"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Suasana di Unit Gawat Darurat pagi ini mulai ramai, suara sirene ambulance yang mulai bergantian menyapa para perawat dan dokter yang berjaga. Seolah sedang memberi semangat di pagi hari.
Kebakaran yang melanda kawasan padat penduduk itu sedang di telusuri penyebabnya oleh petugas kepolisian. Beberapa korban dilarikan ke Rumah Sakit Anugerah Sejati.
Ruangan yang mempunyai banyak sekat itu kini terasa seperti di pasar, banyak orang lalu lalang. Rini yang baru saja datang sudah di sambut dengan lolongan pria paruh baya yang kaki kananya terkena luka bakar, sementara kedua tangan itu banyak sekali luka karena tertimpa reruntuhan.
Pria itu mengaduh kesakitan seolah tangan kananya tidak bisa digerakan lagi. Petugas ambulance itu menjelaskan bagaimana kondisi pria itu.
"Tekanan darahnya 80/40, suhu tubuh 39 derajat celcius, curiga ada fraktur di pergelangan tangan." Ujar petugas itu sambil memindahkan pasien ke ranjang UGD.
"Baik pak, terimakasih. " jawab Rini singkat.
Kemudian korban yang lain mulai menyusul berdatangan. Selain ada Ibu hamil dengan perutnya yang sudah besar, anak-anak serta para lansia juga ikut meramaikan ruangan itu. Bilik dengan sekat tirai itu sudah berpemilik semua.
Suasana mulai menegang ketika pemilik salah satu bilik itu detak jantungnya tiba-tiba berhenti. Para perawat berlarian menuju bilik itu, ketika tirai dibuka nafas Anggara sudah tak beraturan. CPR yang dilakukanya seperti tak membuahkan hasil, tapi tetap saja dia tak menyerah. Nyawa seorang ibu dengan dua anak itu ada di tanganya.
"Dok, sudah kembali." suara itu seperti angin segar bagi Anggara. Rambut depanya basah oleh keringat, tangannya dengan cekatan segera memakai stetoskop yang sudah mengantung dilehernya.
Meskipun detak jantungnya sendiri seperti hampir meledak juga, Anggara lega anak-anak kecil itu tak kehilangan ibunya.
Setelah memastikan kondisi ibu itu aman, Anggara secara bergantian memeriksa pasien yang lain. Dalam satu hari itu dia sudah melakukan banyak tindakan, sekarang sudah waktunya dia harus kembali kerumah.
Suasana rumah itu kembali dingin, Bi Mirna hari ini libur karena dia juga harus beristrihat setelah beberapa hari bolak-balik rumah sakit. Anggara membuka kamar putra semata wayangnya, dia melihat Reno sudah tertidur pulas di samping Bi Nina. Baru mau menutup pintu suara Bi Nina mengehentikan gerakan tangan Anggara.
"Mas Anggara sudah pulang?" tanya Bi Nina pelan, suaranya terdengar parau, tandanya dia sudah tertidur tadi.
"Iya bi, maaf sudah mengagetkan." jawab Anggara. Bi Nina berjalan mendekat ke arah Anggara sambil mengikat rambutnya yang sudah mulai memutih. Anggara sudah paham, pasti ada yang ingin dia bicarakan.
Di ruang makan. Sambil membuatkan Anggara satu cangkir teh hangat tanpa gula, Bi Nina mulai membuka orbrolanya dengan Anggara.
"Mas, apa boleh bibi bertanya?" ucapnya pelan, jari-jari tangan perempuan paruh baya itu bergetar saat mengatakanya. Apa lagi saat meletakan cangkit berisikan teh itu ke meja . Mata mereka bersitatap.
"Duduklah bi, ada apa?" Anggara menerima cangkir itu dan menyesapnya perlahan. Aroma yang keluar dari teh tubruk itu menguar keseluruh tubuh Anggara, seakan mengobati lelahnya hari ini.
"Mas, hari ini seperti ada yang aneh dengan Mba Lyana ." ungkap Bi Nina.
"Aneh kenapa? sebenarnya dia juga masih blm pulih sepenuhnya bi." Anggara sudah meletakan cangkirnya.
"Hmm ... gini, bibi jadi takut ngomongnya. " Ragu, Bi Nina untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Namun ketika melihat Lyana yang seharian ini cuma menangis rasanya dia juga merasa bersalah. Terlebih permintaan mainya Reno tak ada yang Lyana terima .
"Ada apa si bi? hari ini aku lelah sekali jangan membuatku menunggu." Suara Anggara mulai meninggi.
"Mba Lyana menolak main bersama Reno Mas, dia juga sepertinya habis menangis. Tadi bibi melihat Mba Lyana berkali-kali menghapus air matanya."
Anggara yang mendengar itu langsung beranjak dari kursinya.
"Jangan terlalu keras sama Mba Lyana Mas, mungkin dia datang kesini untuk menyelamatkan Ayahnya. Tapi ... dia sendiri juga butuh di selamatkan. " langkah Anggara terhenti.
"Maksud Bibi apa?" Anggara mendekat.
"Tuan besar tadi kesini, mereka berbicara lama di dekat kolam renang."
Rahang Anggara sudah mengeras, Bibi melanjutkan ucapanya.
"Setelah itu Mba Lyana tidak turun lagi, bahkan ketika Reno menyusulnya ke atas pintu itu tidak pernah dibuka."
"Reno cuma bilang, aku kangen sama tante Ly bi. " wajahnya juga murung seharian ini.
"Apa benar Mas Anggara enggak punya perasaan apapun sama Mba Lyana? Maaf kalau Bibi lancang." ujar bibi terus terang.
"Makasih ya bi udah jujur, Lyana pasti kaget Ayah tiba-tiba kesini." Anggara berlalu, berat langkah kakinya ketika menaiki tangga.
"Huh. Apa yang sebenarnya Ayah rencanakan?"Anggara membuang nafasnya kasar. Tangan kanan yang sudah memegang handle pintupun terhenti ketika mendengar Lyana menangis. "Jadi dia benar-benar menangis seharian?Kenapa?"
.
.
.
.