NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sangkar Emas Makau

Helikopter pribadi itu mendarat dengan mulus di atap sebuah gedung pencakar langit di Makau, baling-balingnya membelah udara yang lembap dan penuh dengan aroma uang. Saat pintu terbuka, yang melangkah keluar bukanlah Leo dan Isabella. Yang keluar adalah Lars dan Annelise Vanderholt.

Transformasi mereka begitu total hingga nyaris supernatural. Leo, yang kini adalah Lars Vanderholt, mengenakan setelan Tom Ford berwarna arang yang dipesan khusus, pas di tubuhnya yang ramping. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi, dan di matanya terpasang kacamata hitam Cartier yang menyembunyikan tatapan dinginnya. Ia tidak lagi berjalan dengan ketenangan seorang chef; ia berjalan dengan arogansi predator dari seorang miliarder teknologi Eropa yang telah melumat lusinan perusahaan saingan sebelum sarapan. Setiap gerakannya disengaja, ekonomis, dan memancarkan aura bahaya yang terkendali.

Di sisinya, melingkarkan lengan di lengannya, adalah Annelise. Isabella telah menanggalkan citra Ratu dunianya yang kelam dan mengenakan kulit baru yang tak kalah mematikan: seorang trophy wife Eropa Timur dengan kecantikan yang menusuk dan tatapan bosan yang menyiratkan bahwa seluruh dunia adalah taman bermainnya yang sedikit mengecewakan. Ia mengenakan gaun sutra berwarna zamrud yang sederhana namun harganya setara dengan sebuah mobil, dan di lehernya tergantung sebuah kalung berlian yang menangkap cahaya matahari Makau dan memantulkannya kembali dengan kilau yang menyilaukan.

Mereka tidak berbicara. Mereka tidak perlu. Bahasa tubuh mereka sudah menceritakan sebuah kisah: sebuah pasangan berkuasa yang terbiasa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, kapan pun mereka inginkan.

Sebuah Rolls-Royce Phantom hitam telah menunggu di bawah. Perjalanan mereka menyusuri Cotai Strip adalah sebuah serangan terhadap indera. Hotel-hotel kasino raksasa menjulang seperti monumen-monumen kristal dan emas, replika Menara Eiffel dan kanal-kanal Venesia berdiri berdampingan dengan arsitektur ultra-modern. Neon dan layar LED raksasa menjeritkan janji kekayaan instan dan kenikmatan tanpa batas. Udara di sini terasa berbeda dari Jakarta. Di Jakarta, kekuasaan tersembunyi di dalam bayang-bayang. Di sini, kekuasaan dipamerkan dengan sombong, diterangi oleh jutaan lampu.

"Tempat ini..." bisik Isabella, atau Annelise, suaranya rendah, "...membuatku mual."

"Bagus," balas Leo, atau Lars, tanpa menoleh. "Gunakan itu. Kebosanan dan sedikit rasa jijik adalah aksesori terbaik bagi seorang miliarder."

Mereka tiba di "The Crown Spire", hotel paling eksklusif di Makau, di mana suite termahalnya telah mereka pesan selama seminggu penuh. Suite itu sendiri adalah sebuah istana di langit, dengan kolam renang pribadi di balkon, pelayan pribadi 24 jam, dan jendela dari lantai ke langit-langit yang menawarkan pemandangan seluruh kota. Di dalam, tim pendukung mereka yang telah tiba lebih dulu—termasuk Si Kembar, Riko dan Maya, yang kini menyamar sebagai asisten pribadi dan kepala keamanan Vanderholt—memberikan laporan singkat.

"Suite ini aman," lapor Maya, suaranya datar. "Kami sudah memeriksa setiap sudut, tidak ada penyadap. Tim di bawah sudah memetakan semua rute keluar-masuk. Bianca memiliki akses penuh ke sistem keamanan hotel. Kita adalah hantu di dalam mesin."

"Bagus," kata Leo. "Fase pertama: buat keributan. Kita perlu memastikan nama 'Vanderholt' menjadi buah bibir di kalangan elite kota ini dalam waktu 24 jam."

Malam itu, mereka turun ke lantai kasino. Bukan ke area umum yang ramai, tetapi ke Salon Privé, ruang-ruang judi pribadi di mana taruhannya dimulai dari angka yang bisa membeli sebuah apartemen. Berita tentang kedatangan miliarder Eropa yang misterius telah menyebar. Semua mata tertuju pada mereka saat mereka mengambil tempat di meja Baccarat dengan taruhan tertinggi.

Dan mereka mulai bermain.

Leo, sebagai Lars, bermain dengan agresi yang diperhitungkan. Ia tidak terlihat menikmati permainan; ia terlihat sedang menaklukkannya. Ia akan menaikkan taruhan ke angka-angka yang membuat para pemain veteran lainnya menelan ludah, terkadang menang besar, terkadang kalah besar, tetapi selalu dengan sikap acuh tak acuh yang sama, seolah uang itu tidak berarti apa-apa baginya. Isabella, sebagai Annelise, duduk di sampingnya, menyesap sampanye kristal, tampak bosan. Sesekali ia akan berbisik di telinga Leo, dan Leo akan langsung melipatgandakan taruhannya. Mereka menciptakan sebuah citra yang sempurna: seorang pria yang didorong oleh ego dan seorang wanita cantik yang menjadi pemicunya.

Dalam beberapa jam, mereka telah "kehilangan" hampir sepuluh juta dolar. Tapi mereka tidak kehilangan apa-apa. Mereka sedang membeli sesuatu yang jauh lebih berharga: reputasi. Mereka adalah pemain baru yang gila, kaya raya, dan tak terduga. Persis seperti jenis ikan paus yang akan menarik perhatian para predator di lautan ini.

Keesokan paginya, saat mereka sedang sarapan di balkon suite mereka, seorang pelayan hotel mendekat dengan hormat. Ia membawa sebuah nampan perak. Di atasnya, bukan makanan, melainkan sebuah amplop tunggal berwarna gading dengan segel lilin berukir sangkar burung.

Tidak ada nama, tidak ada alamat. Hanya undangan.

Leo membukanya. Di dalamnya, sebuah kartu tebal dengan tulisan kaligrafi emas: "The Gilded Cage dengan hormat mengundang Anda untuk bergabung dalam sebuah malam apresiasi barang-barang langka dan kesempatan unik." Di bawahnya, tertera waktu, dan sebuah koordinat GPS.

Umpan itu telah dimakan.

BAGIAN 2: SENI PENIPUAN

Lokasi lelang itu bukanlah sebuah gedung yang mencolok. Itu adalah sebuah vila pribadi tiga lantai yang terletak di atas bukit di Coloane, bagian Makau yang lebih tenang dan lebih tua. Dari luar, tempat itu tampak seperti kediaman pribadi yang elegan. Tapi Leo tahu, di balik dindingnya terdapat sistem keamanan yang menyaingi pangkalan militer. Bianca, dari ruang perang di Jakarta yang terhubung dengan tim di Makau, telah menghabiskan 36 jam terakhir untuk mempelajari sistem itu.

"Ini gila," lapor Bianca melalui earpiece Leo yang tersembunyi. "Setiap tamu memiliki chip biometrik di dalam undangan mereka. Pemindai wajah, sensor tekanan, bahkan analisis gaya berjalan. Tempat ini dirancang untuk memastikan hanya orang yang diundang yang bisa masuk."

"Fokus pada tujuan kita, Bianca," kata Leo tenang saat Rolls-Royce mereka menaiki jalanan bukit yang berkelok. "Kita tidak perlu meretas masuk. Kita sudah diundang. Yang aku butuhkan darimu adalah profil dari setiap tamu di dalam sana. Aku ingin tahu siapa mereka, berapa kekayaan mereka, dan yang terpenting, siapa di antara mereka yang punya reputasi sebagai kolektor barang langka yang obsesif."

Saat mereka melangkah keluar dari mobil, mereka disambut oleh barisan penjaga berjas hitam yang bergerak dengan efisiensi pasukan khusus. Mereka melewati tiga lapis pemeriksaan keamanan sebelum akhirnya diizinkan masuk ke dalam.

Interior vila itu adalah sebuah kuil kemewahan yang sunyi. Para tamu—tidak lebih dari lima puluh orang—berbaur dalam kelompok-kelompok kecil, berbicara dengan suara pelan. Leo dan Isabella bisa merasakan tatapan mata dari seluruh ruangan, menganalisis mereka, mengukur mereka. Mereka mengenali beberapa wajah dari berita utama dunia: seorang syekh minyak dari Arab, seorang oligarki Rusia, seorang pewaris kartel dari Kolombia. Ini adalah pertemuan puncak dari dunia bayangan.

"Selamat datang di Sangkar Emas, Tuan dan Nyonya Vanderholt," sapa seorang wanita paruh baya dengan gaun hitam yang elegan. Ia adalah penyelenggara lelang, seorang wanita dengan senyum ramah dan mata seekor ular. "Kami senang Anda bisa bergabung."

"Kesenangan ada di pihak kami," balas Leo dengan aksen Belandanya yang dibuat-buat. "Kami dengar koleksi Anda malam ini cukup... istimewa."

Saat mereka berbaur, Bianca mulai bekerja di telinga Leo.

"Pria yang berbicara dengan syekh itu adalah Jenderal Naga, seorang panglima perang dari Segitiga Emas... Wanita berambut merah di dekat piano adalah 'The Countess', seorang pedagang senjata... Pria tua Asia yang berdiri sendirian di dekat jendela... tunggu sebentar... namanya muncul di beberapa daftar pantauan intelijen. Dikenal sebagai 'The Curator'. Tidak ada yang tahu nama aslinya, tapi dia adalah perantara untuk barang-barang paling langka di dunia."

Leo dan Isabella secara halus mengamati pria itu. Ia tampak biasa saja, seperti seorang pensiunan. Tapi ada aura ketenangan dan pengamatan yang tajam pada dirinya. Mungkinkah itu Jäger?

Lelang dimulai. Barang-barang yang ditawarkan luar biasa: sebutir berlian biru yang pernah dimiliki oleh seorang kaisar, sebuah manuskrip kuno yang dianggap hilang, bahkan sebuah satelit mata-mata Soviet yang dinonaktifkan. Leo dan Isabella tidak menawar. Mereka hanya menonton, membiarkan antisipasi terbangun.

Akhirnya, item puncak malam itu tiba. "Dan sekarang," kata si juru lelang, "sebuah barang bagi para kolektor sejati. Sebuah legenda dalam bentuk cair. Salah satu dari dua belas botol yang diketahui masih ada di dunia. The Macallan 1926."

Sebuah kotak kayu yang indah dibawa ke atas panggung. Di dalamnya, sebotol wiski berwarna gelap beristirahat di atas lapisan sutra. Ruangan itu menjadi sunyi. Ini adalah momen yang mereka tunggu.

"Penawaran dimulai dari satu juta dolar," kata juru lelang.

Tangan-tangan mulai terangkat. Satu juta. Satu setengah. Dua juta.

Tuan Tanaka dari Yakuza, yang juga hadir, menawar hingga tiga juta sebelum akhirnya mundur. Oligarki Rusia itu menaikkannya menjadi empat.

Lalu, "The Curator", pria tua misterius itu, mengangkat papan nomornya dengan tenang. "Lima juta."

Seluruh ruangan menoleh padanya. Ini adalah tawaran yang serius.

Saat juru lelang hendak menutup penawaran, Leo akhirnya mengangkat papannya. "Sepuluh juta," katanya, suaranya datar, seolah sedang memesan kopi.

Napas tertahan terdengar di seluruh ruangan. Lompatan sebesar itu bukan lagi penawaran; itu adalah sebuah pernyataan perang.

Mata "The Curator" menyipit, menatap Leo dari seberang ruangan. Ia tampak terusik. Ia mengangkat papannya lagi. "Sebelas juta."

"Dua puluh juta," balas Leo seketika, tanpa ragu.

Isabella, yang berperan sebagai Annelise, menepuk lengan suaminya dengan main-main. "Jangan buang-buang waktu, Lars sayang. Tawarkan saja angka yang akan membuat mereka semua diam."

Leo tersenyum pada istrinya, sebuah pertunjukan yang sempurna. Ia menoleh kembali ke juru lelang. "Baiklah. Lima puluh juta dolar. Penawaran terakhir dari kami."

Keheningan total. Angka itu absurd, gila. Itu jauh melampaui nilai pasar dari botol itu. Ini bukan lagi tentang koleksi. Ini tentang ego murni.

"The Curator" menatap Leo lama, sebuah duel tatapan terjadi di antara mereka. Lalu, dengan sebuah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat, ia menurunkan papannya. Ia kalah.

"Terjual!" seru juru lelang. "Kepada Tuan Vanderholt!"

Leo dan Isabella telah memenangkan piala mereka. Mereka telah secara terbuka merebut apa yang seharusnya menjadi milik Jäger. Mereka tahu, pria yang baru saja mereka kalahkan dalam penawaran itu kemungkinan besar bukanlah Jäger sendiri, melainkan perantaranya. Tapi pesan itu telah terkirim. Seekor ikan paus baru telah memasuki kolam mereka dan memakan umpan terbesar. Sekarang, yang harus mereka lakukan hanyalah menunggu sang hiu untuk menunjukkan dirinya.

BAGIAN 3: PEMBURU MENJADI BURUAN

Mereka kembali ke suite mereka di The Crown Spire, dengan botol wiski senilai lima puluh juta dolar di dalam sebuah koper yang diborgol ke pergelangan tangan Riko. Suite itu kini telah diubah menjadi sebuah benteng mini. Maya telah memasang sensor-sensor tambahan di setiap pintu dan jendela. Mereka tidak meremehkan target mereka. Jäger adalah seorang profesional. Jika ia memutuskan untuk bergerak, ia akan bergerak seperti hantu.

"Dia akan datang," kata Leo, saat ia dan Isabella berdiri di balkon, menatap lampu-lampu Makau yang tak pernah tidur. "Kita telah menghinanya di depan umum. Kita telah merebut mainannya. Seorang perfeksionis seperti dia tidak akan bisa membiarkannya."

"Dan kita akan siap," balas Isabella. Ia melepaskan anting-anting berliannya dan meletakkannya di meja. Adrenalin dari lelang, ketegangan dari penyamaran, dan bahaya yang mengintai menciptakan sebuah koktail emosi yang memabukkan. Ia berbalik menghadap Leo, gaun zamrudnya berkilauan di bawah cahaya bulan. Peran Annelise yang manja dan Lars yang arogan telah mereka tinggalkan di luar pintu. Kini, hanya ada Leo dan Isabella, dua predator yang baru saja menyelesaikan bagian pertama dari perburuan mereka.

Dan kemenangan menuntut perayaan.

"Annelise," kata Isabella, suaranya rendah dan serak, kembali memainkan perannya dengan sentuhan yang berbeda, yang lebih intim. "Sangat terkesan dengan suaminya yang kejam dan boros malam ini."

Leo tersenyum, senyum pertamanya yang tulus malam itu. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Isabella, menariknya mendekat. "Dan Lars," balasnya, memainkan permainan itu, "merasa sangat murah hati setelah menghabiskan lima puluh juta dolar hanya untuk membuat istrinya yang cantik tersenyum."

Permainan peran itu menjadi pemanasan mereka. Itu adalah cara untuk melepaskan ketegangan, untuk mengubah adrenalin pertempuran menjadi adrenalin hasrat. Di dalam suite mewah yang menjadi sangkar emas mereka, dikelilingi oleh bahaya yang tak terlihat, mereka menemukan perlindungan dalam pelukan satu sama lain.

Ciuman mereka pada awalnya adalah bagian dari pertunjukan—ciuman seorang miliarder yang posesif dan istrinya yang memuja. Tapi dengan cepat, kepura-puraan itu meleleh, digantikan oleh gairah mentah yang menjadi ciri khas mereka. Gairah dari dua orang yang telah melihat kematian bersama dan memilih untuk hidup dengan lebih intens.

Ia mengangkatnya dan membawanya masuk ke kamar tidur utama, di mana sebotol sampanye dingin telah menunggu. Adegan cinta mereka malam itu adalah cerminan dari lingkungan mereka: mewah, dekaden, dan sedikit liar. Sampanye ditumpahkan bukan hanya ke dalam gelas, tetapi juga ke kulit mereka. Tawa Isabella yang lepas dan serak bercampur dengan erangan pelan saat Leo menjelajahi setiap inci tubuhnya yang telah pulih, yang kini dihiasi oleh bekas luka tipis yang menjadi pengingat permanen akan ikatan mereka.

Gairah mereka adalah sebuah perayaan. Perayaan atas kembalinya kekuatan Isabella, perayaan atas kejeniusan Leo, dan perayaan atas kemitraan mereka yang tak terpatahkan. Itu adalah pelepasan semua ketegangan yang telah mereka bangun selama penyamaran mereka. Di balik pintu yang dijaga oleh para prajurit mereka, di jantung wilayah musuh, mereka menciptakan badai gairah mereka sendiri, sebuah tindakan pemberontakan yang menegaskan kehidupan di tengah perburuan kematian. Itu panas, berkeringat, dan tanpa batas—dua jiwa yang menjadi satu dalam sebuah ledakan kenikmatan yang ganas, melupakan sejenak hantu yang sedang mereka buru.

Saat mereka terbaring dalam keheningan setelahnya, terengah-engah dan terjalin di atas sprei sutra yang berantakan, Leo menatap langit-langit. "Dia sedang mengamati kita sekarang," bisiknya.

"Aku tahu," balas Isabella, menelusuri bekas luka di dadanya. "Biarkan dia melihat."

Tepat saat itu, mereka mendengar suara yang sangat pelan. Sebuah desiran kertas. Leo langsung duduk tegak, seluruh inderanya waspada. Isabella meraih pistol yang selalu ada di meja nakasnya.

Di bawah pintu suite mereka yang tebal, sebuah kartu nama berwarna hitam dengan tepian perak telah diselipkan.

Leo mengambilnya dengan hati-hati. Tidak ada nama. Hanya ada sebuah gambar ukiran tangan yang sangat detail: seekor elang yang sedang mencengkeram seekor ular. Dan di baliknya, sebuah tulisan tangan yang elegan: "Teh di Long Wa. Besok siang. Datanglah sendiri, berdua. Kita perlu membahas masalah akuisisi terakhir Anda."

Long Wa. Salah satu rumah teh tertua dan paling tradisional di Makau.

"Dia mengambil umpan itu," bisik Isabella.

"Tidak," balas Leo, matanya mengeras. "Dia pikir dialah yang sedang memasang umpan. Dia ingin bertemu di wilayahnya, di tempat yang tenang, di mana ia memegang kendali."

Ia tersenyum dingin. "Dia tidak tahu bahwa kita tidak pernah benar-benar memancing. Kita hanya sedang menyiapkan meja makan."

BAGIAN 4: SKAKMAT DI RUMAH TEH

Rumah Teh Long Wa adalah sebuah anomali. Terletak di sebuah jalan kecil yang tersembunyi di Makau Tua, tempat itu adalah sebuah kapsul waktu, tidak tersentuh oleh gemerlap kasino dan hotel modern. Udara di dalamnya dipenuhi aroma teh oolong yang diseduh dengan cara tradisional dan dim sum yang dikukus. Pelanggannya kebanyakan adalah para pria tua yang sedang membaca koran dan bermain mahjong. Tempat itu adalah lambang dari ketenangan dan tradisi. Pilihan yang sempurna bagi seorang pembunuh bayaran yang menganggap dirinya seorang seniman.

Leo dan Isabella—kembali sebagai Lars dan Annelise—masuk, penampilan mereka yang mewah tampak sangat kontras dengan suasana sederhana di sekitar mereka. Seorang pelayan tua menuntun mereka ke sebuah ruang pribadi di lantai dua yang menghadap ke sebuah taman kecil yang tenang.

Di sana, duduk sendirian di sebuah meja kayu gelap, adalah seorang pria. Ia sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Ia bukan seorang brute berotot atau hantu yang tampak menyeramkan. Ia adalah seorang pria Eropa berusia akhir enamam puluhan, mungkin awal tujuh puluhan. Ia mengenakan setelan linen berwarna terang, rambutnya yang putih perak disisir rapi, dan di matanya terpasang kacamata baca berbingkai kawat. Ia bisa saja seorang profesor sastra atau seorang konduktor orkestra. Ia memancarkan aura kecerdasan, ketenangan, dan kecanggihan. Di depannya ada sebuah set teh yang indah.

"Tuan dan Nyonya Vanderholt. Sebuah kehormatan," katanya dengan aksen Inggris yang sempurna, bangkit berdiri untuk menyambut mereka. "Silakan duduk. Saya sudah memesankan teh Pu-erh terbaik untuk kita."

Mereka duduk. Permainan telah dimulai.

"Anda pasti orang yang juga tertarik pada wiski langka," kata Leo, memulai sandiwaranya.

Pria itu tersenyum. "Anggap saja begitu. Nama saya Elias Vance, seorang konsultan barang antik." Ia menuangkan teh untuk mereka dengan gerakan yang anggun. "Dan saya di sini mewakili klien yang sangat kecewa karena kehilangan botol itu. Klien saya adalah seorang kolektor yang sangat... bersemangat. Ia bersedia membayar dua kali lipat dari harga yang Anda bayarkan di lelang untuk mendapatkannya."

"Uang bukan masalah bagi kami, Tuan Vance," kata Isabella dengan nada angkuh. "Suami saya mendapatkan apa yang ia inginkan."

"Saya mengerti," kata Elias, atau Jäger. "Dan itulah yang membuat klien saya sangat penasaran. Siapa Vanderholt ini, yang muncul entah dari mana dan mengalahkan seluruh dunia hanya untuk sebotol wiski? Klien saya suka mengetahui tentang para pemain baru di panggung dunia."

Percakapan itu berlanjut selama hampir satu jam. Sebuah tarian kata-kata yang penuh dengan ancaman terselubung dan penyelidikan yang halus. Jäger mencoba menggali siapa mereka sebenarnya. Leo dan Isabella balas memancingnya, mencoba membuatnya mengakui identitasnya.

Akhirnya, Jäger meletakkan cangkir tehnya. Ia menatap mereka, dan senyum ramahnya lenyap, digantikan oleh tatapan dingin seorang profesional.

"Mari kita sudahi permainan ini," katanya pelan. "Lars dan Annelise Vanderholt tidak ada. Saya sudah memeriksanya. Identitas yang brilian, tapi palsu. Sama seperti kemenangan kalian melawan Viktor Rostova. Itu bukan kemenangan, itu adalah sebuah mahakarya penghancuran. Puitis. Artistik." Ia menatap Leo. "Itu karyamu, bukan? Bukan karya sang Ratu. Karyamu, sang Alkemis."

Topeng mereka telah terbuka.

​"Kau Jäger," kata Isabella, suaranya datar.

​Pria itu mengangguk sedikit. "Saya lebih suka sebutan seniman. Dan sebagai sesama seniman, saya harus mengakui, saya terkesan. Sangat terkesan, hingga saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak saya dengan sisa-sisa organisasi Rostova. Saya tidak bekerja untuk pecundang."

​Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Saya di sini bukan untuk membeli kembali wiski itu. Saya di sini untuk menawarkan jasa saya. Bayangkan apa yang bisa kita capai bersama. Kecantikan dan kekuatanmu, Ratu,"—ia mengangguk pada Isabella—"dan pikiran strategismu yang kejam, Alkemis,"—ia menatap Leo. "Dan keahlianku. Keahlian untuk menghapus masalah apa pun, siapa pun, dari jarak satu kilometer, tanpa jejak. Bersama, kita bisa menjadi dewa di dunia ini."

​Itu adalah tawaran yang luar biasa. Sebuah aliansi yang tak terkalahkan.

​Leo menatap Isabella, lalu kembali ke Jäger. Ia tersenyum untuk pertama kalinya selama pertemuan itu, senyum yang tenang dan penuh dengan kepastian.

​"Ada satu masalah kecil dengan rencanamu yang indah itu, Jäger," kata Leo.

​"Oh? Dan apa itu?" tanya si pembunuh bayaran legendaris itu, tampak geli.

​Leo tidak menjawab. Ia hanya melirik ke cangkir teh yang baru saja dihabiskan oleh Jäger. "Teh Pu-erh ini... aromanya khas, bukan? Ada sedikit aroma tanah basah, sedikit aroma buah kering..."

​Jäger mengerutkan kening, tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

​"...dan sedikit aroma dari akar bunga Aconite," lanjut Leo, suaranya tetap tenang. "Di dapur, kami menyebutnya wolfsbane. Sebuah bumbu yang sangat kuat. Dosis kecil bisa melumpuhkan. Dosis yang tepat... bisa menghentikan jantung seorang pria dewasa dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Tanpa rasa sakit yang berlebihan. Hanya rasa dingin yang menjalar, diikuti oleh kegelapan. Sangat artistik, bukan?"

​Warna perlahan surut dari wajah Jäger yang tadinya tenang. Ia menatap cangkir tehnya, lalu ke Leo. Matanya yang tadinya penuh percaya diri kini dipenuhi oleh kepanikan dan ketidakpercayaan.

​"Bagaimana...?" bisiknya, tangannya mulai gemetar.

​"Saat kau mengamati kami, kami juga mengamatimu," jelas Leo. "Kami tahu kau akan memilih tempat ini. Kami tahu kau akan memesan teh ini. Tim kami sudah berada di sini sejak subuh, menyamar sebagai staf dapur. Sangat mudah untuk menukar daun teh di dalam kaleng pribadimu."

​Skakmat. Sang pemburu terhebat di dunia telah terperangkap, bukan oleh peluru atau pisau, tetapi oleh keahlian asli sang Alkemis. Oleh secangkir teh.

​"Teh yang kau minum itu," kata Leo, suaranya kini sedingin es. "Aku sendiri yang meraciknya. Itu adalah racun tanpa penawar. Menurut perhitungan dokter kami, kau punya sekitar... tiga menit lagi sebelum sistem sarafmu lumpuh total."

​Leo mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk tajam ke mata si pembunuh yang kini berkeringat dingin.

​"Jadi, Jäger... mari kita gunakan tiga menit terakhirmu ini dengan bijak. Mulailah berbicara. Aku ingin tahu nama dari setiap klien yang pernah membayarmu."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!