NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 REZA PECUNDANG?

"BRUK! BRUK!"

Gedoran keras di pintu kamar Reza memecah kesunyian, suaranya bahkan menggema ke seluruh penjuru ruangan. Tapi Reza hanya mengerang pelan, menarik selimutnya semakin tinggi hingga menutupi kepala.

Terlalu dini, dan ia terlalu enggan menghadapi "fitnah" yang datang sepagi ini.

“REEEZAA!!” Suara Galih meledak dari balik pintu seperti Sound Horeg yang lagi Viral

Reza membuka mata. Pelan. Seolah baru bangun dari mimpi buruk habis dicekik mak lampir sampai mau mati.

Ia menarik napas panjang—lalu memasang ekspresi seperti Cinderella yang habis disiksa oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Benar-benar sempurna, mungkin kalau ada agen film yang menyaksikan ini langsung akan menerima Reza sebagai aktor utama dengan peran pria yang mengenaskan.

Tubuhnya digerakkan perlahan. Sangat perlahan.

Langkahnya diseret seperti zombie kehabisan korban yang akan dihisap darahnya.

Setiap gerakan dibuat seolah sedramatis mungkin karena drama ini harus seperti nyata.

Ia sampai di depan pintu, diam sejenak, mengambil jeda dramatis, menarik napas sebentar seperti seorang aktor yang akan syuting film horor. Lalu… klik. Pintu dibuka.

Galih berdiri di ambang pintu kamar Reza, tubuhnya seperti patung amarah yang siap meledak. Matanya menyala-nyala, rahangnya mengeras, memancarkan kemarahan yang membara. Tidak ada salam, tidak ada kata pengantar. Wajah itu, demi Tuhan, seperti hendak melempar Reza langsung ke dasar neraka.

Reza diam, menunduk pelan, menyembunyikan senyum tipis yang bermain di bibirnya. Dalam hatinya yang riuh, ia berbisik lirih, "Selamat datang, kekacauan."

Galih mengangkat tangan tinggi-tinggi, siap menghantam kepala Reza dengan amarah yang membara. Namun, tepat sebelum pukuan itu mendarat, Reza menunduk cepat, pura-pura menggaruk betisnya. BUGH! Pukulan Galih meleset, hanya menghantam udara kosong.

"Maaf, Yah... kaki aku sakit," ucap Reza pelan, suaranya serak—persis seperti seseorang yang baru dipulangkan dari rumah sakit jiwa, tapi jiwanya belum benar-benar kembali. Sebuah akting yang sempurna..

Galih makin murka. Rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol. Kali ini dia tidak lagi memakai tangan, melainkan kakinya. Tendangan kuat melayang ke arah Reza.

Namun, Reza jauh lebih cepat. Buru-buru ia menjatuhkan diri ke lantai. Tubuhnya ambruk, seolah tergelincir oleh nasib yang tak berpihak. Tendangan Galih meleset lagi—dan justru dia sendiri yang terpeleset. Tubuhnya menghantam lantai, keras.

"Maaf, Yah... kepala aku masih sakit juga," ucap Reza datar, tanpa intonasi berarti, tetap mempertahankan ekspresi menderita. Wajahnya tetap menunjukkan kesengsaraan, seperti korban tabrak lari yang ditinggal hidup-hidup.

Tapi di balik wajah itu, diam-diam, nyaris muncul senyum kecil. Senyum yang ditahan. Sangat keras.

Dua sekuriti buru-buru membantu Galih bangun. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan. Wajahnya merah padam, menahan emosi yang mendidih di ubun-ubun.

Ia menatap Reza—dalam-dalam. Sebuah pikiran melintas cepat di benaknya: Kenapa rasanya... aku yang dipermainkan? Anak durhaka ini... kenapa makin hari makin sulit dikendalikan?

Galih mengatupkan rahangnya, tangan mengepal erat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Galih merasa... dia sedang dipermainkan. Oleh Reza. Si pecundang.

Dan Reza hanya berdiri di sana. Pura-pura lemah. Pura-pura bodoh.

"REZA!" bentak Galih. Suaranya meledak, membelah ruangan, membuat bulu kuduk berdiri. "Di mana BLACK CARD aku?!"

Reza mengangkat alis, wajahnya dibuat bingung dan polos. "BLACK CARD Ayah?" gumamnya pelan, seolah baru mendengar istilah itu untuk pertama kali dalam hidupnya. "Aku enggak tahu, Yah." Nadanya polos. Matanya lemah. Seperti biasa—selalu tampak seperti pecundang yang tak berguna.

"Bohong kamu!" Galih menunjuk tajam, jari telunjuknya nyaris menyentuh hidung Reza. "Kamu pasti mencurinya! Bukan cuma BLACK CARD. Beberapa dompet ART juga hilang! Siapa lagi kalau bukan kamu?!"

Nada suara Galih membakar ruangan, menggelegar memenuhi setiap sudut. Napasnya naik turun tak beraturan, penuh emosi yang membuncah. Sekuriti sudah berkumpul, membentuk barisan tegang. Vanaya dan Dimas pun berdiri di dekatnya, menyaksikan drama pagi itu dengan tatapan penuh antisipasi.

Tapi Reza tetap berdiri di sana. Tenang. Pura-pura bingung, seolah semua tuduhan itu adalah bahasa asing baginya.

Dalam hatinya, ia berkata pelan, "Bagus, anjing tua. Aku suka sekali melihat kamu marah dan panik."

Reza terdiam. Beberapa detik kemudian, bahunya mulai bergetar. Air mata mulai mengalir deras, membasahi pipinya yang kotor. Ia menangis—tersedu-sedu, isakannya terdengar begitu menyedihkan.

Galih hanya menatap, wajahnya semakin memerah. Dalam hatinya bergemuruh, "Cih. Dasar pecundang. Lelaki kok menangis. Bisa-bisanya aku punya anak seperti ini."

"Diam, pecundang!" bentak Galih, suaranya menggelegar. "Kamu pikir, dengan kamu menangis, aku akan memaafkan kamu? Hah?!"

Melihat Reza dalam kondisi menyedihkan seperti itu, tentu saja Vanaya dan Dimas merasa di atas angin. Itu adalah pemandangan paling menyenangkan pagi itu: melihat Reza menderita. Mereka saling melirik, senyum tipis terukir di bibir masing-masing.

Reza mendongak perlahan, matanya basah, seolah-olah seluruh penderitaan di dunia telah ia serap. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, namun menggema di seluruh ruangan. "Yah, bunuh saja aku, Yah," ucapnya pelan—dengan nada menyedihkan, seperti seseorang yang bahkan putus asa pun sudah terlalu lelah untuk diperjuangkan. Sebuah permohonan yang terdengar putus asa, namun sebenarnya adalah senjatanya

Semua orang diam. Kata-kata Reza yang memilukan berhasil menciptakan keheningan yang mencekam. Reza melanjutkan — pelan, tapi menghujam. Setiap kata seperti belati kecil yang menusuk.

"Aku memang kekurangan uang... karena aku memang tidak pernah diberi uang oleh Ayah..." Suaranya bergetar, penuh keputusasaan yang kentara. "Ke kampus aku numpang truk sampah, pulangnya jalan kaki. Kadang, numpang truk sayur."

Tangisnya pecah lagi, air mata membanjiri pipinya. Ia benar-benar terlihat menyedihkan, sebuah gambaran sempurna dari seorang yang tak berdaya. Benar-benar pantas dicap sebagai pecundang.

Dan itulah tujuannya. Semakin mereka meremehkannya, semakin lebar celah yang akan ia buka untuk menghancurkan mereka

"Aku mana berani, Yah..." ucap Reza pelan, suaranya serak, wajahnya masih basah oleh air mata. Ia menggelengkan kepala lemah, seolah tuduhan itu terlalu berat untuk otaknya yang "dangkal".

"Masuk kamar Ayah saja aku takut. Apalagi nyentuh Black card Ayah. Mana berani aku, Yah." Air matanya terus mengalir, membasahi pipi tanpa henti, bahunya berguncang hebat.

Ia benar-benar terlihat seperti anak lelaki yang terlalu rapuh. Terlalu cengeng. Tak mampu lagi menahan beban perasaannya. Atau setidaknya, begitulah yang ingin ia tunjukkan pada mereka.

Dari samping, Karta berseru, nadanya penuh tuduhan, "Ya sudah pasti dia juga yang nyuri dompet gue!"

Antio ikut menimpali, suaranya tak kalah lantang, "Iya! Dompet gue juga hilang!"

Padahal mereka berdua hanyalah sekuriti di keluarga Baskara. Sedangkan Reza, secara biologis, adalah anak kandung Galih Baskara. Namun mereka berani bersikap terang-terangan. Berani menuduh. Berani melecehkan. Di hadapan Galih sendiri. Dan tak ada yang menghentikan mereka.

Itulah harga Reza di mata keluarga itu: nol.

Reza menunduk. Diam. Dalam hatinya, ia berkata pelan, "Dasar dua anjing ini. Tidak sopan sama gue. Oke. Kalian masuk daftar korban."

1
Agus Rubianto
keren
Aryanti endah
Luar biasa
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!