NovelToon NovelToon
TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Janda / Cerai / Obsesi / Penyesalan Suami
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.

Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.

Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.

Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13. KEDIAMAN EVAN

Lucia membuka matanya dengan perlahan, seakan kelopak matanya berat oleh mimpi panjang yang baru saja usai. Sekilas, ia merasakan kelembutan yang berbeda dari biasanya: bukan kasurnya yang agak keras dan dingin, melainkan permukaan empuk yang seakan memeluk tubuhnya. Aroma samar lavender dan vanila memenuhi udara, membuat kesadarannya perlahan pulih. Namun justru karena itulah, ia semakin bingung.

Pandangan pertamanya jatuh pada langit-langit tinggi dengan ukiran tipis di tepian, lalu pada tirai panjang berwarna gading yang bergelung anggun di sisi jendela besar. Cahaya matahari pagi menembus celahnya, menari pelan di permukaan dinding yang berlapis cat putih bersih. Ruangan itu begitu luas, nyaris seperti dalam potret majalah interior mewah, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi tempatnya membuka mata.

Lucia terhenyak. Jantungnya berdetak lebih cepat, pikirannya berputar kacau. Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?

Tangannya meraba pelan seprai putih dengan sulaman halus. Lembut sekali, bahkan baunya harum, seperti baru saja dicuci dengan sabun mahal yang belum pernah ia gunakan. Ia segera bangkit duduk, punggungnya bersandar pada sandaran ranjang yang tinggi dan berlapis kain beludru abu-abu. Ruangan ini asing, terlalu megah, terlalu ... tidak mungkin miliknya.

Belum sempat ia menenangkan diri, suara halus terdengar: pintu kamar terbuka dengan pelan.

Lucia spontan menoleh.

Sosok yang muncul membuatnya hampir terlonjak. Evan Williams.

Pria itu masuk dengan langkah tenang, mengenakan pakaian rumah yang santai, kaus putih sederhana yang membingkai tubuhnya dengan pas, serta celana panjang hitam yang membuatnya tampak lebih rileks daripada biasanya. Rambut hitamnya sedikit berantakan, seolah baru saja ia melepas tidur singkat. Namun, senyum kecil yang menghiasi wajahnya saat melihat Lucia bangun justru membuat udara di ruangan itu seketika berbeda.

"Syukurlah," ucap Evan lembut, "kau sudah bangun."

Lucia menatapnya tanpa berkedip, napasnya sedikit tercekat. Sekali lagi, pikirannya berputar kacau. Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa ada di sini?

Suara lirih akhirnya meluncur dari bibir Lucia, penuh keraguan. "Aku ... ada di mana sekarang?"

Evan berjalan mendekat. Ia tidak terburu-buru, hanya langkah santai yang pelan, namun setiap gerakannya seakan menguasai ruang. Ia lalu berhenti di sisi ranjang, pandangannya hangat namun tajam, lalu dengan nada tenang ia menjawab, "Kau ada di kediamanku. Penthouse milikku."

Ucapan itu membuat tubuh Lucia menegang. Kediaman Evan? Penthouse Evan? Rasanya seperti guntur menyambar di siang bolong.

"K-Kenapa aku bisa ada di sini?" suaranya bergetar, nyaris patah.

Evan hanya tersenyum samar, lalu duduk di pinggir tempat tidur, begitu dekat hingga Lucia bisa mencium aroma segar sabun yang melekat pada kulitnya. Dengan gerakan lembut yang mengejutkan, Evan mengulurkan tangan dan merapikan helai rambut Lucia yang berantakan di keningnya. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin, tapi cukup untuk membuat wajah Lucia terasa memanas.

"Aku membawamu pulang ke sini," ucap Evan dengan nada datar namun penuh keyakinan. "Setelah apa yang terjadi semalam."

Lucia menelan ludah, mencoba mengingat. Potongan samar muncul di kepalanya: langkah kaki yang mengikutinya, rasa dingin yang menelusup di punggungnya saat ia sadar ada seseorang yang menguntitnya, lalu ... Evan. Ya, ia ingat Evan muncul, melindunginya, meski setelah itu semuanya kabur, ditelan kelelahan dan ketakutan.

Evan melanjutkan, suaranya tenang namun mengandung ketegasan yang membuat Lucia tidak bisa membantah.

"Aku tidak ingin mengambil risiko. Jika aku mengantarmu pulang ke rumahmu, aku tidak yakin kau akan aman. Jadi aku memilih membawamu ke tempat yang lebih terjamin," kata Evan dengan pandangan mengeras, masih teringat bagaimana ketakutannya Lucia semalam.

Lucia menatapnya dengan mata melebar. "Tempat yang lebih terjamin, maksudmu ... kediamanmu ini?"

Evan mengangguk singkat.

Seketika, hati Lucia berdebar kencang tak karuan. Ia tidak tahu harus merasa apa—antara terkejut, bingung, takut, atau sedikit lega. Namun ada sesuatu dalam tatapan mata Evan yang membuatnya sulit menolak.

Lucia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona yang merayap di pipinya. "Aku tidak menyangka kau akan ... melakukan hal seperti ini."

Evan hanya terkekeh pelan, nada suaranya nyaris seperti bisikan. "Percayalah, Lucy. Aku akan selalu memastikan kau aman. Bahkan jika itu berarti kau harus berada di bawah atap yang sama denganku."

Atau bahkan jika harus mengikatmu di tempat tidur, asal kau aman, Love. Aku akan melakukannya, batin Evan yang masih tidak senang dengan kejadian penguntitan semalam.

Lucia terdiam cukup lama, seakan kata-kata Evan masih berputar-putar di kepalanya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dada Lucia terasa hangat, sekaligus berat. Ia tidak pernah membayangkan akan terbangun di ruang sebesar ini, apalagi mengetahui bahwa tempat ini adalah milik Evan, pria yang selama ini hadir dalam hidupnya dengan begitu banyak teka-teki. Seseorang yang statusnya kini adalah mantan kekasihnya.

Perlahan, Lucia mengalihkan pandangannya, mencoba menenangkan diri dengan memerhatikan detail ruangan. Dinding-dindingnya berwarna putih bersih, dipadukan dengan aksen kayu gelap yang elegan. Di sisi kiri, ada jendela kaca besar yang hampir memenuhi seluruh dinding, menampilkan panorama kota Los Angeles dari ketinggian. Gedung-gedung pencakar langit tampak jauh di bawah sana, memantulkan cahaya keemasan matahari pagi.

Sebuah rak buku tinggi menempel di dinding seberang, penuh dengan koleksi yang berjajar rapi. Di sudut ruangan, ada kursi santai berlapis kulit berwarna cokelat tua, seolah menunggu seseorang untuk duduk dengan secangkir kopi dan tenggelam dalam dunia kata. Di atas meja kecil di dekat ranjang, terdapat vas kaca dengan bunga segar, lili putih yang menebar aroma lembut.

Lucia menarik napas panjang. Semua ini terlalu berbeda dari apa yang biasa ia kenal setahun belakangan. Kehidupannya sederhana, nyaris biasa saja, jauh dari kemewahan yang kini membentang di hadapannya.

"Ini terlalu berlebihan," gumamnya lirih tanpa sadar.

Evan yang masih duduk di pinggir ranjang menoleh, senyumnya samar. "Kau menganggapnya begitu?"

Lucia mengangguk perlahan, menunduk. "Aku bahkan tidak tahu harus menempatkan diriku bagaimana di sini. Rasanya seperti ... bukan dunia milikku."

Evan menatapnya lekat, seolah ingin membaca setiap getar di wajahnya. Lalu dengan suara tenang ia berkata, "Tidak perlu membandingkan, Lucy. Dunia ini bukan soal layak atau tidak layak. Aku hanya ingin memastikan kau aman. Itu saja."

Kata-kata itu membuat hati Lucia kembali berdesir. Ada ketulusan yang berat di dalamnya, sesuatu yang tak bisa ia tolak meski logikanya berteriak untuk waspada.

Namun rasa penasaran lebih kuat daripada ketakutannya. Dengan suara sedikit ragu, ia bertanya, "Tapi apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku hanya ingat ada seseorang yang mengikutiku, lalu semuanya kabur. Aku merasa beberapa hari belakangan memang seperi ada yang mengawasi."

Evan menyandarkan tubuhnya sedikit, matanya menggelap sejenak seolah menimbang kata.

“Kau tidak salah. Ada orang yang mengikutimu. Aku sempat melihat bayangan itu sejak beberapa blok sebelum kau sampai di jalan rumahmu ketika mengantarku lusa lalu, tapi kukira itu hanya salah satu dari tetanggamu. Saat aku mendekat, dia menghilang di kerumunan. Aku tidak tahu siapa dia, tapi yang jelas, niatnya tidak baik. Karena itu aku tidak ingin membiarkanmu kembali ke rumahmu dalam keadaan rawan. Tidak setelah apa yang terjadi semalam," kata Evan.

Lucia menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Evan menegaskan apa yang ia rasakan belakangan: perasaan diawasi, rasa tak nyaman yang membayanginya. Rupanya bukan sekadar ilusi.

"Jadi selama ini aku tidak salah?" tanyanya hampir berbisik.

Evan mencondongkan tubuh, jaraknya semakin dekat. Tatapannya menembus, namun bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menegaskan. "Tidak. Kau tidak salah. Instingmu benar, Lucy. Dan instingmu itulah yang menyelamatkanmu dari hal-hal yang lebih buruk."

Lucia membeku. Hanya ada detak jantungnya yang terdengar jelas di telinga. Kedekatan Evan membuatnya sulit berpikir jernih.

Evan lalu menambahkan dengan nada lebih lembut, "Untuk sementara waktu biarkan aku yang memastikan kau tidak akan sendirian menghadapi semua ini. Kau akan tinggal di sini, bersamaku."

Ada sesuatu dalam ucapan itu yang mengikat Lucia. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri. Namun bagian lain dari dirinya, bagian yang masih ketakutan dan lelah, ingin sekali mempercayai kata-kata itu.

Lucia memalingkan wajah, menatap cahaya matahari yang menembus tirai. "Aku tidak ingin merepotkanmu, Evan."

Pria itu justru tersenyum samar, hampir seperti seringai yang penuh keyakinan. "Lucia, kau bukan merepotkan. Kau hanya bagian dari sesuatu yang sudah seharusnya aku lindungi ... sejak dulu."

Kalimat itu membuat Lucia kehilangan kata. Ia tidak tahu apakah harus tersentuh atau justru semakin bingung. Yang jelas, perasaan asing itu terus mengalir, membanjiri dirinya.

Keheningan sempat memenuhi ruangan, hanya diwarnai suara detik jam di dinding. Lalu Evan berdiri perlahan, menatap Lucia dengan sorot mata yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Kau pasti lapar," katanya singkat. "Aku akan meminta seseorang menyiapkan sarapan. Atau ..." Ia berhenti sejenak, senyumnya muncul kembali, "apa kau ingin aku yang memasaknya untukmu?"

Lucia terbelalak. Bayangan Evan, dengan segala wibawanya, berdiri di dapur dengan celemek, terdengar begitu tidak masuk akal. Namun justru karena itu, pipinya bersemu.

"Aku tidak tahu harus jawab apa, tapi seingatku kau bukan koki yang handal," kata Lucia pelan, hampir tertawa kecil karena absurditas situasi ini.

Evan menatapnya dalam-dalam, lalu tanpa menunggu jawaban lebih jauh, ia berjalan ke arah pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.

"Tenanglah. Kau aman di sini."

Dan pintu tertutup dengan lembut, meninggalkan Lucia yang masih duduk di ranjang, dengan hati yang kini semakin sulit dikendalikan. Tanpa tahu bahwa ada pria yang saat ini salah tingkah di balik pintu sana dengan wajah merah padam.

Lucy tertawa?! Lucy-ku tertawa tadi, batin Evan kegirangan ketika setelah sekian lama walau sedikit ia dapat melihat bibir wanita yang dicintainya itu melengkung membentuk senyum.

1
Miss Typo
semoga apapun niat Samuel ke Lucia semua gagal total
Miss Typo
semangat Lucia
Ir
yeuhhh kocak, amnesia lu samsul
Archiemorarty: Hahaha 🤣
total 1 replies
Ir
kak aku baca Deren dari awal lidah ku belit bacanya Daren terus tauu
Archiemorarty: Awalnya namanya maunya Darren, malah takut aku hany kebelit nulisnya ntar 🤣
total 1 replies
Ma Em
Evan , Clara dan Derren tolong lindungi Lucia dari Samuel takut Samuel akan mencelakai Lucia.
Ariany Sudjana
benar kata Evand, jangan buru-buru untuk menghadapi Samuel, karena prioritas utama sekarang kondisinya Lucia, yang sangat terpuruk. untuk menghadapi Samuel harus dengan perhitungan matang
Archiemorarty: Benar, gitu2 si samsul itu ular licik
total 1 replies
Ir
seharus nya jangan takut Lucu injek aja lehernya si samsul, trus si Evan suruh pegangin
Archiemorarty: astaga, barbar sekali ya /Facepalm/
total 1 replies
Ma Em
Semangat Lucia sekarang sdh ada Evan yg akan melindungi dari siapa saja orang yg akan menyakitimu , jgn sampai kamu terpengaruh dgn hadirnya Samuel , biarkan dia menyesal akan bat dari perbuatannya sendiri , semoga Lucia dan Evan selalu bahagia .
Archiemorarty: Setuju itu /Determined/
total 1 replies
Ir
penyesalan itu emang datang nya di akhir samsul, kali di depan namanya pendaftaran 😆
Miss Typo
keluar dari RS nikah ya 😁
Ir
bucin terooooossss 😏
Archiemorarty: Cieee...iri cieeee /Chuckle/
total 1 replies
Miss Typo
berharap sih segera nikah mereka berdua 😁
Ir
nyari laki kaya Rion, Dante, Davian sama Evan di mana sih, laki² yg semua aku di rayakan di cintai secara ugal²an, yg mau berusaha keras untuk kesejahteraan wanita nya, bukan yg kita mulai sama² dari Nol terus 😌😌
Archiemorarty: Mereka ada kok..di dunia fiksi aja tapi /Cry/
total 1 replies
Ariany Sudjana
Evand benar Lucia, kamu tidak sendiri lagi, ada Evand yang jadi tameng.
Ir
ini kalo kata orang Indonesia, sakit perut bukannya priksa ke dokter malah cuma bilang magh kronis, magh kronis, mag kronis tok 😏
Archiemorarty: Sebel soalnya /Smug/
total 3 replies
Miss Typo
itu karna pola hidup Lucia selama ini kali ya, atau karna pikiran juga.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih
Archiemorarty: Betul sekali
total 1 replies
Miss Typo
apalagi ini thor,,, kenapa masalah blm juga usai, msh ada trs masalah dlm kehidupan Lucia, kpn Lucia akan bahagia bersama Evan? 😭
Miss Typo: huaaaaaa pasti aku nangis mulu bacanya 😭🫣
total 2 replies
Miss Typo
berharap secepatnya mereka berdua menikah 😁
Miss Typo
apakah mereka berdua akan sampai menikah suatu saat nanti?????
Ir
memang udah hukum alam sih, di saat kita sudah bahagia masa lalu yg pernah menyakiti kembali hadir dengan segala penyesalan yg sudah tidak berarti
Ir: Dengan alasan masih sayang, klasik banget alasan yg bodoh 😂😂
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!