Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Apartemen Karenin
Mobil taksi berhenti di depan sebuah bangunan apartemen empat lantai dengan desain modern namun sederhana. Letaknya cukup tersembunyi di antara deretan pertokoan kecil dan kafe-kafe lokal. Di lantai dua, salah satu unitnya adalah milik Karenin.
Shanaira turun lebih dulu, memandangi bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Karenin menyusul, mengangkat koper-koper mereka ke dalam lift sempit dengan bantuan petugas keamanan yang ramah.
“Selamat datang di rumah kita,” ucap Karenin saat pintu apartemen terbuka.
Ruangan itu tidak luas, tapi sangat rapi dan hangat. Dinding berwarna krem lembut dipadukan dengan furnitur kayu gelap sederhana. Sebuah rak buku tinggi berdiri di sudut ruang tamu, dipenuhi buku-buku memasak, literatur, dan beberapa koleksi keramik. Aroma kayu manis samar menyambut mereka dari dapur terbuka.
Shanaira melangkah pelan, mengelus sandaran sofa abu-abu, lalu menoleh ke arah jendela besar yang menghadap ke jalan kecil di bawah.
“Tenang sekali…” bisiknya.
Karenin meletakkan koper terakhir di dekat pintu kamar. “Aku tahu tempat ini nggak mewah, tapi aku harap kamu bisa merasa nyaman di sini.”
Shanaira menggeleng, menoleh padanya. “Justru ini terasa seperti... rumah. Aku bahkan belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
Karenin tersenyum, sedikit canggung. “Kalau begitu, mari aku tunjukkan kamarnya.”
Karenin berdiri di ambang pintu kamar dan menoleh pada Shanaira yang mengikutinya dari belakang. “Ini kamarnya,” katanya sambil mendorong daun pintu kayu berwarna cokelat tua itu.
Shanaira melangkah masuk perlahan. Ruangan itu tidak besar, tapi cukup untuk sebuah tempat tidur queen-size yang bersprei putih bersih, sebuah lemari pakaian sedang di sudut, dan jendela kecil yang menghadap ke kota. Tirai biru tua melambai pelan diterpa angin sore.
“Apartemen ini cuma punya satu kamar tidur,” ujar Karenin perlahan, nadanya terdengar hati-hati. “Jadi… kita akan tidur di sini. Bersama. Itu… kalau kau tidak keberatan.”
Shanaira memutar tubuhnya menatap Karenin. Ia bisa melihat ketulusan dan rasa hormat dalam sorot mata pria itu, seolah Karenin tak ingin ia merasa terpaksa. Tapi dalam dada Shanaira, tidak ada keraguan.
“Kita sudah menikah, Karenin,” jawabnya lembut. “Sudah sepantasnya kita tidur di ranjang yang sama.”
Karenin hanya mengangguk. Ekspresinya tidak berubah, tetap tenang, tapi ada sedikit kilatan lega di sana.
Shanaira mendekat ke koper-kopernya yang diletakkan di sisi lemari. Ia mulai membuka salah satunya, mengambil satu per satu barang yang ia bawa. Gaun-gaun sederhana, beberapa kemeja lipat, tumpukan buku, dan bingkai foto kosong. Ada juga satu kotak kecil berisi medali dan piagam yang ia lipat rapi.
“Ini semua barang yang kau bawa?” tanya Karenin sambil membantunya menggantungkan baju di lemari.
Shanaira mengangguk. “Aku tidak ingin membawa terlalu banyak dari rumah itu. Hanya yang penting.”
Matanya berhenti pada satu buku catatan bersampul kulit yang sudah agak lusuh. Ia mengelusnya perlahan. “Ini buku jurnal pertama yang kubuat waktu SMP. Aku biasa menulis semua mimpi di sini. Dulu aku ingin jadi pianis.”
Karenin duduk di tepi ranjang, memperhatikannya. “Kau masih bisa mewujudkannya.”
Shanaira tertawa kecil, getir. “Mungkin sekarang mimpinya berubah. Aku hanya ingin hidup damai. Tanpa penghakiman, tanpa luka.”
Karenin bangkit, berjalan mendekat, lalu membantu menyusun buku-buku di rak kecil yang menempel di dinding kamar. “Kau bisa mulai dari sini. Dengan orang yang tidak akan menyakitimu.”
Shanaira menoleh ke arahnya. “Terima kasih, Karenin… karena selalu memperlakukanku seperti seseorang yang pantas dihargai.”
Karenin tak berkata apa-apa, tapi ia meletakkan satu tangan di pundaknya. Hangat dan kokoh. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Shanaira merasa... seperti punya tempat.
Saat matahari mulai turun dan langit berubah menjadi jingga lembut, kamar itu tak lagi terasa asing. Di antara benda-benda kecil yang ia susun, di antara suara napas Karenin yang tenang, ada harapan baru yang perlahan tumbuh.
*****
Aroma bawang putih dan mentega mulai memenuhi udara di apartemen mungil itu. Suara dentingan panci dan alat masak terdengar dari dapur terbuka yang menyatu dengan ruang tengah. Shanaira, yang baru saja selesai menyusun buku-bukunya di rak, menoleh dari pintu kamar.
Di sana, Karenin tampak mengenakan apron hitam sederhana. Lengannya yang kokoh tampak cekatan mengaduk saus dalam wajan. Sesekali ia mencicipinya, lalu menambahkan sedikit lada. Ada seikat sayuran yang sudah dicuci rapi di talenan, dan potongan ayam yang sudah dipanggang dengan kulit renyah keemasan.
“Wah… kamu serius masak?” tanya Shanaira sambil mendekat, tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Karenin menoleh, ikut tersenyum. “Tentu. Aku kan koki,” katanya ringan, “Lagipula, aku ingin kamu merasa betah. Rumah baru, hidup baru… kita butuh awal yang baik.”
Shanaira bersandar di kusen dapur, mengamati dengan rasa kagum. “Kelihatannya enak.”
“Cicipi saus ini, coba,” Karenin menyodorkan sendok kecil ke arah Shanaira. Ia mencicipinya perlahan, lalu mengangguk.
“Enak banget. Ada rasa manis dan gurih yang pas.”
Karenin tersenyum puas. “Baguslah. Ini resep spesial. Ayam panggang lemon butter dengan sayur tumis bawang putih. Aku pernah masak ini untuk ibuku dan ini menjadi salah satu makanan favoritnya.”
Shanaira mendadak terdiam. Mendengar kata “ibu” selalu membuat dadanya sesak, mengingat betapa ia sendiri hampir tak pernah merasakan kasih seorang ibu.
“Pasti ibumu bangga padamu,” katanya akhirnya, lembut.
Karenin hanya diam sejenak sebelum berkata pelan, “Aku harap begitu.”
Tak lama kemudian, meja makan kecil mereka telah tertata rapi. Dua piring besar berisi ayam dan sayuran, sebotol air lemon, dan lilin kecil di tengah meja.
Mereka duduk berhadapan. Sesekali tatapan mereka bertemu, canggung tapi hangat.
“Karenin,” Shanaira membuka suara sambil menatapnya, “terima kasih… untuk semua ini.”
“Shanaira,” ucap Karenin, menatap matanya, “mulai hari ini, kamu bukan sendiri lagi.”
Dan saat mereka menyuapkan suapan pertama ke mulut masing-masing, suasana di antara mereka terasa lebih dari sekadar nyaman. Ada ketenangan yang tumbuh perlahan, seperti pohon kecil yang mulai berakar di tanah baru.
*****
Lampu utama sudah dimatikan, digantikan cahaya temaram dari lampu tidur di sudut ruangan. Hujan tipis mengetuk lembut jendela apartemen, menambah keheningan yang terasa menggantung di udara. Di atas ranjang, Karenin dan Shanaira duduk berdampingan, masing-masing dalam diam mereka sendiri.
Shanaira mengenakan piyama satin putih sederhana dengan rambut tergerai ke bahu. Ia memandangi selimut, memainkan ujung kainnya dengan jari-jari gemetar, sedangkan Karenin hanya menatap langit-langit sebentar sebelum menoleh ke arahnya.
“Aku… bisa tidur di sofa kalau kamu merasa canggung,” ujar Karenin akhirnya, suaranya rendah namun tulus.
Shanaira menggeleng perlahan. “Tidak usah… Kita sudah menikah. Lagipula, ini cuma tidur, bukan hal yang harus dipermasalahkan.”
Karenin mengangguk, meski tetap menjaga jarak di sisi ranjangnya. Ia menarik selimut hingga ke pinggang lalu menoleh lagi, “Kalau kamu merasa tidak nyaman, katakan saja.”
Shanaira tersenyum tipis, matanya menerawang. “Aneh ya… Aku tumbuh di rumah yang besar, tapi tak pernah merasa seaman ini.” Ia menarik napas pelan. “Hari ini melelahkan… tapi untuk pertama kalinya, aku merasa seperti… punya tempat untuk pulang.”
Karenin menatapnya lebih lama, lalu berkata lembut, “Kamu memang punya tempat untuk pulang, Shanaira. Dan selama aku di sini, kamu tidak akan sendirian lagi.”
Suasana kembali hening. Hanya suara hujan dan detak jam dinding yang menemani mereka. Perlahan, Shanaira memiringkan tubuhnya, membelakangi Karenin namun cukup dekat hingga ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu di belakangnya.
“Selamat malam, Karenin,” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
“Selamat malam,” jawab Karenin, suaranya lembut seperti doa yang menenangkan.
Di ruangan kecil itu, di bawah selimut yang sama, dua hati yang sama-sama patah perlahan mulai merajut kembali potongan-potongan kehidupan. Bukan dengan keromantisan yang berlebihan, tapi dengan ketulusan yang tumbuh diam-diam di sela luka masing-masing.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh