok dekat jendela. Aruna membuka buku menu, matanya menelusuri daftar hidangan sambil tersenyum kecil. Malam ini terasa seperti awal yang baru, pikirnya.
Namun belum sempat ia memilih hidangan, ponsel Bagas berdering. Bagas melihat layar sejenak lalu mengangkat, suaranya langsung berubah riang.
"Eh, bro! Iyalah gue udah dapet kabarnya. Gila ya, akhirnya juga dapet kesempatan bareng NGC!"
Tawa Bagas pecah.
"Makanya, gue mikir bikin tim kecil, gitu. Gue butuh orang-orang kayak elo juga, yang udah paham ritme kerjaan gini. Nanti kita bisa mulai garap dari bulan depan..."
Aruna mengangkat pandangannya, memperhatikan suaminya yang makin larut dalam obrolan. Satu sisi, ia ingin ikut bahagia. Tapi sisi lain dalam dirinya mulai terusik. Ini malam yang ia harapkan bisa memperbaiki jarak, bukan memperlebar.
Ia letakkan buku menu. “Mas... bisa ditutup dulu teleponnya?”
Bagas menoleh singkat, mengangkat jari telunjuk, memberi isyarat ‘sebentar’.
Namun Aruna menghela napas pelan, mencoba menahan diri, lalu berkata lebih tegas, “Mas, ini kan momen penting kita berdua. Kita jarang banget punya waktu seperti ini. Bisa nggak, fokus dulu ke makan malamnya?”
Bagas terdiam, akhirnya sadar nada Aruna bukan sekadar kesal ada kekecewaan di sana. Ia melihat mata istrinya yang menunggu.
Ia menghela napas, “Sorry, Bro. Nanti gue kabarin lagi ya. Lagi dinner sama istri nih,” katanya di ujung telepon sebelum menutupnya.
Ia menaruh ponsel di meja, lalu menatap Aruna. “Maaf. Aku cuma terlalu senang tadi.”
Aruna tak langsung menjawab. Ia hanya kembali membuka buku menu, pelan-pelan. Tapi kali ini, ada senyum kecil yang tulus meski masih menyimpan luka ringan dalam diam.
Mereka kembali membuka menu, mencoba memulihkan suasana. Aruna menunjuk satu dua hidangan, berharap malam ini tetap bisa menjadi momen berdua yang berkesan. Tapi belum sempat mereka benar-benar menentukan pilihan, ponsel Bagas kembali berdering.
Nada dering yang tadi membuat semangat, kini terasa seperti gangguan yang tidak diinginkan.
Aruna menghela napas panjang. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya memalingkan wajah sejenak.
Bagas menatap layar ponselnya, lalu menoleh ke Aruna dengan raut sedikit bersalah. “Sebentar aja, ya. Takutnya penting banget...”
Sebelum Aruna menjawab, ia sudah mengangkat telepon. Suaranya berubah formal, menyebut nama-nama teknis yang bahkan Aruna tak ingin mengerti malam ini.
Pelan-pelan, Aruna menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan tangan di depan dada. Matanya tidak lagi menatap menu, tapi suaminya. Ia memerhatikan setiap gerak-gerik Bagas dengan diam, tak ada lagi senyum atau harapan seperti sebelumnya.
Ada perasaan hampa yang muncul begitu saja. Bukan karena Bagas menjawab telepon. Tapi karena kini ia yakin suaminya telah berubah. Fokusnya, kehadirannya, bahkan mungkin hatinya... tak lagi sepenuhnya berada di sini. Bersama dirinya.
Akhirnya, Aruna memesan menu seadanya hanya untuk menghentikan pelayan yang sudah lama menunggu dengan sabar di sisi meja mereka. Ia tidak lagi berniat memilih dengan hati, hanya sekadar menyudahi.
Tak lama kemudian, makanan datang bersamaan dengan Bagas yang baru menutup teleponnya. Ia tampak puas dengan percakapannya, tapi wajah Aruna sudah berubah.
"Ini... makanan yang kamu pesan?" tanya Bagas sedikit bingung, memandangi sepiring ayam goreng dan sayur bening.
"Iya," jawab Aruna datar. "Sama aja kayak yang kita makan di rumah."
Bagas menatap piring itu, lalu menoleh ke Aruna. "Kenapa nggak pilih yang lain? Sayang dong udah jauh-jauh ke sini."
Aruna menghela napas, menahan kekesalan. "Gimana aku mau diskusi kalau kamu sibuk sendiri? Pelayan tadi udah berdiri di samping kita cukup lama. Aku pesan aja seadanya."
Suasana menjadi dingin. Makan malam yang seharusnya jadi momen hangat kini berubah hambar.
"Aku rasa kamu memang sudah berubah, Mas," ucap Aruna lirih tapi jelas. "Sibuk dengan urusanmu sendiri. Bahkan saat kita punya waktu berdua seperti ini, kamu nggak benar-benar hadir."
Bagas mendongak, sedikit tersentak. "Lho, bukannya kamu tadi juga yang bilang mendukung aku? Kamu tahu kan, ini penting untuk aku..."
Aruna menatapnya, tapi tak ingin memperpanjang. Ia menunduk, menyendok nasi tanpa selera. "Kalau mau bahas, nanti aja di rumah. Ini tempat umum. Aku nggak mau jadi tontonan."
Bagas terdiam. Suara sendok beradu dengan piring jadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Makan malam itu, yang seharusnya penuh kehangatan, berubah jadi satu lagi momen sunyi yang menyisakan jarak.
Mereka menyelesaikan makan malam itu dalam diam, tanpa percakapan hangat, tanpa senyum yang biasanya menyertai setiap suapan. Piring-piring kosong di depan mereka seperti saksi bisu bahwa malam itu tidak berjalan seperti yang diharapkan Aruna.
Dalam perjalanan pulang, hanya sunyi yang mengisi ruang di dalam mobil. Bagas menyetir dengan tatapan lurus ke depan, sementara Aruna memandangi jendela, pikirannya melayang ke berbagai sudut. Sesekali ia mencuri pandang ke arah suaminya, ingin membuka percakapan, tapi enggan memulai di tempat yang salah.
Dalam hati, Aruna tahu ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ada yang perlu dibicarakan. Ada luka kecil yang bisa jadi besar jika terus diabaikan. Ia ingin membahas semuanya, tapi tidak sekarang. Ia ingin menunggu sampai mereka tiba di rumah, tempat yang lebih tenang, tempat segalanya bisa terbuka dengan jujur. Ia tidak ingin masalah mereka menjadi drama yang dipertontonkan.
Sesampainya di rumah, Aruna langsung masuk lebih dulu, menyalakan beberapa lampu yang sempat dimatikan saat mereka pergi. Suasana rumah terasa sedikit hampa, seolah menyerap emosi yang menggantung di antara mereka.
Bagas meletakkan kunci mobil di meja, melepaskan jaketnya dan menyandarkannya di sandaran kursi. Aruna masih berdiri di dekat dapur, tangannya menyentuh mug kosong yang tadi pagi belum sempat dibereskan.
Suara hening itu akhirnya dipecahkan oleh Aruna. Suaranya pelan, tapi tegas.
"Aku rasa... kita perlu bicara, Mas."
Bagas menatapnya sekilas, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Aruna menarik napas dalam. "Tapi mungkin... besok pagi saja. Aku juga lelah."
Bagas hanya menjawab dengan anggukan singkat, lalu berjalan menuju kamar. Aruna menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu, sebelum akhirnya mematikan lampu ruang tengah satu per satu.
Malam itu rumah terasa tenang, tapi bukan karena damai melainkan karena ada yang sedang menunggu untuk diungkapkan.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor