Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Sang Pemburu yang Diburu
Di dalam kamar 802 Hotel Imperial yang mewah, keheningan terasa memekakkan telinga. Monique menatap sisir kayu di atas bantalnya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Sebagai seorang operator yang telah bekerja di zona-zona paling berbahaya di dunia, ia terbiasa dengan ancaman. Tapi ini berbeda. Ini bukanlah ancaman kekerasan; ini adalah deklarasi superioritas yang absolut.
Naluri pertamanya adalah melarikan diri. Naluri keduanya, yang dilatih selama bertahun-tahun, adalah menganalisis. Ia memeriksa kembali seluruh kamarnya dengan peralatan kontra-pengawasan mini yang selalu ia bawa. Kunci elektronik pintu tidak menunjukkan tanda-tanda pembobolan. Sensor gerak infra-merah yang ia pasang di jendela tidak aktif. Tidak ada sidik jari, tidak ada jejak. Penyusup itu masuk dan keluar dari benteng pribadinya seperti hantu.
Dengan tangan yang kini tidak lagi gemetar melainkan dingin karena fokus, ia melakukan panggilan terenkripsi ke Jean-Luc Dubois di Jenewa.
"Aku 'terbakar'," katanya langsung, menggunakan istilah spionase untuk identitas yang telah terbongkar.
"Apa maksudmu?" tanya Dubois kaget.
Monique menjelaskan dengan singkat dan presisi tentang sisir kayu itu. "Mereka masuk ke kamarku, Jean-Luc. Tidak meninggalkan jejak. Mereka hanya meninggalkan 'hadiah' ini. Ini adalah pesan. Mereka tahu siapa aku, mereka tahu siapa yang aku awasi, dan mereka ingin aku tahu bahwa mereka bisa menjangkauku kapan saja."
Ia berhenti sejenak, menarik napas. "Ini bukan pekerjaan perusahaan logistik biasa. Ini adalah operasi intelijen tandingan tingkat satu. Mereka memiliki tim bayangan yang sangat kapabel di Silverhaven. Siapa pun 'Jay' ini, dia bukan target yang mudah."
"Apa rekomendasimu?" tanya Dubois, nadanya serius.
"Tarik aku keluar atau kirimkan tim bantuan bersenjata," jawab Monique jujur. "Saat ini, aku berjalan di dalam medan perang yang telah mereka siapkan. Aku buta, sementara mereka bisa melihat setiap gerakanku."
Dubois terdiam lama di seberang. Mengirim tim bersenjata akan terlalu berisiko dan bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Hentikan semua pengamatan aktif. Tetap di sana, tapi jangan bergerak. Jadilah hantu sungguhan. Aku akan memberimu perintah selanjutnya setelah berkonsultasi dengan... klien."
Panggilan itu berakhir. Untuk pertama kalinya, Monique merasa rentan. Ia kini adalah seorang pemburu yang terpaksa bersembunyi, menunggu nasibnya ditentukan oleh pihak lain.
Sementara itu, di Bandara Privat Hanggar Sentosa, Silverhaven, sebuah jet Gulfstream mendarat dengan mulus. Pintu terbuka, dan Jay Valerius melangkah keluar. Ia telah kembali. Wajahnya yang tenang menyembunyikan badai perhitungan yang berkecamuk di dalam benaknya.
Sebuah mobil biasa sudah menunggunya. Di kursi penumpang depan, duduk Elang, komandan tim 'Protokol Bayangan'.
"Selamat datang kembali, Tuan Muda," sapa Elang.
"Laporannya," kata Jay singkat sambil masuk ke dalam mobil.
"Target terguncang hebat," lapor Elang saat mobil mulai berjalan. "Dia langsung melapor pada atasannya di Jenewa. Sejak saat itu, dia tidak meninggalkan hotelnya. Tim kita mengawasinya dua puluh empat jam penuh dari tiga titik observasi yang berbeda."
"Bagus," kata Jay. "Terus awasi. Aku tidak mau dia lepas dari pandangan sedetik pun."
Mobil itu akhirnya tiba di depan rumah keluarga Tremaine yang hangat dan terang. Dari luar, Jay bisa melihat bayangan Elara, ayah, dan ibunya yang sedang bercengkrama di ruang keluarga. Pemandangan yang begitu normal, begitu damai.
Elara adalah yang pertama berlari keluar saat melihat mobil itu tiba. "Kau kembali!" serunya, langsung memeluk Jay dengan erat. Pelukannya penuh dengan kelegaan.
"Perjalanan bisnisnya sukses?" tanya Bastian sambil menepuk punggung Jay.
"Sangat sukses," jawab Jay dengan senyum tulus, untuk sesaat melupakan para pemburu dan yang diburu. "Sensornya akan tiba lebih cepat dari jadwal."
Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah yang penuh dengan aroma masakan Lyra, ia merasakan kehangatan yang menjadi alasan dari semua pertarungan ini. Ia kembali ke dunianya yang aman, ke pelukan keluarganya.
Namun, saat ia memeluk istrinya, matanya menatap ke luar jendela, ke arah lampu-lampu kota yang berkelip.