NovelToon NovelToon
CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:665
Nilai: 5
Nama Author: Rii Rya

dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

eps 20. SUATU PERUBAHAN BESAR

“Jangan pernah putus asa...

Jangan menyerah pada keadaan.

Di dunia ini, keajaiban selalu hadir,

bahkan ketika kau terjebak di tengah ladang berduri sekalipun.”

Salju di luar semakin menebal, membuat suhu menusuk hingga ke tulang. Sejak satu jam lalu, tangan besar dan hangat itu terus menggenggam tangan Alana yang telah tersambung infus.

Sesekali, Sean mengusap lalu mengecup punggung tangan istrinya, seakan berkata bahwa ia tidak akan pernah pergi ke mana pun dan akan selalu berada di sisinya. Alana sendiri telah terlelap sejak diberi obat oleh perawat, agar dapat beristirahat dengan maksimal sebelum menghadapi operasi besok pagi.

Tak lama kemudian, suara pintu terbuka. Langkah sepatu terdengar mendekat.

"Daddy," panggil Ryuga pelan. Pemuda itu baru saja tiba menyusul Sean dan Alana ke Rusia.

Sean menoleh, lalu tersenyum sangat tipis.

Ryuga menyentuh bahu ayahnya, mencoba menguatkan. "Mommy pasti bisa melewati semua ini. Aku yakin."

Sean mengangguk. "Istirahatlah lebih dulu. Kau pasti terkena jet lag."

Ryuga menurut. Ia pun merebahkan diri di sofa besar di ruangan itu. Tubuhnya terasa remuk akibat penyusupan kemarin, dan lengannya masih nyeri karena terluka.

Namun sebenarnya, Ryuga tidak benar-benar tertidur. Ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata, pikirannya tak henti memikirkan kondisi Mommy-nya. Sesekali, ia melirik ke arah Sean yang masih terus menggenggam tangan Alana.

\*\*Di Vila\*\*

Alejandro gelisah. Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari, namun ia tak juga bisa tenang. Kadang ia berdiri, lalu duduk kembali. Entah apa yang sebenarnya ingin ia lakukan.

"Elena... kenapa dia menghindari ku sejak kemarin?" gumamnya pelan sambil menatap pintu kamar yang tertutup rapat.

Sejak peristiwa itu, saat Elena pingsan setelah menembak mati Arthur dengan tangannya sendiri, gadis itu berubah pendiam. Tak sepatah kata pun keluar untuk Alejandro. Ia tak menggubris kehadiran pria itu.

Alejandro berdiri di depan pintu kamar Elena. Ia mengetuk pelan dan memanggil gadis itu. Tak ada respons. Kepanikannya meningkat, lalu dengan lancang ia memutar knop dan membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Kosong. Elena tidak ada di sana.

Panik, Alejandro mengeluarkan ponselnya, hendak menelepon. Namun sebelum sempat menekan tombol, ia melihat Elena masuk dari luar dengan wajah dingin.

"Elena!" seru Alejandro sambil tergesa mendekat dan memegangi kedua bahu wanita itu.

Matanya melotot melihat pakaian Elena penuh noda merah. Ia mengira itu darah, namun aroma cat lukis segera menguar, membuatnya sedikit lega.

Elena menepis tangan Alejandro dan langsung mendorong pria itu keluar dari kamarnya, tanpa sepatah kata pun.

Alejandro bingung. Ia takut Elena mengalami trauma dan melakukan hal nekat. Dengan penasaran, ia menuju ruang favorit Elena yaitu studio melukisnya.

Saat membuka pintu, aroma cat basah menyengat. Alejandro menekan saklar lampu dan langsung tersentak. Di hadapannya tergantung banyak lukisan mengerikan. Wajah Arthur dan Wigantara terpampang dalam kanvas, dipenuhi warna merah pekat. Alejandro mengusap tengkuknya yang meremang.

"Kenapa aku merasa... Elena bukan dirinya lagi? Ada jiwa psikopat dalam lukisan-lukisan ini..." gumamnya.

Keesokan harinya, Elena kembali menghilang. Tak ada di rumah. Alejandro segera menuju studio, tapi gadis itu pun tak ada di sana.

Ia berlari ke area belakang vila dan menemukan Elena tengah jongkok, membelakanginya.

"Dia sedang apa di sana...?" gumam Alejandro.

"Elena... kau sedang ap—" kata-katanya terhenti saat melihat gadis itu tengah menusuk-nusuk seekor tikus hitam dengan ujung kuas.

"Elena! Hentikan!" Alejandro menarik tangan gadis itu dan menahan bahunya.

"Dia menggangguku. Menggigit kanvas lukisanku," jawab Elena datar.

Setelah itu, ia kembali berjongkok, hendak mengulangi aksinya. Tikus itu jelas sudah mati.

"Elena!" bentak Alejandro. Gadis itu akhirnya  menoleh.

Elena berdiri tegak, menatap Alejandro tanpa ekspresi.

“Kau dipecat,” ucapnya dingin, lalu berbalik dan melangkah pergi tanpa penjelasan sedikit pun.

Alejandro terdiam. Tubuhnya membeku di tempat, namun tatapannya terus mengikuti langkah Elena yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik pintu kayu itu.

"Dipecat? Apa maksudnya...?"

Alejandro menunduk, matanya menatap bangkai tikus yang sudah hampir hancur di tanah. Ia segera beranjak ke gudang, mengambil cangkul, lalu mengubur makhluk malang itu sebelum aroma busuk menyebar ke seluruh area villa.

Kemudian, Alejandro kembali masuk dan berdiri di depan pintu kamar Elena. Ia mengetuk perlahan.

Kali ini, tak perlu menunggu lama. Pintu terbuka, dan Elena berdiri di sana, tatapannya dingin, menusuk, penuh jarak.

Ia hendak menutup pintu kembali, namun Alejandro menahan tangannya. Genggamannya erat. Tatapan matanya menembus manik hazel milik gadis itu, penuh kegelisahan dan luka yang tak terucapkan.

"Apa kau berniat terus diam seperti orang mati? Hanya sekadar bernapas tanpa benar-benar hidup?"

Napas Alejandro berembus berat. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Elena dengan lembut.

"Elena... jangan seperti ini. Tolong katakan padaku. Apakah aku berbuat salah? Atau ada kata-kata yang tanpa sadar telah melukaimu?"

Elena mengalihkan pandangannya. Suaranya terdengar dingin dan penuh jarak.

"Tidak ada. Aku sudah memecat mu, jadi... pergilah."

Ia mendorong Alejandro menjauh. Namun pria itu justru menarik pinggang rampingnya, menarik tubuh itu lebih dekat, begitu dekat hingga napas mereka menyatu di udara yang terasa sesak oleh emosi.

"Jangan abaikan aku, Elena... Kau membuatku gila. Aku...aku mencintaimu."

Elena tersentak. Matanya memerah.

"Pembohong! Kau pembohong, Al! Semua orang... pembohong!"

Suara Elena berubah histeris. Ia menutup telinganya, mundur beberapa langkah, lalu meraih sebuah gunting dan mengarahkannya ke Alejandro.

Dengan sigap, Alejandro merebut benda tajam itu dari tangannya, tanpa sedikit pun menyakiti gadis itu. Ia lalu memeluk Elena erat, membiarkan tubuh rapuh itu terisak dalam pelukannya.

(Elena tengah dihantui trauma. Gadis yang bahkan tak sanggup membunuh seekor semut pun, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ia telah mengangkat pistol dan menghabisi nyawa Arthur hanya dengan satu tembakan. Luka batin itu terlalu dalam untuk dijelaskan, terlalu gelap untuk disinari logika.)

"Tenanglah... Aku di sini. Aku ada untukmu," bisik Alejandro sambil mengusap rambut Elena. Sesekali, bibirnya menyentuh pucuk kepala gadis itu dengan lembut, seolah mencoba menyambung kembali kepingan jiwa yang retak.

Sementara itu, di taman belakang rumah sakit besar...di Rusia.

Sean duduk terpaku di bangku tua, menatap kosong ke arah langit senja yang seolah ikut merunduk dalam duka.

Hatinya penuh dengan ketakutan. Pikiran buruk berseliweran, mengguncang jiwanya. Alana kini tengah berada di ruang operasi. Dan ia...ia tak sanggup menunggu di depan pintu itu, menanti kabar yang entah akan menyelamatkan atau menghancurkan.

Kedua tangannya menutupi wajah. Air mata kembali mengalir, tak bisa ia tahan lagi.

Saat itu, ia merasakan kehadiran seseorang. Perlahan, ia menurunkan tangannya. Seorang wanita tua mendekat dengan kursi roda. Senyum lembutnya menyapa, lalu tangannya yang penuh keriput menyodorkan sapu tangan berwarna merah muda.

Lalu ia berkata dalam bahasa Rusia:

"Жизнь нелегка, даже если мы стараемся изо всех сил. Однако часто мир не позволяет нам быть счастливыми. Но счастье все равно существует, пока мы можем дышать, верно?"

(“Hidup itu memang tidak mudah, meskipun kita telah berusaha semampu kita. Namun sering kali, dunia tidak mengizinkan kita untuk bahagia. Tapi kebahagiaan itu tetap ada... selama kita masih bisa bernapas, bukan?”)

Kalimat itu mengguncang Sean. Hatinya tergetar hebat. Kata-kata itu... persis seperti yang pernah Alana ucapkan belasan tahun silam, saat ia berada di titik terendah hidupnya.

Dengan suara bergetar, Sean menerima sapu tangan itu dan mengucapkan terima kasih.

Wanita tua itu kembali bicara, lembut namun penuh kekuatan, yang artinya:

"Jangan pernah putus asa... Jangan menyerah pada keadaan. Di dunia ini, keajaiban selalu hadir, bahkan ketika kau terjebak di tengah ladang berduri sekalipun."

Sean terdiam, menatap wajah wanita itu dengan tatapan nanar. Kata-katanya menyelinap ke dalam relung hati yang paling dalam. Dan dia kembali menundukkan wajahnya.

Namun saat ia mengangkat wajahnya lagi, wanita itu... sudah menghilang. Tak ada kursi roda, tak ada jejak. Sean berdiri, menoleh ke segala arah, namun yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang tanpa arah.

Ia menatap sapu tangan di tangannya. Menggenggamnya erat.

Lalu dengan langkah pasti, Sean kembali ke dalam rumah sakit. Ia memilih untuk menunggu.

Menunggu Alana...istrinya, jiwanya, separuh dari hidupnya...yang sedang berjuang dalam sunyi.

Ia yakin. Alana pasti kuat.

Dan ia... akan selalu menunggu. Dalam doa, dalam harap, dan dalam cinta yang tak pernah padam.

Sementara itu di tanah air

Langit ibu kota tampak kelabu, seolah turut berduka atas hancurnya sebuah kekuasaan yang dulu diagungkan.

Gedung putih kebanggaan rakyat kini tak lagi megah, melainkan menjadi saksi bisu dari kehancuran seorang pria yang pernah dielu-elukan sebagai penyelamat bangsa.

Hari itu, Majelis Tinggi Negara secara resmi mencopot Presiden Adalrich Wigantara dari jabatannya. Tidak dengan hormat. Tidak dengan penghargaan. Tapi dengan penuh amarah dan kehinaan.

Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Ketua Mahkamah Negara, diikuti dengan daftar panjang atas tuduhan:

penggelapan dana negara senilai lebih dari 30 triliun rupiah, penyelewengan proyek nasional, serta kepemilikan aset gelap di luar negeri atas nama samaran. Beberapa menteri kepercayaannya, Menteri Keuangan, Menteri Infrastruktur, menteri pertahanan hingga Sekretaris Kabinet  ikut ditangkap setelah operasi yang dilakukan oleh Sean dkk beberapa waktu lalu.

Kabar itu menyambar publik seperti petir di siang bolong. Kerusuhan kecil pecah di beberapa daerah, rakyat marah, kecewa, dan merasa dikhianati.

Sosial media meledak, tagar \#WigantaraTikusnegara

\#pengkhianatno.1 menjadi trending global dalam hitungan menit.

Wartawan dari seluruh dunia berkumpul di depan Istana, meliput setiap detik peristiwa memalukan yang menandai akhir dari era Wigantara.

Namun, dunia belum selesai mengguncang Adalrich Wigantara.

Tak lama setelah pencopotan, sebuah dokumen rahasia bocor ke publik. Dan itu adalah dokumen yang sempat Sean dan juga alejandro berikan beberapa hari sebelum penyusupan itu dilakukan, mereka memberikan informasi tersebut pada sebuah media yang terpercaya dan berpengaruh.

'Presiden Adalrich Wigantara memiliki seorang putri dari istri simpanannya yang telah meninggal dunia secara misterius lima belas tahun lalu. Putri itu tinggal tersembunyi, jauh dari sorotan, dan tak pernah diakui secara resmi. Namanya...'Elena.'

Berita itu menyulut api di dalam hati Diana Wigantara, istri sah sang presiden, yang selama ini berdiri anggun di samping suaminya dalam setiap acara kenegaraan. Tapi hari itu, Diana bukan lagi Ibu Negara. Ia adalah wanita yang merasa dikhianati dua kali oleh pengkhianatan suami dan kematian putranya, Arthur, yang tewas mengenaskan dalam konflik hari itu.

Diana muncul di depan sidang pengadilan dengan gaun hitam dan sorot mata dingin. Ia menyerahkan seberkas surat perceraian dan surat kuasa penarikan seluruh aset milik keluarga Wigantara yang berada di bawah namanya. Dengan lantang dan tegas, ia berkata...

"Saya, Diana Wigantara, mencabut seluruh hak atas nama Wigantara dalam kekayaan saya. Tidak ada lagi ruang untuk pengkhianat dalam hidup saya. Mulai detik ini, nama Wigantara saya hapus. Termasuk dari hati saya."

Ruang sidang menjadi sunyi, lalu meledak oleh suara kilatan kamera dan bisik-bisik para hadirin. Adalrich hanya tertunduk di bangku pesakitan, wajahnya pucat, punggungnya membungkuk. Ia tak lagi seorang presiden. Tak lagi seorang ayah. Bahkan, tak lagi seorang suami. Ia hanyalah pria tua yang ditelan oleh ambisinya sendiri.

Media-media besar dunia, CNN, BBC, Al Jazeera, NHK, bahkan Deutsche Welle, memberitakan kejadian itu sebagai skandal politik terbesar di Asia Tenggara dekade ini.

Foto Diana meletakkan surat cerai di atas meja hijau menjadi sampul majalah TIME edisi bulan itu, dengan judul "The Fall of a Tyrant Inside the Collapse of President Wigantara."

Dan di tengah kehancuran itu, sosok Elena, sang putri tersembunyi, mulai dikenal publik. Apakah dia akan muncul sebagai elena wigantara  atau justru memutuskan ikatan darah dengan nama yang kini dibenci banyak orang?

Itu masih menjadi misteri.

1
Mamimi Samejima
Terinspirasi
Rock
Gak nyangka bisa sebagus ini.
Rya_rii: terima kasih 😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!