Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tembok Runtuh
Keheningan di perbatasan Sarang Tawon begitu pekat hingga terasa memiliki bobot. Itu adalah keheningan yang terdiri dari ratusan ribu napas yang ditahan, dari detak jantung kolektif sebuah bangsa yang terkurung, dan dari jari-jari ribuan tentara yang melayang di atas pelatuk. Di satu sisi, sebuah lautan manusia yang bersenjatakan hanya lilin dan harapan. Di sisi lain, sebuah tembok baja dan manusia yang dipersenjatai dengan kekuatan penuh sebuah negara. Di antara mereka, terbentang sebidang tanah tak bertuan sepanjang seratus meter, sebuah panggung di mana nasib sebuah revolusi akan ditentukan.
Leo meremas tangan Isabella, merasakan getaran kecil di jemarinya yang ia tahu bukan berasal dari rasa takut, melainkan dari adrenalin murni. Ia bisa merasakan tatapan seluruh dunia pada mereka, melalui siaran-siaran internet ilegal yang diatur oleh Bianca. Mereka tidak lagi hanya bertarung melawan Jenderal Soeharto; mereka sedang bertarung melawan narasi sejarah itu sendiri, mencoba menulis ulang babak mereka dengan tinta keberanian.
Di dalam pusat komando rahasianya di suatu tempat di jantung Jakarta, Jenderal Purnawirawan Soeharto menatap lusinan layar monitor yang menampilkan pemandangan yang sama dari berbagai sudut. Wajahnya yang tua dan berkerut adalah topeng granit yang tak terbaca. Para ajudan dan perwira di sekelilingnya bergerak dengan panik, suara-suara mereka tumpang tindih dalam bisikan yang tegang.
"Jenderal, media internasional sudah menembus blokade digital kita! Tagar #JakartaWall menjadi tren nomor satu di dunia!"
"Laporan dari lapangan, massa tetap tenang, tapi mereka tidak mundur! Ini provokasi pasif!"
"Jenderal, perintah Anda? Gas air mata? Meriam air? Kita harus membubarkan mereka sebelum pagi!"
Soeharto tidak menggubris mereka. Ia hanya terus menatap satu layar utama, yang menampilkan gambar close-up dari wajah Leo dan Isabella. Ia melihat ketenangan di wajah sang Alkemis. Ia melihat pembangkangan yang membara di mata sang Ratu. Ia, seorang master strategi yang telah memenangkan perang-perang yang sesungguhnya, mengakui kejeniusan dari gerakan lawannya. Mereka telah mengubah kelemahan terbesar mereka—terkurung bersama jutaan warga sipil—menjadi senjata mereka yang paling kuat. Mereka telah menyanderanya, bukan dengan todongan senjata, tetapi dengan opini publik dunia.
Ia telah di-skakmat.
Menembak akan menjadikannya seorang jagal di mata dunia, menghancurkan warisannya sebagai negarawan pelindung. Mundur total akan menjadikannya seorang pengecut, meruntuhkan auranya yang tak terkalahkan di dalam negeri. Kedua pilihan itu adalah kekalahan.
Jadi, seperti seorang master catur sejati, saat dihadapkan pada skakmat yang tak terhindarkan, ia tidak membalikkan papan caturnya. Ia memilih untuk mengorbankan bidak-bidak yang lebih kecil untuk memposisikan ulang Rajanya demi permainan jangka panjang.
Ia mengangkat sebuah gagang telepon di mejanya yang terhubung ke saluran terenkripsi langsung ke istana presiden dan komandan lapangan. Ia hanya mengucapkan dua perintah singkat, suaranya tenang dan dingin, tanpa emosi. Kepada komandan lapangan di Gerbang Utara, ia berkata, "Tahan posisi. Turunkan senjata. Jangan lepaskan satu tembakan pun. Ulangi, jangan memprovokasi."
Kepada presiden, ia mengatakan sesuatu yang lebih panjang, sebuah narasi yang telah ia siapkan. Lalu ia meletakkan gagang telepon itu kembali. Ia bersandar di kursinya, matanya masih terpaku pada wajah Leo. Permainan ini belum berakhir. Ini baru saja memasuki babak yang baru dan lebih menarik.
Di Gerbang Utara, perintah "turunkan senjata" menyebar seperti gelombang kejut di antara para prajurit. Dengan gerakan ragu-ragu, mereka menurunkan laras senapan serbu mereka. Ketegangan yang tadinya setajam silet sedikit mengendur, digantikan oleh kebingungan yang canggung. Lautan manusia di hadapan mereka tidak bersorak. Mereka tidak bergerak maju. Mereka hanya berdiri di sana dalam keheningan, lilin-lilin mereka berkelip-kelip di kegelapan, sebuah kemenangan yang sunyi dan penuh wibawa.
Standoff itu berlanjut selama berjam-jam, sebuah perang dingin antara kehendak rakyat dan kekuatan negara. Tapi di dunia luar, api telah tersulut. Gambar-gambar yang disiarkan oleh Bianca telah menjadi viral. Wajah seorang anak kecil yang menangis karena kelaparan, seorang ibu tua yang menunjukkan obatnya yang habis, dan lautan manusia yang berhadapan dengan tank, semuanya menjadi simbol perlawanan yang kuat. Telepon para pemimpin dunia mulai berdering. Kantor-kantor berita besar seperti CNN, BBC, dan Al Jazeera mengarahkan satelit mereka ke Jakarta, mengirim koresponden perang mereka ke perbatasan zona karantina.
Blokade informasi Soeharto telah hancur berkeping-keping.
Menjelang fajar, langkah Soeharto berikutnya diumumkan. Presiden, dalam konferensi pers darurat yang disiarkan ke seluruh dunia, mengumumkan sebuah "de-eskalasi demi kemanusiaan". Ia memuji "kesabaran dan profesionalisme" aparat keamanan dalam menghadapi "provokasi dari elemen-elemen kriminal". Ia mengumumkan bahwa, atas saran dari Jenderal Soeharto, pemerintah akan mengizinkan konvoi bantuan kemanusiaan dari Palang Merah Internasional dan PBB untuk masuk ke dalam zona karantina.
"Pemerintah juga akan membentuk sebuah tim investigasi independen," kata Presiden, "yang terdiri dari para ahli hukum internasional dan jurnalis terkemuka, untuk memverifikasi kondisi di dalam dan memastikan kesejahteraan warga."
Bagi dunia luar, itu tampak seperti sebuah tindakan yang bijaksana dan penuh belas kasihan. Tapi Leo dan Isabella, yang menonton siaran itu dari sebuah tablet di tengah kerumunan, tahu persis apa itu: sebuah manuver brilian. Soeharto tidak mencabut karantina itu. Ia hanya membuka sebuah katup kecil untuk melepaskan tekanan global. Ia mengubah narasi dari "penindas" menjadi "penyelamat". Dan yang paling berbahaya, ia kini akan memasukkan pion-pionnya sendiri ke dalam papan catur mereka di bawah bendera netralitas.
Meskipun begitu, bagi jutaan orang yang terkurung di Sarang Tawon, berita itu adalah sebuah kemenangan yang luar biasa. Saat truk-truk pertama berlogo Palang Merah melintasi barikade, membawa makanan, air bersih, dan obat-obatan, sorak-sorai akhirnya pecah. Orang-orang menangis dan berpelukan. Rasa putus asa yang telah menyelimuti mereka selama sebulan lebih kini digantikan oleh euforia.
Dan di tengah-tengah lautan manusia yang merayakan itu, mereka semua meneriakkan dua nama. Bukan nama presiden, bukan nama jenderal. Mereka meneriakkan, "Isabella! Alkemis! Isabella! Alkemis!"
Mereka tidak lagi sekadar pemimpin geng atau buronan. Malam itu, di mata rakyat jelata yang telah mereka perjuangkan, mereka telah menjadi pahlawan. Mereka telah menjadi legenda.
Beberapa hari berikutnya adalah sebuah periode sureal dari "damai" yang aneh. Tembok karantina masih berdiri, tetapi gerbangnya kini terbuka untuk aliran bantuan kemanusiaan. Leo, Isabella, dan tim mereka, yang kini didukung sepenuhnya oleh Bangau, bekerja tanpa lelah. Mereka tidak lagi hanya membagikan sup dari satu dapur; mereka kini mengoordinasikan distribusi ribuan ton bantuan ke seluruh distrik.
Di sinilah transformasi Isabella mencapai puncaknya. Ia tidak lagi memerintah dari balai biliar yang terlindung. Ia turun ke jalanan. Ia berjalan di antara rakyatnya, mendengarkan keluhan mereka, mengatur logistik. Ia menggendong seorang anak yang demam tinggi dan secara pribadi memastikannya mendapatkan antibiotik dari tim medis PBB. Ia duduk bersama para ibu dan mendengarkan cerita mereka. Ia menemukan jenis kekuasaan yang baru, kekuasaan yang tidak lahir dari rasa takut atau kekayaan, tetapi dari rasa hormat dan cinta yang tulus dari orang-orang yang ia lindungi. Bekas luka di dadanya dan di wajah Serena kini tampak seperti medali kehormatan, bukan tanda kekerasan.
Leo mengamatinya dari kejauhan, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang begitu dalam hingga terasa menyakitkan. Ia melihat Ratu-nya akhirnya menemukan kerajaannya yang sesungguhnya. Bukan kerajaan yang dibangun di atas beton dan baja, tetapi di atas hati dan jiwa rakyatnya.
Malam itu, setelah hari yang sangat panjang dan melelahkan, mereka akhirnya menemukan momen untuk berdua. Mereka tidak kembali ke ruko persembunyian yang sempit, tetapi ke "Dapur Alkemis", tempat semuanya dimulai. Warung tenda itu kini telah berkembang menjadi sebuah dapur umum yang besar dan permanen, dibangun oleh para sukarelawan dari Sarang Tawon.
Setelah semua juru masak dan relawan pulang, di tengah keheningan dapur yang dipenuhi oleh aroma roti yang baru dipanggang, mereka akhirnya sendirian. Ruangan itu terasa seperti sebuah kuil, sebuah monumen bagi revolusi mereka yang aneh.
"Aku melihatmu hari ini," kata Leo pelan, sambil menyeka noda tepung di pipi Isabella. "Bersama anak-anak. Bersama para ibu. Kau... kau bersinar, Isabella."
Isabella tersenyum, senyum yang tulus dan sedikit lelah. "Aku hanya memberikan kembali apa yang telah mereka berikan padaku," jawabnya. "Harapan."
Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Di tengah kelelahan mereka, di tengah kemenangan mereka yang rapuh, ada sebuah kebutuhan yang mendesak untuk merayakan kehidupan, untuk menegaskan kembali ikatan mereka yang telah melewati api neraka dan keluar lebih kuat dari sebelumnya.
Gairah mereka malam itu adalah sebuah katarsis. Sebuah pelepasan dari semua ketegangan, semua rasa takut, dan semua beban tanggung jawab. Itu adalah cinta yang lahir dari kemenangan bersama. Di atas meja panjang tempat mereka biasanya menyiapkan makanan untuk ribuan orang, mereka saling memuja satu sama lain. Adegan cinta mereka adalah sebuah tarian yang penuh dengan tawa, air mata kelegaan, dan hasrat yang meluap-luap. Itu adalah perayaan yang liar dan penuh perasaan. "Panas" dari adegan itu adalah panas dari dua jiwa yang akhirnya bisa bernapas lega, yang akhirnya bisa menikmati buah dari perjuangan mereka. Itu adalah keintiman yang paling murni, sebuah hadiah yang mereka berikan satu sama lain setelah memenangkan pertempuran yang mustahil.
Saat mereka terbaring dalam pelukan satu sama lain di keheningan dapur, mendengarkan suara kota yang tertidur di luar, mereka merasa, untuk pertama kalinya, benar-benar damai.
Tapi kedamaian di dunia mereka adalah sesuatu yang fana.
Keesokan harinya, "tim investigasi independen" yang dibentuk oleh presiden tiba di Sarang Tawon. Mereka adalah sekelompok kecil yang terdiri dari pengacara HAM dari Eropa, beberapa jurnalis internasional terkemuka, dan dipimpin oleh seorang dokter dari PBB yang sangat dihormati, seorang pria Inggris bernama Dr. Alistair Finch.
Leo dan Isabella menyambut mereka secara pribadi. Dr. Finch tampak persis seperti yang diharapkan: seorang pria berusia akhir limapuluhan, dengan rambut beruban, senyum ramah, dan mata yang memancarkan kecerdasan dan welas asih. Ia tampak tulus dalam misinya untuk membantu.
"Kami di sini untuk mendokumentasikan kebenaran, Nona Rosales," katanya dengan aksen Inggris yang halus. "Dunia berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Mereka memberikan tim itu akses penuh. Selama beberapa hari, para pengamat itu berkeliling, mewawancarai warga, mendokumentasikan kondisi, dan mencatat setiap detail. Semuanya tampak berjalan lancar. Tim itu tampak terkesan dengan sistem distribusi makanan dan keamanan internal yang telah dibangun oleh Leo dan Isabella. Kemenangan mereka tampaknya akan segera menjadi absolut. Kebenaran akan terungkap.
Tapi Leo, sang ahli strategi, merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu dalam ketenangan Soeharto, dalam kemudahannya menyerah, yang terasa seperti sebuah jebakan. Ia menghubungi satu-satunya aset mereka di dunia luar: Adrian Hartono.
Hartono, yang kini hidup dalam persembunyian yang dalam, menjawab melalui saluran komunikasi sekali pakai yang sangat terenkripsi. "Aku tidak tahu banyak, Leo," bisik Hartono. "Tapi aku mendengar sesuatu. Sebuah bisikan. Soeharto tidak pernah kalah. Dia hanya mengubah medan pertempuran. Hati-hati dengan para pembawa damai. Terkadang, kuda Troya tidak terlihat seperti kuda."
Peringatan samar itu sudah cukup untuk membuat alarm di kepala Leo berbunyi. Ia segera kembali ke pusat komando darurat mereka dan berbicara dengan Bianca.
"Bianca, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," kata Leo. "Lupakan semua hal lain. Aku ingin kau fokus pada satu hal: tim investigasi itu. Gali sedalam yang kau bisa. Latar belakang mereka, catatan perjalanan mereka, komunikasi mereka. Terutama pemimpinnya, Dr. Alistair Finch."
"Tapi Leo," protes Bianca. "Dia seorang dokter PBB yang dihormati. Rekam jejaknya bersih."
"Tidak ada yang bersih di dunia ini," balas Leo dingin. "Gali lebih dalam. Gunakan akses kita ke data Steiner. Gunakan buku besar Jäger. Silangkan referensi setiap nama, setiap perjalanan, setiap transaksi keuangan. Aku ingin tahu apakah dia pernah bersin di negara yang sama dengan salah satu klien Jäger."
Bianca, merasakan urgensi dalam suara Leo, langsung bekerja.
Sementara itu, tim investigasi telah menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka akan pergi keesokan paginya dan diperkirakan akan merilis laporan awal mereka yang kemungkinan besar akan sangat memberatkan bagi rezim Soeharto. Malam itu, untuk merayakan "akhir dari krisis", Dr. Finch dan timnya diundang untuk makan malam pribadi di Dapur Alkemis, yang akan dimasak oleh Leo sendiri. Sebuah gestur itikad baik. Sebuah perayaan kemenangan kebenaran.
Saat Leo sedang menyiapkan hidangan di dapur, dikelilingi oleh timnya, Isabella masuk dengan wajah pucat. Di tangannya ada sebuah tablet. "Leo," bisiknya, suaranya bergetar. "Bianca menemukannya."
Leo menatap layar tablet itu. Di sana, ada profil Dr. Alistair Finch. Di sebelahnya, ada sebuah entri dari buku besar Jäger. Tidak ada nama. Hanya sebuah kode: "The Sandman". Spesialisasi: racun yang bekerja lambat dan "serangan jantung" yang diinduksi secara kimia, tidak meninggalkan jejak. Dan di bawahnya, ada sebuah foto buram dari sebuah misi di Afrika beberapa tahun yang lalu. Wajah pria di foto itu, meskipun lebih muda dan tanpa jenggot, tidak diragukan lagi adalah Dr. Finch.
Jebakan itu akhirnya terungkap. Tim investigasi itu adalah sebuah kuda Troya. Mereka tidak datang untuk mengungkap kebenaran. Mereka datang untuk menjadi saksi dari babak selanjutnya dari rencana Soeharto. Rencananya adalah untuk membunuh salah satu tokoh masyarakat penting di Sarang Tawon—mungkin seorang pemuka agama yang telah bekerja sama dengan Isabella—dan menyalahkan Leo dan Isabella atas pembunuhan itu. "Para diktator brutal membungkam perbedaan pendapat di dalam rezim mereka." Laporan dari tim investigasi "independen" itu akan menjadi paku terakhir di peti mati mereka, memberikan Soeharto justifikasi sempurna di mata dunia untuk mengirim pasukannya dan "membebaskan" Sarang Tawon.
Mereka telah berjalan lurus ke dalam jebakan yang paling cerdik.
"Dia sudah ada di dalam," bisik Isabella ngeri. "Pembunuhnya sudah berada di dalam tembok kita, menyamar sebagai penyelamat."
Leo menatap ke arah ruang makan, di mana Dr. Finch sedang tertawa dan berbincang dengan seorang ustad karismatik yang telah menjadi salah satu sekutu terkuat mereka. Malam ini, ustad itu adalah targetnya.
"Batalkan makan malamnya!" kata Marco. "Kita tangkap dia sekarang!"
"Tidak," kata Leo, matanya yang tenang kini berkilat dengan cahaya yang dingin dan berbahaya. "Jika kita menangkapnya, itu kata kita melawan kata seorang dokter PBB yang dihormati. Tidak ada yang akan percaya. Kita butuh bukti yang tak terbantahkan." Ia menatap bahan-bahan segar yang terhampar di atas meja persiapannya. "Dia ingin memainkan permainan teater di rumahku. Baiklah."
Ia tersenyum, senyum yang akan membuat darah membeku.
"Kita akan memberinya sebuah pertunjukan yang tidak akan pernah ia lupakan."
Makan malam dimulai. Leo menyajikan hidangan pembuka yang luar biasa. Semua orang memuji masakannya. Suasananya ramah. Tapi di bawah meja, tim inti saling memberi isyarat. Saat hidangan utama akan disajikan—sebuah gulai kambing yang kaya rasa—Leo secara pribadi membawakan semangkuk khusus untuk sang ustad dan Dr. Finch.
Saat Dr. Finch hendak menyuap makanannya, Leo tiba-tiba "tersandung", menumpahkan seluruh isi mangkuk panas itu ke pangkuan Dr. Finch.
"Astaga! Maafkan saya, Dokter!" seru Leo, penuh dengan penyesalan palsu.
Di tengah kekacauan saat para pelayan membantu membersihkan Dr. Finch, Maya, yang menyamar sebagai pelayan, dengan cepat menukar mangkuk sang ustad dengan mangkuk lain yang identik namun tidak beracun.
Dr. Finch, meskipun kesal, akhirnya kembali duduk. Makanan baru disajikan. Mereka semua makan. Beberapa menit kemudian, sang ustad, sesuai dengan instruksi rahasia dari Leo, mulai terbatuk-batuk. Ia mencengkeram dadanya, matanya terbelalak, dan kemudian ia ambruk ke lantai, seolah mengalami serangan jantung hebat.
Kekacauan meledak. Para anggota tim investigasi lainnya tampak ngeri. Tapi Dr. Finch... Dr. Finch tampak terlalu tenang. Ia memeriksa denyut nadi sang ustad. "Dia... dia sudah tiada," katanya dengan kesedihan yang dipalsukan. "Serangan jantung."
Saat itulah, skripnya dibalik untuk kedua kalinya. Pintu-pintu dapur terkunci. Lampu-lampu kembali berubah. Anggota Legiun muncul dari bayang-bayang, mengelilingi tim investigasi.
"Benarkah, Dokter?" kata Leo, berjalan mendekat. "Atau... keracunan Tetrodotoxin, yang gejalanya meniru serangan jantung dengan sempurna?"
Wajah Dr. Finch, atau The Sandman, menjadi pucat.
"Dan kau tahu," lanjut Leo. "Ada satu hal tentang racun itu. Dosis yang tepat akan membunuh. Tapi dosis yang sedikit lebih rendah..."
Di lantai, sang ustad, yang matanya tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka. Ia menarik napas dalam-dalam, terbatuk-batuk, tetapi hidup. Leo, seorang master chef, tahu persis dosis yang hanya akan melumpuhkan sementara, bukan membunuh.
"...hanya akan membuatmu pingsan selama beberapa menit," selesaikan Leo.
Di hadapan seluruh tim investigasi yang menjadi saksi, di bawah tatapan kamera-kamera tersembunyi yang sedang merekam segalanya, pembunuh bayaran The Synod telah terungkap, tertangkap basah dalam usahanya untuk melakukan pembunuhan.
Sang Sandman menatap Leo dengan kebencian murni. Jebakannya telah dihancurkan dengan sangat telak.
Leo menatap balik, matanya tanpa emosi. "Selamat datang di Dapur Alkemis, Dokter," katanya pelan. "Malam ini, sepertinya kaulah yang akan menjadi hidangan utama."