Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Bab 14. Ikat rambut
Leon akhirnya bisa bernapas lega setelah pulang dari makan malam yang tak ia inginkan dengan Metha. Ia melemparkan jasnya ke sofa dan mengendurkan dasi yang seolah mencekik lehernya sejak awal malam. Namun, rasa mual itu belum juga sepenuhnya sirna. Ia menuju kamar, membuka pintu dengan enggan, berharap malam itu bisa segera berakhir dan tertidur tanpa mimpi.
Namun, saat matanya menyapu kamar, pandangannya tertumbuk pada sesuatu di meja nakas. Sebuah ikat rambut kecil berwarna biru tua, terbuat dari kain beludru halus. Ia mengenali benda itu seketika. Sharon. Itu adalah ikat rambut Sharon yang tanpa sengaja tertinggal di kamar hotel waktu itu. Dan entah kenapa, ia memungutnya dan mengantonginya di saku jas. Entah kapan ia meletakkannya di sana, namun hal itu berhasil memantik perhatiannya.
Leon perlahan mengambil ikat rambut tersebut dan merasakan teksturnya di sela jemarinya. Ia menutup mata dan mengangkat ikat rambut itu ke hidungnya. Aroma samar yang tertinggal di sana—aroma khas Sharon, aroma tubuh hangat dan sedikit floral—langsung menghantam indranya.
Dan anehnya, rasa mual tadi seketika hilang. Seperti Sharon punya kemampuan ajaib untuk menenangkan seluruh kekacauan dalam tubuh dan pikirannya. Hanya dengan aroma, kehadirannya terasa begitu nyata.
Leon duduk di tepi ranjang, masih memegang ikat rambut itu, seolah benda kecil itu adalah jangkar yang mengikatnya pada kenyataan.
“Apa yang sedang terjadi padaku, Sharon? Kau membuatku benar-benar gila," bisiknya pelan.
---
Keesokan paginya, ketenangan Leon terusik saat suara ketukan cepat menghantam pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan malas, dan mendapati ibunya berdiri di sana dengan ekspresi marah yang sudah sulit disembunyikan.
“Mama?” tanya Leon, terkejut melihat Meylania datang pagi-pagi sekali. Di belakang Meylania ada dua orang maid yang menatapnya sambil meringis ketakutan.
“Kenapa? Kau terkejut? Leon, kamu ini ...!” sergah Meylania sambil melangkah masuk tanpa permisi. Nada suaranya tajam, penuh tekanan. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan semalam? Kamu mempermalukan keluarga kita!”
Leon menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Ia tahu, hal ini pasti akan terjadi. Metha akan.mengadu sehingga ibunya akan marah-marah kepadanya. Leon pun mengibaskan tangannya ke arah para maid sehingga mereka pun segera berlalu.
“Kalau Mama datang hanya untuk membahas Metha, silakan bicara, tapi aku tidak akan minta maaf.”
Meylania membalikkan badan cepat, menatap Leon dengan mata menyipit. “Tidak akan minta maaf? Kamu membuat anak orang malu, Leon! Metha itu bukan perempuan sembarangan. Dia putri dari keluarga yang berpengaruh, dan kamu memperlakukannya seperti—seperti sampah!”
“Jangan dramatis, Ma. Aku hanya menolak makan malam jebakan. Itu hakku,” jawab Leon, menahan diri agar tidak membalas dengan nada tinggi.
“Menolak? Kamu muntah di depannya, Leon! Di depan mata seorang wanita yang kamu tahu akan dijodohkan denganmu! Apa kamu pikir itu sopan?”
Leon menghela napas, lalu memutar tubuhnya. “Aku tidak bisa memaksakan perasaan, Ma. Metha mungkin sempurna di mata Mama, tapi bukan untukku.”
“Ini bukan soal perasaan! Ini soal masa depan, citra keluarga! Metha adalah pasangan ideal. Dengan menikahinya, kamu tidak hanya mengangkat nama kita, tapi juga memperkuat posisi kita di dunia bisnis!”
Leon berbalik cepat. “Jadi aku ini apa, Ma? Komoditas?”
Meylania terdiam sejenak, matanya berkedip bingung.
“Aku tidak akan menikah hanya karena alasan strategis. Aku bukan pion, Ma. Dan aku punya rasa hormat, termasuk pada diriku sendiri,” lanjut Leon, nadanya mulai meninggi.
"Selain itu, apa Mama ingin mengulang kesalahan yang sama? Mama ingin menjodohkan aku dengan Metha, bagaimana kalau aku pun melakukan kesalahan yang sama seperti yang sudah papa lakukan?"
Meylania tersentak mendengar kata-kata Leon barusan. Ia dan ayah Leon dulu memang dijodohkan. Dan Leon adalah produk hasil perjodohan itu. Meylania akui, dulu dia begitu terobsesi dengan Reynand Reynaldi, ayah kandung dari Leon. Tanpa peduli kalau Reynand tidak pernah mencintainya dan justru mencintai wanita lain. Tapi Meylania tak peduli dan ingin rencana pernikahan tetap dilaksanakan.
Hingga suatu hari kenyataan terungkap, Reynand masih menjalin hubungan dengan wanita yang ia cintai bahkan mereka sudah menikah di belakangnya. Meylania marah dan mendatangi wanita lain suaminya itu. Mengetahui apa yang sudah ia lakukan pada istri mudanya, Reynand justru marah dan menceraikannya.
Beruntung orang tua Reynand berpihak padanya sehingga meskipun ia sudah bercerai dengan Reynand, tapi ia tetap diakui sebagai menantu satu-satunya. Reynand diusir dan seluruh aset keluarga dialihkan padanya dan Leon semua.
“Aku sudah dewasa, Ma. Biarkan aku memilih jalanku sendiri,” kata Leon tegas. “Kalau Mama masih ingin aku ada dalam hidup Mama, maka jangan paksa aku jadi boneka keluarga.”
Meylania memandang anak lelakinya lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan berbalik.
“Apa pun alasanmu, kamu sudah membuat Metha malu besar. Dan dia bukan tipe yang mudah melupakan,” katanya sebelum melangkah pergi.
Pintu tertutup. Hening. Tapi di balik pintu yang kini rapat, Leon tahu badai sesungguhnya belum benar-benar usai.
Ia menatap ikat rambut Sharon yang masih tergenggam di tangan, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Leon merasa yakin—bahwa apa pun risikonya, ia tidak akan pernah bisa menggantikan perasaan itu dengan siapa pun.
***
Sore itu, restoran Lumiere terasa lebih ramai dari biasanya. Musik akustik mengalun lembut di sudut ruangan, berpadu dengan aroma aneka hidangan yang menggoda. Sharon sedang sibuk merapikan meja ketika Dirga mendekat dengan senyum khasnya.
“Sharon,” panggilnya pelan.
Sharon menoleh, tersenyum. “Ada apa?”
“Kau lagi sibuk? Ada seseorang yang ingin kukenalkan.”
Belum sempat Sharon bertanya lebih lanjut, pintu kaca terbuka dan dua orang masuk ke dalam. Seorang pria dewasa berjas biru gelap dengan aura tenang dan berwibawa, serta seorang gadis muda yang tampak ceria dan modis, dengan rambut panjang bergelombang yang dibiarkan terurai. Gadis itu tampak antusias menatap sekeliling, matanya langsung menemukan Dirga dan ia melambaikan tangan kecilnya penuh semangat.
Sharon sedikit terkejut melihat raut wajah itu. Sedikit familiar. Mirip dengan ... Sharon segera menggelengkan kepalanya pelan.
"Itu nggak mungkin."
"Ya, kau bicara apa tadi? Maaf, aku nggak dengar," ujar Dirga.
"Ah, tidak ada apa-apa, Pak," kilah Sharon.
Dirga kembali mengarahkan pandangannya pada kedua orang yang baru masuk tadi dan menyambut keduanya. Ia segera membawa mereka mendekat.
“Sharon, kenalkan. Ini Dion, pemilik Lumiere dan juga atasan sekaligus sahabatku sejak kuliah," ujar Dirga memperkenalkannya pada Sharon.
Sharon segera tersenyum sopan dan mengulurkan tangan. “Senang bertemu dengan Anda, Pak Dion.”
Dion membalas dengan hangat. “Sama-sama, Sharon. Dirga banyak cerita tentangmu. Terima kasih sudah membantu menjaga restoran ini tetap berjalan baik.”
Sharon tersipu. “Saya hanya melakukan bagian saya, Pak.”
Dirga terkekeh pelan. “Dan ini,” lanjutnya sambil menoleh ke arah gadis yang berdiri di sebelah Dion, “adalah adik Dion, Nadine.”
Gadis itu langsung menyodorkan tangan dengan semangat. “Hai, Sharon! Aku sering dengar tentang kamu juga. Aku Nadine!”
“Senang bertemu denganmu, Nadine,” ujar Sharon sopan, menerima uluran tangan itu.
"Jadi ini perempuan yang kata Mas Dirga itu. Cantik sih, tapi ...."
Sharon cukup terkejut mendengar kalau Dirga sering membicarakan dirinya.
"Nggak jadi deh. Mas, aku lapar," rengek Nadine.
Dirga tersenyum. Memang setiap kali datang, Nadine akan meminta makan.
"Makan apa?"
"Semua menu yang terbaik di sini."
"Siap, Tuan putri. Akan segera aku siapkan."
"Nggak, nggak. Kali ini, biar dia yang menyiapkannya," ucap Nadine sambil menoleh ke arah Sharon.
"Tapi ...."
"Mas duduk bareng kami aja. Ngobrol bareng, iya kan, Kak?" Nadine meminta persetujuan dengan Dion. Dion pun mengangguk kemudian mengarahkan pandangannya pada Sharon.
"Iya, nggak papa, Pak. Biar saya yang menyiapkannya," sela Sharon yang kemudian pamit ke dapur untuk meminta juru masak menyiapkan makan siang untuk Dion dan Nadine.
Bersambung
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho