Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekat Tanpa di Sadari
Di kantor kepolisian, suasana ruang detektif tampak serius. Berkas-berkas menumpuk di meja, monitor-monitor menyala menampilkan hasil penyelidikan, dan beberapa petugas sibuk mengetik laporan. Namun, di salah satu sudut ruangan, seorang pria duduk dengan sikap tenang, wajahnya bersembunyi di balik layar komputer.
Senyum miring muncul di sudut bibirnya, samar tapi penuh arti. Dari pantulan layar, matanya menyipit, menatap data yang berusaha dibongkar oleh tim investigasi lain.
"Mau sekeras apa pun kalian mencari, kalian tak akan pernah menemukannya,"batinnya, dingin namun penuh keyakinan.
Ia melirik rekan-rekannya yang sedang berdiskusi serius mengenai kasus Ibu Citra, seolah-olah dirinya sama sibuknya dengan mereka. Jarinya mengetuk meja pelan, mengikuti ritme pikirannya sendiri. Dari luar, ia tampak seperti detektif yang tekun mengerjakan tugas. Tapi di dalam, ia adalah bayangan gelap yang menyembunyikan kunci paling penting dari kasus ini.
Ia mengatur ekspresi wajahnya, kembali pura-pura menunduk pada berkas-berkas di mejanya. Tak ada yang mencurigainya. Tidak ada yang tahu. Semua mata fokus ke bukti yang terus buntu. Sementara itu, dia–sang pengkhianat di dalam–sudah selangkah lebih jauh dari siapa pun.
Dan di balik ketenangan itu, hanya satu hal yang pasti: semakin keras mereka menyelidiki, semakin dalam rahasia ini akan terkubur.
Pintu ruangan detektif terbuka. Detektif Luna masuk dengan map cokelat di tangannya. Wajahnya, tampak serius, membuat semua orang yang sedang duduk langsung berdiri memberi salam hormat. Ia melangkah mantap ke arah meja utama, lalu menaruh map itu di atasnya.
"Hasil dari tim forensik sudah keluar," ucap Luna sambil menatap rekan-rekannya. Ia menarik napas sebentar sebelum melanjutkannya, "Tidak ada bukti apa pun yang bisa menunjukkan penyebab kematian selain tanda cekikan di leher korban."
Detektif Luna, menyampaikan laporan yang ia terima langsung dari Dokter Forensik mengenai kasus Ibu Citra.
Ruangan seketika hening. Beberapa detektif saling pandang dengan wajah yang sulit di percaya.
"Tidak mungkin..." Ardi bersuara, suaranya penuh tekanan. "Tidak mungkin seseorang mencekik lehernya sendiri sampai mati."
Raka yang sejak tadi menatap meja, mengangkat wajahnya. "Artinya pembunuh itu melakukannya dengan sangat bersih. Nyaris sempurna tidak meninggalkan celah sedikit pun."
Luna mengangguk perlahan, ekspresinya dingin, namun matanya menyiratkan kekhawatiran. "Saya sepakat. Cara ini... jelas bukan dilakukan oleh orang biasa."
Ia kemudian menoleh ke Raka, seolah mencari konfirmasi lain. "Bagaimana dengan hasil CCTV di sekolah?"
Raka mendesah, lalu membuka laptop di depannya. "CCTV di koridor dan parkiran normal, tapi..." ia berhenti sebentar, menatap Luna, "Kamera di bagian toilet wanita sudah tidak aktif. Tepat di hari kejadian."
Luna menyipitkan mata. "Mati begitu saja?"
"Iya Lun, ini jelas bukan kebetulan," sahut Ardi cepat. "Ada yang sengaja mematikan sistemnya. Dan menurut saya... ini sudah direncanakan matang-matang."
Ruangan kembali diliputi keheningan. Hanya suara kertas yang dibalik Luna terdengar. Ia menatap semua orang di ruangan itu, mencoba membaca ekspresi mereka satu per satu. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah ada mata yang berusaha menghindari tatapannya.
Dalam hati Luna bergumam, jika memang ada orang dalam... berarti kita sedang duduk bersama serigala yang menyamar.
•○•
Di sudut sebuah kafe yang remang, dua orang duduk berhadapan. Aroma kopi bercampur dengan suara riuh rendah pengunjung lain yang tidak menyadari percakapan berbahaya di meja itu.
"Kamu jangan sampai lengah. Kita harus terlihat biasa-biasa saja. Dan ingat, hati-hati sama Detektif Luna. Dia itu sangat jeli membaca ekspresi wajah orang," ucap seorang wanita berambut sebahu. Tangannya menggenggam gelas jus dingin, sementara matanya terus melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendengar.
Pria di hadapannya tersenyum tipis, penuh percaya diri. "Tenang saja. Detektif itu nggak akan pernah curiga sama aku. Kau terlalu khawatir."
Wanita itu mengetuk meja dengan jari, nadanya terdengar kesal. "Tetap saja, kita nggak boleh ceroboh. Sedikit saja salah langkah, habis kita.''
"Jangan cuman aku yang diingatkan," balas pria itu dengan nada pelan. "Kamu juga harus hati-hati. Tim forensik lebih selektif dari yang kita kira. Sidik jari itu... pastikan benar-benar aman."
Wanita itu tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. "Tenang. Semua berkas dan hasil itu sudah aku amankan diruanganku. Tidak ada seorang pun yang tahu."
Percakapan mereka berlangsung singkat, namun setiap kata penuh ketegangan. Yang tidak mereka sadari–mata lain sedang mengawasi. Sebuah CCTV kecil, tersembunyi di balik hiasan dinding kafe, mereka seluruh percakapan mereka.
Dan dari kejauhan, diruang kerjanya, Xander menyimak setiap kata dengan tatapan tajam. Suara pria dan wanita itu terdengar jelas di headset-nya, wajah mereka terlihat jelas di monitor yang berderet dihadapannya.
Bibir Xander melengkung tipis. "Jadi... kalian berdua ikut bermain."
Kini potongan puzzle semakin lengkap. Bukan hanya dalang utama yang sudah ia ketahui, tapi juga tangan-tangan kotor yang membantu menyembunyikan kebenaran. Xander tahu, waktunya belum tepat untuk bergerak. Ia harus mengumpulkan bukti tambahan.
Biarkan tim kepolisian dan detektif Luna terus melangkah... sampai akhirnya mereka sendiri menyadari bahwa pengkhianat itu ada begitu dekat di sisi mereka.
Sementara itu, ia hanya berbisik pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
"Permainan kalian sudah mendekati akhir."